Rabu, 21 November 2012

Analisis Kasus Investasi


A. Kasus Invetasi (Pemerintah Vs PT. Newmont)
1. Lawan Newmont, Pemerintah RI Menang
JAKARTA, KOMPAS.com-  Pemerintah berada di atas angin. Kemarin, Majelis Hakim Arbitrase Internasional di Jenewa, Swiss, memenangkan Pemerintah Indonesia dalam sengketa penjualan atau divestasi saham perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont).
Arbitrase Internasional mengabulkan satu dari dua gugatan Pemerintah terhadap Newmont yang diajukan Juni 2008. Gugatan yang ditolak majelis hakim adalah permintaan Pemerintah menghentikan kontrak karya Newmont.
Majelis hakim memutuskan, Newmont harus melepas 17 persen sahamnya dalam waktu 180 hari sejak putusan keluar, kemarin (31/3). Persentase itu adalah batas kewajiban Newmont yang belum terlaksana sejak 2006 (3  persen), 2007 (7 persen), dan 2008 (7 persen). Sesuai kontrak dengan pemerintah RI, Newmont harus menjual saham secara bertahap hingga mencapai 51 persen pada 2010.
Newmont harus melepas 17 persen saham itu pada Pemerintah Indonesia atau pihak yang ditunjuk Pemerintah. "Saham itu harus bebas gadai," kata Jaksa Pengacara Negara, Joseph Suwardi Sabda.
Sekadar catatan, saat ini Newmont telah menjaminkan sahamnya untuk meminjam dana dari perbankan. Jika Newmont tidak berhasil melaksanakan putusan ini, Pemerintah berhak mencabut kontrak karya Newmont.
Simon Felix Sembiring, mantan Direktur Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi, yang kini menjadi Staf Khusus Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), mengaku, saat ini Pemerintah tak hanya dalam posisi menunggu. "Tapi kami juga punya wewenang menagih karena punya kekuatan hukum tetap," katanya.
Setelah putusan arbitrase itu keluar, Newmont juga mempunyai kewajiban membayar biaya yang dikeluarkan Pemerintah untuk proses pengadilan sebesar 1,8 juta dollar AS.
Tapi, perjalanan kasus ini masih akan panjang. Menurut Kantor berita Reuters, Newmont malah sudah menjual 7 persen saham senilai 427 juta dollar AS kepada PT Pukuafu Indah. Perusahaan milik Yusuf Merukh ini adalah mitra lokal yang sudah menguasai 20 persen saham Newmont.(Gentur Putro Jati/Kontan)
2. Newmont Akan Patuhi Keputusan Arbitrase
JAKARTA, KOMPAS.com - Newmont Mining Corporation selaku induk usaha PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) menegaskan, akan mengikuti seluruh keputusan yang sudah dikeluarkan pengadilan arbitrase internasional terkait divestasi saham NNT
Richard O Brien, Presiden Direktur dan Chief Executive Officer Newmont Mining Corporation dalam keterangan persnya membenarkan bahwa hakim panel arbitrase telah memutuskan bahwa pemegang saham asing NNT belum melaksanakan proses divestasi yang diharuskan untuk 2006 sebesar 3 persen dan 2007 sebesar 7 persen.
Hakim panel arbitrase menurut Richard memberikan waktu 180 hari sejak tanggal putusan dikeluarkan kepada para pemegang saham untuk bekerjasama dengan Pemerintah untuk melepas saham di NNT kepada Pemerintah atau pihak yang ditunjuk, sebagaimana dijelaskan dalam Kontrak Karya untuk saham 2006 and 2007. Hakim panel arbitrase juga menegaskan, Pemerintah Indonesia memiliki hak untuk memperoleh penawaran terlebih dahulu sehubungan dengan saham tahun 2008 sebesar 7 persen.
"Tetapi panel arbitrase memutuskan bahwa Kontrak Karya NNT di Tambang Batu Hijau tidak diterminasi. Saat ini kami tengah mengkaji putusan tersebut dan berharap dapat membahas langkah ke depan dengan Pemerintah guna melaksanakan putusan Panel Arbitrase," kata Richard, Rabu (1/4).
Ditambahkannya, Newmont akan tetap berkomitmen untuk melanjutkan proses divestasi sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak Karya dan dijelaskan dalam putusan arbitrase tersebut.
Newmont Mining Corporation merupakan pemegang saham NNT bersama dengan Nusa Tenggara Mining Corporation yang merupakan afiliasi Sumitomo Corporation, Jepang. Pada 1996 Newmont menggadaikan seluruh saham asingnya yang dimiliki Sumitomo dan Newmont Mining Corporation sebanyak 80 persen kepada Export Import Bank of Japan, US Export Import Bank, dan KFW Jerman sebesar 1 miliar dollar AS. Newmont sudah melunasinya sebagian sehingga tinggal sisa 300 juta dollar AS. Sebanyak 20 persen sisa sahamnya dimiliki oleh perusahaan lokal Pukuafu Indah.


3. Purnomo: Newmont Tak Punya Hak Banding
JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menegaskan, PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) tidak memiliki hak banding atas lima keputusan pengadilan arbitrase internasional yang memenangkan pemerintah.
Menurut Purnomo, pemerintah masih harus membahas langkah-langkah yang harus dilakukan terkait keputusan pengadilan arbitrase tersebut sesegera mungkin. Terutama terkait keputusan pengadilan yang menyebutkan NNT harus mendivestasikan 7 persen saham tahun 2008 untuk Pemerintah Indonesia.
"Masih harus dirapatkan lagi kepada siapa pemerintah akan melepas sahamnya tersebut. Tetapi yang pasti, apa yang sudah diputuskan Pengadilan Internasional adalah putusan akhir dan tidak ada lagi upaya naik banding atas keputusan yang memenangkan pemerintah," kata Purnomo, Rabu (1/4).
4. Putusan Sengketa Divestasi Newmont Tertunda
Putusan sengketa divestasi tujuh persen saham pemerintah di PT Newmont Nusa Tenggara tertunda. Majelis hakim yang dipimpin Sapawi menyatakan belum siap membacakan putusan lantaran pendapat majelis belum bulat. Untuk itu, majelis meminta waktu dua minggu untuk memutuskan perkara ini.
"Suara majelis belum bulat. Untuk itu, kami meminta agar diberikan waktu dua minggu lagi untuk membacakan putusan ini," tutur Sapawi di ruang sidang PN Jakarta Pusat, Rabu (7/11).
Kuasa hukum Masyarakat Sipil untuk Kesejahteraan Rakyat (MSKR) Nusa Tenggara Barat Ulung Purnama menyatakan tidak keberatan. Menurutnya, penundaan tersebut masih bisa diterima karena baru ditunda satu kali. “Penundaan sekali masih manusiawi.”
Sebagaimana diketahui, MSKR menggugat Menteri Keuangan, Kepala Pusat Investasi Pemerintah (PIP),  PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), dan Newmont Mining Corporation (NMC) terkait pembelian saham divestasi 7 persen Newmont. MSKR berpendapat pembelian saham oleh pemerintah dianggap tidak memperhatikan kepentingan masyarakat NTB. Dengan demikian, MSKR menilai saham tersebut seharusnya dimiliki oleh masyarakat NTB sendiri.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt509a2c1d82c7e/putusan-sengketa-divestasi-newmont-tertunda
5. Skenario di Balik Divestasi Newmont
Oleh: Doty Damayanti
Pemerintah mengklaim telah memenangi arbitrase kasus divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Pemerintah menyatakan bahwa panel arbitrase memutus NNT bersalah karena telah lalai dalam melakukan divestasi sebesar 17 persen dari saham yang ada.
Dalam pengumuman resmi pada hari Rabu (1/4), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyampaikan garis besar putusan arbitrase internasional, yang menurut dia, pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia.
Ada lima poin putusan yang dihasilkan, yaitu panel memerintahkan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) melaksanakan ketentuan Pasal 24 Ayat 3 kontrak karya, menyatakan bahwa NNT telah melakukan pelanggaran perjanjian, memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen saham yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3 persen dan 2007 sebesar 7 persen kepada pemerintah daerah. Adapun untuk tahun 2008 sebesar 7 persen kepada Pemerintah RI.
Semua kewajiban tersebut di atas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Panel arbitrase juga menyatakan bahwa saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai dan sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan urusan PT NNT.
PT NNT diperintahkan untuk mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan arbitrase dalam perkara tersebut dalam tempo 30 hari. Dalam keterangan yang sangat singkat itu, Menteri ESDM sama sekali tidak menyinggung bahwa panel hanya mengabulkan bagian kedua dari tuntutan Pemerintah Indonesia. Arbitrase menolak gugatan pemerintah mengakhiri kontrak karya PT NNT. Kontrak NNT berlaku sampai 2027.
Sementara, pada hari yang sama, Newmont Mining Corporation, induk perusahaan NNT di Denver, Amerika Serikat, mengeluarkan pernyataan resmi tentang putusan arbitrase yang mengatakan pemerintah tidak berhak memutus kontrak.
Pemerintah menggugat Newmont ke arbitrase internasional pada 3 Maret 2008. Di hari yang sama, Newmont juga mengajukan gugatan atas pemerintah. Proses arbitrase berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta. Panel terdiri atas tiga anggota. Dua orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner).
Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default.
Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba Pabum itu diacu oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan divestasi.
Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase menentukan apakah first right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan.
Jaksa Pengacara Negara (JPN) Joseph Suwardi Sabda mengatakan, panel arbitrase menilai, kesalahan NNT yang lalai dalam melakukan divestasi 17 persen sahamnya, belumlah fatal sehingga tidak sebanding jika harus diganjar terminasi kontrak. Kondisinya akan berbeda apabila porsi saham yang lalai didivestasi itu 50 persen lebih. ”Panel menggunakan hukum yang berlaku di Inggris. Mengacu pada aturan itu, maka ganjaran yang diberikan yang seminimal mungkin,” kata Joseph.
Namun, ia mengatakan, masih ada kemungkinan kontrak NNT diakhiri jika tidak sanggup mematuhi putusan arbitrase. Sebab sesuai bunyi kontrak karya, terminasi bisa dilakukan jika perusahaan tidak sanggup memperbaiki kesalahan sampai batas waktu yang diberikan.
Direktur Eksekutif Reforminer Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kisruh divestasi yang berujung pada arbitrase itu sebenarnya menunjukkan dua hal. Pertama, potret ketidakberdayaan pemerintah atas rezim kontrak karya. Kedua, berkuasanya investasi asing bermodal besar. ”Untuk menyatakan NNT lalai melakukan divestasi saja, pemerintah harus maju ke arbitrase, dan justru panel menolak tuntutan utama soal memutus kontrak,” kata Pri Agung.
Bentuk kontrak atau perjanjian menempatkan posisi pemerintah dan perusahaan pertambangan berada sejajar. Kontrak dengan perusahaan multinasional selalu memasukkan klausul penyelesaian melalui arbitrase internasional. Kontrak tidak tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia kecuali arbitrase menyatakan bahwa pihak-pihak yang terkait harus mematuhi hasil putusan.
Merunut sejumlah divestasi perusahaan pertambangan asing, yang memperoleh manfaat dari divestasi adalah kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.
Sebagai contoh, divestasi saham PT Freeport Indonesia yang jatuh ke tangan pengusaha Aburizal Bakrie dan Bob Hasan. Bakrie juga menangguk keuntungan dengan menadah saham PT Kaltim Prima Coal yang menjadikan konsorsium perusahaan pertambangan batu bara terbesar di Indonesia, BUMI Resources. Tambang Batu Hijau, di Nusa Tenggara Barat, yang dikelola oleh NNT, menghasilkan emas dan tembaga.
Direktur Indonesia Coal Society Singgih Widagdo menilai, pelaksanaan divestasi saham perusahaan tambang asing masih jauh dari semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar. Sejauh ini, divestasi tidak pernah benar-benar dimanfaatkan untuk mengelola sendiri kekayaan tambang. ”Apabila pemerintah serius, seharusnya dari awal badan usaha milik negara didorong membeli saham tersebut. Kalau itu dilakukan dari dulu, sekarang kita sudah punya BUMN tambang yang besarnya sama dengan perusahaan multinasional,” ujar Singgih.
Ia mencontohkan BUMN tambang asal Brasil, Companhia Vale do Rio Doce (CVRD), yang menjadi salah satu perusahaan tambang kelas dunia.
Dari catatan Kompas, dalam kasus divestasi NNT, pemerintah pusat sebagai pihak pertama yang punya hak untuk membeli saham, menyatakan tidak memiliki dana. Hak pembelian saham yang mulai ditawarkan tahun 2006 itu kemudian diberikan kepada pemerintah daerah, yakni Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Sumbawa Barat. Pemda jelas tidak memiliki kemampuan sendiri untuk membeli saham NNT tahun 2006 dan 2007 yang jika digabungkan mencapai 400 juta dollar AS. Pemda melalui badan usaha milik daerah kemudian menggandeng pihak swasta, yaitu BUMI dan Trakindo.
Proses divestasi semakin ruwet dengan masuknya pihak swasta. Trakindo adalah mitra lama Newmont dalam mengelola tambang Batu Hijau, sedangkan BUMI dipandang Newmont sebagai kompetitor yang akan mengancam posisi pemegang saham utama NNT jika terus diberi kesempatan ikut dalam divestasi.
Komposisi saham NNT sebanyak 20 persen dimiliki oleh PT Pukuafu Indah yang tercatat sebagai bagian dari 51 persen saham nasional, 35 persen Sumitomo, dan 45 persen Newmont Mining Corporation. Untuk melindungi posisinya, NNT menawarkan skema pinjaman lunak kepada pemda, bahkan memakai alasan bahwa saham yang didivestasikan itu dalam posisi dijaminkan kepada sejumlah bank asing. Artinya, siapa pun yang membeli saham NNT, tidak bisa menjual sahamnya, sampai utang NNT itu lunas.
Semua langkah itu dilakukan NNT yang menginterpretasikan bahwa jika swasta sudah mulai ikut, proses divestasi harus dilakukan melalui mekanisme B (business) to B murni. NNT ingin bisa memilih badan usaha swasta yang sejalan dengan rencana pengembangan bisnisnya dan bisa memberi penawaran paling maksimal atas nilai saham yang akan dijual. Isu-isu semacam ini tidak diatur secara detail dalam kontrak.
Hal ini, menurut salah satu saksi yang ikut dalam sidang arbitrase, menjadi salah satu argumentasi Newmont kepada panel arbitrase.
Pengamat pertambangan, Ryad Charil, menilai ada skenario tertentu di balik putusan arbitrase. Ia memperkirakan keruwetan atas pelaksanaan divestasi masih berpotensi pasca-arbitrase. Isu asal dana pihak ketiga, status saham yang digadai, juga isu-isu lain masih akan muncul. ”Menarik untuk dilihat, siapa yang menalangi dana pembelian saham untuk pemda, apakah pemerintah pusat memakai haknya untuk mengambil saham yang ditawarkan NNT,” kata Ryad.
Sumber : Kompas Cetak

6. RI dan Newmont Bertemu
JAKARTA, KOMPAS.com — Menindaklanjuti putusan arbitrase atas divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NTT), tim pemerintah akan bertemu dengan pihak NNT.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Kamis (2/4), mengatakan, ada dua tim pemerintah yang akan berunding dengan NNT, yaitu yang terkait eksekusi hasil arbitrase dan terkait teknis divestasi 17 persen pihak NNT ataupun pemerintah daerah. ”Diharapkan, awal minggu depan ada hasilnya,” kata Purnomo.
Butir kedua dan ketiga putusan arbitrase memerintahkan NNT untuk menyelesaikan divestasi sebesar 10 persen kepada pemerintah daerah dan 7 persen kepada pemerintah pusat. Semua proses tersebut harus selesai dalam 180 hari.
Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Bambang Setiawan mengatakan, perlu ada evaluasi harga atas nilai divestasi yang seharusnya dilakukan pada 2008. Sebab, kondisi harga komoditas saat ini lebih rendah. Nilai divestasi pada 2008 sebesar 426 juta dollar AS.
Sumber : Kompas Cetak
Editor :
B. Arbitrase dan International Settlement Disputes
1. Dasar Hukum
a.    Pasal 377 HIR
Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
Pasal ini merupakan landasan pembolehan bagi keberadaan arbitrase dalam kehidupan dan praktek hukum. Adapun kandungan dalam pasal tersebut, adalah sebagai berikut[1]:
1)      Menyelesaikan sengketa “juru pisah” atau arbitrase, dan
2)      Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk meyelesaikan dalam bentuk “ keputusan”.
3)      Kewajiban tunduk pada hukum acara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
b. Pasal 615-651 (Rv) Buku Ketiga Reglemen Acara Perdata tentang Aneka Acara
            Sebagai pedoman aturan umum arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara Perdata, meliputi lima bagian pokok, yaitu[2]:
1)      Bagian Pertama (615-623)       : persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter.
2)      Bagian Kedua (624-630)          : pemeriksaan di muka badan arbitrase.
3)      Bagian Ketiga (631-640)          : putusan arbitrase.
4)      Bagian Keempat (641-647)      : upaya-upaya terhadap putusan arbitrase.
5)      Bagian Kelima (647-651)         : berakhirnya acara-acara arbitrase.
c. UU No. 5 Tahun 1968
            UU No. 5 Tahun 1968 merupakan manifestasi dari Persetujuan Atas Konvensi Penyelesaian Antarnegara dan Warga Negara Asing mengenai Penanamn Modal (Convention on the Settlement of Invesment Disputes Between States and National of Other States). Tujuan menetapkan persetujuan ini adalah untuk mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Sebab, dengan diakuinya konvensi tersebut oleh Pemerintah Indonesia, sedikit banyak akan memberikan keyakian kepada investor asing bahwa sengketa yang akan timbul dapat dibawa ke forum arbitrase. Dala hal ini, penyelesaian sengketa tidak didasarkan pada ketentuan hukum Indonesia yang pada umumnya tidak dipahami oleh Investor Asing.[3]
            Konvensi ini kemudian melahirkan Dewan Arbitrase International Center for the Settlement of Invesment Disputes Between States (ICSID) yang berkedudukan di Washington (Amerika Serikat).
            Melalui UU. No 5 Tahun 1968 Pemerintah Indonesia, “mempunyai wewenang”:
1)      Untuk memberi persetujuan agar perselisihan tentang penanaman modal antara Republik Indonesia dengan Warga Negara Asing diputus menurut Konvensi dimaksud, dan
2)      Pemerintah dalam hal ini bertindak “mewakili” RI dalam perselisihan dengan hak “subtitusi”.
Adanya ketentuan tersebut, tidak berarti bahwa setiap sengkera harus tunduk pada ketentuan dalam Convention on the Settlement of Invesment Disputes Between States and National of Other States . Sebagaiman dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1968 dinyatakan bahwa, meskipun Konvensi berlaku untuk suatu Negara, tidak ada suatu “kewajiban” bahwa setiap perselisihan harus diselesaikan menurut konvensi. Syarat mutlak untuk penyelesaian menurut konvensi adalah “persetujuan” kedua belah pihak yang berselisih.
d. KEPPRES No. 34 Tahun 1981[4]
            Kepres ini mengatur tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Award. Prinsip pokok Keppres ini adalah:
1)      Pengakuan atau recognition atas putusan arbitrase asing. Artinya putusan arbitrase asing dengan sendirinya memiliki daya self execution di negara Indonesia.
2)      Namun demikian  sifaf self execution yang terkandung dalam putusan arbitrase asing didasarkan atas asa “ resiprositas”.
Dengan berlakunya keppres No. 34 Tahun 1981, Indonesia telah mengikatkan diri dengan suatu kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing. Penetapan keppres ini juga bertujuan untuk memasukkan Konvensi New York 1958 ke dalam tata hukum intern Indonesia.
e. PERMA No. 1 Tahun 1990[5]
            Perma No. 1 Tahun 1990 ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas tata cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Perma ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 1990.
f. UU No. 30 Tahun 1999[6]
            Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang ini merupakan perubahan atas ketentuan dalam Pasal 615 sampai 651 dan juga Pasal 377 HIR, dan dengan adanya undang-undang ini semua peraturan tersebut dinyatakan tidak berlaku.
2. Jenis Arbitrase
a.    Arbitrase Ad-Hoc
Arbitrase ad-hoc disebut juga arbitrase volunter. Ketentuan dalam Reglemen rechtvordering mengenai lembaga arbitrase ad-hoc menyatakan bahwa arbitrase ad-hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain, bersifat insidentil.[7]
Untuk mengetahui dan menentukan jenis arbitrse ini dapat dilihat dari rumusan klausul pactum de compromittendo atau kata kompromis yang menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri diluar arbitrase institusional.[8] Ciri pokok arbitrase ad-hoc adalah penunjukan arbiternya secara perseorangan.
b.    Arbitrase Institusional
Arbitrase intitusional adalah lembaga arbitase yang bersifat permanen, karena sifatnya yang permanen tersebut, maka disebut “permanent arbital body”. Arbitase Intitusional ditujukan untuk menangani sengketa yang mungkin timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian diluar pengadilan. Arbitrase ini merupakan wadah yang didirikan sengaja untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.[9]
3. Tata Cara Penyelasian Sengketa Melalui Arbitrase
            Dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah diatur cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam penanaman modal antara pemerintah dan investor asing. Dalam ketentuan itu, ditentukan dua cara penyelesaian sengketa, yaitu[10]:
1.      Musyawarah Mufakat; dan
2.      Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk mengakhiri perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing, di mana kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Indonesia. Sifatnya internasional. Biasanya yang dipilih adalah arbitraase internasional yang berkedudukan di Paris.
Sebagaimana di jelaskan di atas, bahwa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antar Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, telah ditentukan penyelesaian sengketa yang terjadi antara negara dengan warga negara asing. Di dalam undang-undang itu ditentukan bahwa ketentuan yang digunakan dalam penyelesaian sengketa adalah International Center for Settelement of Investment Dispute yang kemudian melahirkan Dewan Arbitrase International Center for the Settlement of Invesment Disputes Between States (ICSID) yang berkedudukan di Washington (Amerika Serikat).[11]
Arbitrase International Center for the Settlement of Invesment Disputes Between States (ICSID) terdiri atas 9 bab (chapter) dan 75 Pasal (artikel). Hal-hal yang diatur dalam ICSID ini, meliputi[12]:
1.      Chapter I Arbitrase International Center for the Settlement of Invesment Disputes Between States (ICSID) (artikel 1 sampai dengan 24).
2.      Chapter II Juricdition on the Centre (artikel 25 sampai 27).
3.      Chapter III Conciliation (Artikel 28 sampai dengann artikel 35).
4.      Chapter IV Arbitration (artikel 36 sampai 55).
5.      Chapter V Replacment and Disqualification of Conciliatiors and Arbitrator (artikel 56 sampai 55).
6.      Chapter VI Cost of Procedings (artikel 59 sampai artikel 63).
7.      Chapter VII Disputes Between Contracting States (Artikel 64).
8.      Chapter VIII Amendment (artikel 65 sampai 66).
9.      Chapter IX Final Provisions (artikel 67 sampai 75).
Ada dua pola penyelesaian yang di atur dalam ICSID, yaitu:
1.      Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi; dan
2.      Penyelesaian dengan menggunakan arbitrase.
Sehubungan dengan itu, yang akan dibahas adalah penyelasian sengketa melalui Arbitrase. Oleh karena itu, pemaparan lebih difokuskan terhadap prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
1.    Tata Cara Pengajuan Permohonan Arbitrase[13]
Mengenai tata cara pengajuan permohonan di atur dalam artikel 36 ICSID, yaitu sebagai berikut:
a)      Pengajuan permohonan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Administratif Centre.
b)      Permohonan diajukan secara tertulis.
c)      Permohonan memuat penjelasan tentang:
(1)   Pokok-pokok perselisihan;
(2)   Identitas para pihak; dan
(3)   Mengenai adanya persetujuan mereka untuk mengajukan perselisihan yang timbul menurut ketentuan Centre.
Setelah menerima permohonan tersebut, Sekretaris Jenderal mendaftar permohonan. Kecuali jika ditemukan dalam penjelasan permohonan bahwa perselisihan yang timbu nyata-nyata diluar yuridiksi Centre. Dalam hal perselisihan diajukan berada di luar yuridiksi Centre, Sekretaris Jenderal menolak untuk mendaftar. Untuk itu, Seekretaris Jenderal membuat dan menyampaikan penolakan dalam bentuk “pemberitahuan” atau notice kepada para pihak. Dalam hal permohonan memenuhi syarat, dan permohonan telah didaftar, maka Sekretaris Jenderal menyampaikan “ pemberitahuan” kepada para pihak dan salinan kepada pihak lain.
2. Pembentukan Tribunal Arbitrase
            Proses selanjutnya setelah pengajuan permohonan adalah pembentukan tribunal arbitrase atau Mahkamah Arbitrase. Menurut ketentuan Artike 37 ayat (2) ICSID tata cara pembentukan mahkamah arbitrase adalah sebagai berikut:
a)      Boleh hanya terdiri dari seorang arbriter saja;
b)      Tetapi boleh juga arbiternya terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya ganjil.
Jika para pihak tidak menenrima tata cara penunujukan yang dilakukan Centre, cara lain penunjukan arbiter merujuk pada ketentuan Artikel 37 ayat (2) huruf b ICSID, dengan acuan penerapan:
a)      Anggota harus terdiri dari tiga orang arbriter;
b)      Masing-masing menunjuk seorang arbriter; dan
c)      Anggota yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi ketua (presiden) dari mahkamah yang bersagkutan.
Para pihak tersebut dapat menyetujui arbiter yang ditunjuk Centre. Sebaliknya dapat menolak apabila arbiter yang ditunjuk tidak mereke setujui, atau apabila metode dan tata cara penunjukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam hal yang demikian, maka para pihak dapat menunjuk masing-masing seorang arbiter. Dan mengangkat arbiter ketiga dengan persetujuan para pihak yang langsung mejadi ketua mahkamah arbiter yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam Artikel 38 ICSID, apabila dalam tempo 90 hari dari tanggal pemberitahuan pendafaftaran permohonan tribunal belum dibentuk. Ketua Dewan Administrasi ICSID berwenang menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter. Kewenangan tersebut tidaklah mutlak, kewenangan tersebut dimiliki setelah ada permohonan dari salah satu pihak. Selain itu, penunjukan arbiter tidak boleh dari negara konvensi sedang berselisih. Hal ini tercantum dalam Artikel 39 Konvensi. Namun, apabila kedua belah pihak menyetujui bahwa seorang arbiter ditunjuk dari salah satu negara para pihak, maka peraturan tersebut dapat dikesampingkan.
3. Kewenagan dan Fungsi Tribunal Arbitrase[14]
            Adapun kewenangan dari Arbitrase Centre adalah mengadili dan memutus perselisihan sesuai dengan kompetensinya (Artikel 40 ICSID). Dalam hal bantahan dari salah satu pihak yang menyatakan apa yang diperselisihkan berada diluar yuridiksi Centre atau beradasar alasan lain yang memperlihatkan apa yang diperselisihkan berada diluar kewenangan tribunal arbitrase yang dibentuk, tribunal yang bersangkutan terlebih dahulu mempertimbangkan dan memutus tentang hal tersebut dalam bentuk putusan pendahuluan (preliminary). Akan tetapi, bisa juga hal itu diputus bersamaan dengan pokok persengketaan apabila tata cara yang demikian lebih bermanfaat.
            Sehubungan dengan kewenangan dan fungsi memutus perselisihan, lebih lanjut diuraikan dalam hal-hal dibawah ini:
a)      Memutus sengketa menurut hukum
(1)   Centre harus memutus berdasarkan hukum yang telah disepakati para pihak dalam perjanjian.
(2)   Dalam perjanjia tidak menentukan tata hukum mana yang akan diterapkan, Centre menerapkan tata hukum dari negara yang berselisih. Dalam menetapkan tata hukum yang demikian, harus senantiasa berpedoman pada ketentuan dan asas hukum international.
(3)   Centre dilarang menetapkan hukum yang tidak dikenal oleh para pihak yang berselisih.
(4)   Akan tetapi, Centre dapat memutus perselisihan berdasar “kepatutan” atau “ ex aequo et bono”, jika hal itu disepakati para pihak dalam perjanjian.
b)      Memanggil dan melakukan pemeriksaan setempat.
Dalam Artikel 43 ICSID telah ditentukan kewenangan tribunal yang meliputi:
(1)   Memanggil atau meminta para pihak untuk menyerahkan dokumen atau alat bukti yang dianggap penting.
(2)   Melakukan pemerikasaan setempat atau memriksa langsung barang, orang, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap patut dan bermanfaat dalam penyelesaian perselisihan.
Kewenangan tersebut gugur apabila para pihak menetukan lain dalam perjanjian.
c)      Putusan Provisi
Dalam Artikel 47 ICSID telah ditentukan kewenangan dari Centre. Kewenangan itu adalah menjatuhkan:
(1)   Putusan pendahuluan
(2)   Putusan provisi;maupun
(3)   Tindakan sementara.
Penjatuhan putusan itu didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi dan menghormati hak dan kepentingan salah satu pihak. Tindakan putusan sementara, dapat dimaksudkan sebagai penyitaan barang-barang yang disengketakan, agar gugatan tidak mengalai illusoir di kemudian hari. Bisa juga dalam bentuk pelarangan penjualan dan pemindahan barang, asalkan itu merupakan objek yang langsung terlibat dalam persetujuan.
4. Putusan Arbitrase Centre
            Dalam Artikel 48 ICSID telah ditentukan tata cara pengambilan putusan. Tata cara pengambilan keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
a)      Putusan diambil berdasar suara mayoritas anggota arbiter.
b)      Putusan arbiter yang sah ialah:
(1)   Dituangkan dalam putusan secara tertulis; dan
(2)   Ditandatangani oleh anggota arbiter yang menyetujui putusan.
c)      Putusan memuat segala permasalahan serta alasan-alasan yang menyangkut dasar pertimbangan putusan.
d)      Setiap anggota arbiter dibenarkan mencantumkan pendapat pribadi dalam putusan, meskipun pendapat tersebut berbeda dan menyimpang dari pendapat mayoritas anggota. Bahkan, boleh juga seorang anggota mencantumkan peryataan mengapa dia berbeda pendapat dengan mayoritas anggota arbiter.
e)      Centre tidak boleh mempublikasikan putusan, tanpa persetujuan para pihak.
Selanjutnya, Sekretaris Jenderal harus segera mengirimkan salinan putusan kepada para pihak. Putusan dianggap mempunyai daya mengikat atau binding terhitung dari tanggal pengiriman salinan. Selama dalam jangka waktu 45 hari dari tanggal dimaksud, para pihak dapat mengajukan pertanyaan mengapa dia berbeda pendapat dengan mayoritas anggota arbiter.
Walaupun putusan itu telah diputuskan oleh Centre, namun para pihak atau salah satu pihak dipekenankan melakukan:
a)      Interpetasi putusan;
Artikel 50 ICSID memberi hak kepada setiap pihak untuk mengajukan pendapat tentang penafsiran menyangkut pelaksanaan putusan. Pengajuan intrepretasi putusan diajukan kepada Sekretaris Jenderal. Untuk menyelesaikan perbedaan pendapat penafsiran yang diajukan,diserahkan kepada tribunal arbitrase yang semula memutuskannya. Dalam hal artbitrase semula tidak mungkin lagi menyelesaikan, misalnya karena seorang anggota arbiter meninggal, dapat dibentuk Tribunal baru, yang secara khusus diserahi tugas untuk mengambil desisi (keputusan) atas perbedaan putusan dimaksud. Dalam hal ini, eksekusi lebih baik ditangguhkan.
b)      Revisi putusan
Pada prinsipnya, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Centre dapat direvisi atau diubah. Dalam Artikel 51 ICSID telah ditentukan bahwa setiap pihak diperkenankan untuk mengajukan permintaan “revisi” atas putusan yang dijatuhkan. Pengajuan dibuat secara tertulis dan diajukan kepada Sekretaris Jenderal.
Pengajuan permintaan revisi didasarkan atas alasan ditemukan fakta-fakta yang bersifat sangat menentukan dan mempengaruhi putusan. Pengajuan revisi dalam tempo 90 hari dari tanggal pengiriman salinan putusan.
c)      Pembatalan putusan.
Pada prinsipnya, keputusan oleh Centre dapat diajukan pembatalan oleh salah satu pihak. Permohonan pembatalan putusan diajukan dalam bentuk tertulis, dan ditujukan kepada Sekretaris Jenderal.
Adapun alasan yang dapat digunakan oleh para pihak adalah sebagaiman disebutkan dalam Artikel 52 ayat (1) ICSID, sebagai berikut:
(1)   Pembentukan tribunal arbitrase yang ditunjuk tidak tepat;
(2)   Tribunal Abitrase yang memutus “melampaui batas kewenangan” atau manifestly exeeed its powers.
(3)   Ada “kecurangan” atau corruption dari sementara anggota arbiter.
(4)   Ada penyimpangan yang sangat serius dari fundamentum atau aturan acara.
(5)   Putusan gagal mencantumkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusan.
Permohonan pembatalan putusan diajukan dalam tenggang waktu 120 hari dari tanggal pengiriman salinan putusan kecuali jika pembatalan didasarkan atas alasan “kecurangan” tenggang waktunya 120 hari dari tanggal kecurangan ditemukan.
Sedangkan tata cara pembatalan putusan diatur dalam Artikel 52 ayat (3) ICSID. Tata cara itu adalah sebagai berikut:
(1)   Ketua Dewan Administratif, dalam hal ini Presiden Bank Dunia, menunjuk anggota arbiter untuk duduk dalam Komite ad hoc yang terdiri dari tiga orang.
(2)   Penunjukan anggota arbiter yang akan duduk dalam Komitre ad hoc, tidak boleh diambil dari anggota arbiter yang semula menjatuhkan putusan.
Selama permohonan berjalan, pelaksanaan putusan “dapat” ditangguhkan, jika putusan dibatalkan atas permintaan salah satu pihak, perselisihan semula akan diputus salah satu oleh Tribunal Arbitrase baru yang telah dibentuk.
Aturan arbitrase yang dapat dipilih oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa penanaman investasi asing adalah:
(1)   ICC (international Chamber of Commerce) Rules;
(2)   INCTRAL (United Nation Commision on International Trade Law);
(3)   Konvensi New York; dan
(4)   Konvensi Washington.
4. Perjanjian dan Penerapan Klausul Arbitrase
a. Perjanjian Arbitrase
            Perjanjian arbitrase bukan perjanjian “ bersyarat”. Oleh karena itu, pelaksanaan pejanjian arbitrase tidak digantungkan kepada suatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian arbitrase tidak memprsoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalaj cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pihak yang berjanji.
            Pada perjanjian arbitrase, dicantumkan atau disepakati suatu cara penyelesaian sengketa yang timbul di masa yang akan datang. Selanjutnya, sayarat yang terdapat pada perjanjian bersyarat, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam perjanjian. Syarat dalam perjanjian bersyarat, bukan tambahan yang ditempelkan dalam perjanjian. Syarat tersebut meliputi pokok atau materi perjanjian.[15]
            Terhadap pemilihan hukum, para pihak bebas menentukan pilihan hukukm yang akan berllaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.[16]
b. Klausul Arbitrase
            Dalam praktik dan penulisan, persetujuan arbitrase selalu disebut klausul arbitrase (arbitration clause). Penggunaan istilah klausul arbitrase, mengandung konotasi bahwa perjanjian pokok yang bersangkutan diikuti atau dilengkapi dengan persetujuan mengenai pelaksanaan arbitrase. Dengan kata lain, perjanjian yang bersangkutan, mengandung klausul arbitrase.
            Yang dimaksud dengan isi klausul arbitrase adalah mengenai hal-hal yang boleh dicantumkan dan diperjanjikan, antara lain dalam undang-undang konvensi:
1)      Tidak melampaui isi perjanjian pokok;
2)      Isi klausul boleh secara umum;
3)      Klausul arbitrase secara rinci;
4)      Klausul binding opinion.
Sedangkan keabsahan klausul arbitrase menjadi sah dan dapat dilaksanakan oleh para pihak apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)      Perjanjian/ klausul harus tertulis.
2)      Para pihak secara hukum mampu untuk melaksanakan perjanjian/klausul yang ditandatangi tersebut.
3)      Perjanjian/klausul harus secara jelas menjabarkan maksud dan persetujuan dari para pihak dalam perjanjian.
Pemberlakuan klausul arbitrase dapat terjadi apabila salah satu pihak mencoba untuk mengahalangi atau mengahambat proses arbitrase. Perlawanan dapat dilakukan dengan meminta kepada arbiter untuk memberikan keputusannya tentang keabsahan arbitrase. Oleh karena itu, apabila terdapat salah satu pihak menghalangi pelaksanaan proses arbitrase, dapat melakukan tindakan sebagai berikut[17]:
1)      Meminta pendapat kepada arbiter atas keabsahan klausul arbitrase.
2)      Mohon pelaksanaan proses arbitrase.
3)      Mencegah membawa perkara sengeketa ke pengadilan.
Sebagai contoh adalah klausul arbitrase oleh BANI:
“ semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Banda Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir.”



C. Analisis Kasus PT Newmont
            Berdasarkan pemaparan di atas, melalui sudut pandang Arbitrase dan International Settlement Disputes dapat dianalisis beberapa hal yang berakaitan dengan sengketa antara Pemerintah dengan PT. Newmont, yaitu:
1.    Lembaga dan Hukum yang Digunakan dalam Proses Penyelesaian Sengketa
Dari sisi kelembagaan majelis hakim dalam proses arbitrase yang digunakan antara pemerintah dengan PT. Newmont adalah Majelis Hakim Arbitrase Internasional di Jenewa, Swiss. Sehubungan dengan itu, Mejelis Hakim Intenational di Jenewa tersbut termasuk sebagai Majelis Hakim Arbitrase Intitusional yang memilki kompetensi kewenangan untuk menyelesaikan dan memutus perkara dalam penyelesaian sengketa antara Pemerintah dengan Warga Negara asing. Dengan demikian, dari sisi kelembagaan pengajuan penyelesaian sengketa kepada Majelis Hakim Jenewa adalah sah.
Sehubungan dengan htu, dalam klausul perjanjian kontak karya antara Pemerintah dan PT. Newmont dinyatakan bahwa:
dalam hal para pihak akan menggunakan arbitrase, maka sengeketa akan diselesaikan oleh arbitrase, sesuai dengan peraturan Arbitrase UNCTRAL yang dimuat dalam resolusi, yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Tanggal 15 Desember 1976, yang berjudul Arbritation Rules of the United Nations Commision on International Trade Law yang pada waktu itu berlaku.”
Oleh karena itu, Hukum yang digunakan sebagai aturan dalam pelaksanaan Arbitrase antara Pemerintah Indonesia denga Pt. Mewmont adalah UNCTRAL.
2. Mahkamah Arbitrase (Tribunal Arbitrase).
            Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa dalam pembentukan Tribunal Arbitrase Para Pihak dapat menyetujui arbiter yang ditunjuk oleh Centre. Sebaliknya, dapat menolak apabila arbiter yang ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila metode atau tata cara penunujukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam proses penyelesaian sengketa melalu arbitrase antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont menggunakan cara yang merujuk pada ketentuan Artikel 37 ayat (2) huruf (b) dengan acuan:
1.      Anggota harus terdiri dari tiga orang arbriter;
2.      Masing-masing menunjuk seorang arbriter; dan
3.      Anggota yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi ketua (presiden) dari mahkamah yang bersagkutan.
Dalam hal yang demikian, maka para pihak dapat menunjuk masing-masing seorang arbiter dan mengangkat arbiter ketiga dengan persetujuan para pihak yang langsung mejadi ketua mahkamah arbiter yang bersangkutan.
Adapun para arbiter yang ditunjuk adalah dua orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner). Dengan demikian, penunjukan para arbiter tersebut adalah sah.
3. Jenis Sengketa
            Dilihat dari jenis sengketa, dari catatan Kompas, dalam kasus divestasi NNT, pemerintah pusat sebagai pihak pertama yang punya hak untuk membeli saham, menyatakan tidak memiliki dana. Hak pembelian saham yang mulai ditawarkan tahun 2006 itu kemudian diberikan kepada pemerintah daerah, yakni Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Sumbawa Barat. Pemda jelas tidak memiliki kemampuan sendiri untuk membeli saham NNT tahun 2006 dan 2007 yang jika digabungkan mencapai 400 juta dollar AS. Pemda melalui badan usaha milik daerah kemudian menggandeng pihak swasta, yaitu BUMI dan Trakindo.
Proses divestasi semakin ruwet dengan masuknya pihak swasta. Trakindo adalah mitra lama Newmont dalam mengelola tambang Batu Hijau, sedangkan BUMI dipandang Newmont sebagai kompetitor yang akan mengancam posisi pemegang saham utama NNT jika terus diberi kesempatan ikut dalam divestasi.
Komposisi saham NNT sebanyak 20 persen dimiliki oleh PT Pukuafu Indah yang tercatat sebagai bagian dari 51 persen saham nasional, 35 persen Sumitomo, dan 45 persen Newmont Mining Corporation. Untuk melindungi posisinya, NNT menawarkan skema pinjaman lunak kepada pemda, bahkan memakai alasan bahwa saham yang didivestasikan itu dalam posisi dijaminkan kepada sejumlah bank asing. Artinya, siapa pun yang membeli saham NNT, tidak bisa menjual sahamnya, sampai utang NNT itu lunas.
Semua langkah itu dilakukan NNT yang menginterpretasikan bahwa jika swasta sudah mulai ikut, proses divestasi harus dilakukan melalui mekanisme B (business) to B murni. NNT ingin bisa memilih badan usaha swasta yang sejalan dengan rencana pengembangan bisnisnya dan bisa memberi penawaran paling maksimal atas nilai saham yang akan dijual. Isu-isu semacam ini tidak diatur secara detail dalam kontrak.
Dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default.
Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba Pabum itu diacu oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan divestasi.
Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase menentukan apakah first right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan.
Dilihat dari isi-isi tuntutan tersebut, baik tunturan Pemerintah maupun tuntun PT. Newmont keduanya merupkan yuridiksi dari Badan Arbitrase Internasional. Sehubungan dengan itu, dalam hal perselisihan diajukan berada di luar yuridiksi Centre, Sekretaris Jenderal menolak untuk mendaftar. Untuk itu, Seekretaris Jenderal membuat dan menyampaikan penolakan dalam bentuk “pemberitahuan” atau notice kepada para pihak. Dalam hal permohonan memenuhi syarat, dan permohonan telah didaftar, maka Sekretaris Jenderal menyampaikan “ pemberitahuan” kepada para pihak dan salinan kepada pihak lain.
4. Keputusan
Ada lima poin putusan yang dihasilkan, yaitu panel memerintahkan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) melaksanakan ketentuan Pasal 24 Ayat 3 kontrak karya, menyatakan bahwa NNT telah melakukan pelanggaran perjanjian, memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen saham yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3 persen dan 2007 sebesar 7 persen kepada pemerintah daerah. Adapun untuk tahun 2008 sebesar 7 persen kepada Pemerintah RI.
Semua kewajiban tersebut di atas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Panel arbitrase juga menyatakan bahwa saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai dan sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan urusan PT NNT.
PT NNT diperintahkan untuk mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan arbitrase dalam perkara tersebut dalam tempo 30 hari. Dalam keterangan yang sangat singkat itu, Menteri ESDM sama sekali tidak menyinggung bahwa panel hanya mengabulkan bagian kedua dari tuntutan Pemerintah Indonesia. Arbitrase menolak gugatan pemerintah mengakhiri kontrak karya PT NNT. Kontrak NNT berlaku sampai 2027.
Sehubungan dengan putusan tersebut sebagaimana paparan di atas bahwa putusan harus tertulis dan memuat segala permasalahan serta alasan-alasan yang menyangkut dasar pertimbangan putusan. Oleh karena itu, putusan ini telah sah dan memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Artikel 48 ISCID. Dalam hal ini, keputusan arbitrase dimumukan dalam media massa, artinya para pihak baik Pemeintah dan PT. Newmont telah sepakat untuk mengumumkan hasil putusan. Hal ini dilakukan karena, pada dasarnya setiap kegiatan penanaman modal di Indonesia menganut asas Transparansi dan Akuntabilitas sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.














[1] M. Yahya Harahap, Arbitrase,Cet ke-1, Edisi Ke-2, (Jakarta: SInar Grafika, 2001),h.1
[2] Ibid., h. 2
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),h.144
[7] Ibid., h. 155
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Salim Hs dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012),h. 367-375.
[11] M. Yahya Harahap, Op. Cit.,h. 7.
[12] Salim HS dan Budi Sutrisno, Op. Cit.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Suyud Margono, Op.Cit., h. 146
[16] Ibid.
[17] Ibid.