A.
Kasus Invetasi (Pemerintah Vs PT. Newmont)
1. Lawan
Newmont, Pemerintah RI Menang
JAKARTA, KOMPAS.com- Pemerintah berada di atas angin. Kemarin,
Majelis Hakim Arbitrase Internasional di Jenewa, Swiss, memenangkan Pemerintah
Indonesia dalam sengketa penjualan atau divestasi saham perusahaan tambang PT
Newmont Nusa Tenggara (Newmont).
Arbitrase
Internasional mengabulkan satu dari dua gugatan Pemerintah terhadap Newmont
yang diajukan Juni 2008. Gugatan yang ditolak majelis hakim adalah permintaan
Pemerintah menghentikan kontrak karya Newmont.
Majelis hakim
memutuskan, Newmont harus melepas 17 persen sahamnya dalam waktu 180 hari
sejak putusan keluar, kemarin (31/3). Persentase itu adalah batas kewajiban
Newmont yang belum terlaksana sejak 2006 (3 persen), 2007 (7 persen), dan
2008 (7 persen). Sesuai kontrak dengan pemerintah RI, Newmont harus menjual
saham secara bertahap hingga mencapai 51 persen pada 2010.
Newmont harus
melepas 17 persen saham itu pada Pemerintah Indonesia atau pihak yang
ditunjuk Pemerintah. "Saham itu harus bebas gadai," kata Jaksa
Pengacara Negara, Joseph Suwardi Sabda.
Sekadar catatan,
saat ini Newmont telah menjaminkan sahamnya untuk meminjam dana dari perbankan.
Jika Newmont tidak berhasil melaksanakan putusan ini, Pemerintah berhak
mencabut kontrak karya Newmont.
Simon Felix
Sembiring, mantan Direktur Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi, yang
kini menjadi Staf Khusus Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), mengaku,
saat ini Pemerintah tak hanya dalam posisi menunggu. "Tapi kami juga punya
wewenang menagih karena punya kekuatan hukum tetap," katanya.
Setelah putusan
arbitrase itu keluar, Newmont juga mempunyai kewajiban membayar biaya yang
dikeluarkan Pemerintah untuk proses pengadilan sebesar 1,8 juta dollar AS.
Tapi, perjalanan
kasus ini masih akan panjang. Menurut Kantor berita Reuters, Newmont
malah sudah menjual 7 persen saham senilai 427 juta dollar AS kepada PT
Pukuafu Indah. Perusahaan milik Yusuf Merukh ini adalah mitra lokal yang sudah
menguasai 20 persen saham Newmont.(Gentur Putro Jati/Kontan)
2. Newmont
Akan Patuhi Keputusan Arbitrase
JAKARTA,
KOMPAS.com - Newmont Mining Corporation selaku induk usaha PT Newmont
Nusa Tenggara (NNT) menegaskan, akan mengikuti seluruh keputusan yang sudah
dikeluarkan pengadilan arbitrase internasional terkait divestasi saham NNT
Richard
O Brien, Presiden Direktur dan Chief Executive Officer Newmont Mining
Corporation dalam keterangan persnya membenarkan bahwa hakim panel arbitrase
telah memutuskan bahwa pemegang saham asing NNT belum melaksanakan proses
divestasi yang diharuskan untuk 2006 sebesar 3 persen dan 2007 sebesar 7
persen.
Hakim
panel arbitrase menurut Richard memberikan waktu 180 hari sejak tanggal putusan
dikeluarkan kepada para pemegang saham untuk bekerjasama dengan Pemerintah
untuk melepas saham di NNT kepada Pemerintah atau pihak yang ditunjuk,
sebagaimana dijelaskan dalam Kontrak Karya untuk saham 2006 and 2007. Hakim
panel arbitrase juga menegaskan, Pemerintah Indonesia memiliki hak untuk
memperoleh penawaran terlebih dahulu sehubungan dengan saham tahun 2008 sebesar
7 persen.
"Tetapi
panel arbitrase memutuskan bahwa Kontrak Karya NNT di Tambang Batu Hijau tidak
diterminasi. Saat ini kami tengah mengkaji putusan tersebut dan berharap dapat
membahas langkah ke depan dengan Pemerintah guna melaksanakan putusan Panel
Arbitrase," kata Richard, Rabu (1/4).
Ditambahkannya,
Newmont akan tetap berkomitmen untuk melanjutkan proses divestasi sebagaimana
ditetapkan dalam Kontrak Karya dan dijelaskan dalam putusan arbitrase tersebut.
Newmont
Mining Corporation merupakan pemegang saham NNT bersama dengan Nusa Tenggara
Mining Corporation yang merupakan afiliasi Sumitomo Corporation, Jepang. Pada
1996 Newmont menggadaikan seluruh saham asingnya yang dimiliki Sumitomo dan
Newmont Mining Corporation sebanyak 80 persen kepada Export Import Bank of
Japan, US Export Import Bank, dan KFW Jerman sebesar 1 miliar dollar AS.
Newmont sudah melunasinya sebagian sehingga tinggal sisa 300 juta dollar AS.
Sebanyak 20 persen sisa sahamnya dimiliki oleh perusahaan lokal Pukuafu
Indah.
3. Purnomo:
Newmont Tak Punya Hak Banding
JAKARTA,
KOMPAS.com — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro
menegaskan, PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) tidak memiliki hak banding atas lima
keputusan pengadilan arbitrase internasional yang memenangkan pemerintah.
Menurut
Purnomo, pemerintah masih harus membahas langkah-langkah yang harus dilakukan
terkait keputusan pengadilan arbitrase tersebut sesegera mungkin. Terutama
terkait keputusan pengadilan yang menyebutkan NNT harus mendivestasikan 7
persen saham tahun 2008 untuk Pemerintah Indonesia.
"Masih
harus dirapatkan lagi kepada siapa pemerintah akan melepas sahamnya tersebut.
Tetapi yang pasti, apa yang sudah diputuskan Pengadilan Internasional adalah
putusan akhir dan tidak ada lagi upaya naik banding atas keputusan yang
memenangkan pemerintah," kata Purnomo, Rabu (1/4).
4. Putusan Sengketa Divestasi
Newmont Tertunda
Putusan sengketa divestasi tujuh persen saham
pemerintah di PT Newmont Nusa Tenggara tertunda. Majelis hakim yang dipimpin
Sapawi menyatakan belum siap membacakan putusan lantaran pendapat majelis belum
bulat. Untuk itu, majelis meminta waktu dua minggu untuk memutuskan perkara
ini.
"Suara majelis belum bulat. Untuk itu,
kami meminta agar diberikan waktu dua minggu lagi untuk membacakan putusan
ini," tutur Sapawi di ruang sidang PN Jakarta Pusat, Rabu (7/11).
Kuasa hukum Masyarakat Sipil untuk
Kesejahteraan Rakyat (MSKR) Nusa Tenggara Barat Ulung Purnama menyatakan tidak
keberatan. Menurutnya, penundaan tersebut masih bisa diterima karena baru
ditunda satu kali. “Penundaan sekali masih manusiawi.”
Sebagaimana diketahui, MSKR menggugat Menteri
Keuangan, Kepala Pusat Investasi Pemerintah (PIP), PT Newmont Nusa
Tenggara (NNT), dan Newmont Mining Corporation (NMC) terkait pembelian saham
divestasi 7 persen Newmont. MSKR berpendapat pembelian saham oleh pemerintah
dianggap tidak memperhatikan kepentingan masyarakat NTB. Dengan demikian, MSKR
menilai saham tersebut seharusnya dimiliki oleh masyarakat NTB sendiri.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt509a2c1d82c7e/putusan-sengketa-divestasi-newmont-tertunda
5. Skenario di Balik Divestasi
Newmont
Oleh:
Doty Damayanti
Pemerintah
mengklaim telah memenangi arbitrase kasus divestasi PT Newmont Nusa Tenggara.
Pemerintah menyatakan bahwa panel arbitrase memutus NNT bersalah karena telah
lalai dalam melakukan divestasi sebesar 17 persen dari saham yang ada.
Dalam
pengumuman resmi pada hari Rabu (1/4), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Purnomo Yusgiantoro menyampaikan garis besar putusan arbitrase internasional,
yang menurut dia, pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia.
Ada
lima poin putusan yang dihasilkan, yaitu panel memerintahkan PT Newmont Nusa
Tenggara (NNT) melaksanakan ketentuan Pasal 24 Ayat 3 kontrak karya, menyatakan
bahwa NNT telah melakukan pelanggaran perjanjian, memerintahkan kepada PT NNT
untuk melakukan divestasi 17 persen saham yang terdiri dari divestasi tahun
2006 sebesar 3 persen dan 2007 sebesar 7 persen kepada pemerintah daerah.
Adapun untuk tahun 2008 sebesar 7 persen kepada Pemerintah RI.
Semua
kewajiban tersebut di atas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah
tanggal putusan arbitrase. Panel arbitrase juga menyatakan bahwa saham yang
didivestasikan harus bebas dari gadai dan sumber dana untuk pembelian saham
tersebut bukan urusan PT NNT.
PT
NNT diperintahkan untuk mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh
pemerintah untuk kepentingan arbitrase dalam perkara tersebut dalam tempo 30 hari.
Dalam keterangan yang sangat singkat itu, Menteri ESDM sama sekali tidak
menyinggung bahwa panel hanya mengabulkan bagian kedua dari tuntutan Pemerintah
Indonesia. Arbitrase menolak gugatan pemerintah mengakhiri kontrak karya PT
NNT. Kontrak NNT berlaku sampai 2027.
Sementara,
pada hari yang sama, Newmont Mining Corporation, induk perusahaan NNT di
Denver, Amerika Serikat, mengeluarkan pernyataan resmi tentang putusan
arbitrase yang mengatakan pemerintah tidak berhak memutus kontrak.
Pemerintah
menggugat Newmont ke arbitrase internasional pada 3 Maret 2008. Di hari yang
sama, Newmont juga mengajukan gugatan atas pemerintah. Proses arbitrase
berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang
tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta. Panel terdiri atas tiga anggota. Dua
orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia,
yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli
independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner).
Pemerintah
Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar
memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont
dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default.
Apabila
terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan
Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas
Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba Pabum itu diacu oleh arbitrase
dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan divestasi.
Sebaliknya,
Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak melakukan
kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase
menentukan apakah first right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi.
Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan.
Jaksa
Pengacara Negara (JPN) Joseph Suwardi Sabda mengatakan, panel arbitrase
menilai, kesalahan NNT yang lalai dalam melakukan divestasi 17 persen sahamnya,
belumlah fatal sehingga tidak sebanding jika harus diganjar terminasi kontrak.
Kondisinya akan berbeda apabila porsi saham yang lalai didivestasi itu 50
persen lebih. ”Panel menggunakan hukum yang berlaku di Inggris. Mengacu pada
aturan itu, maka ganjaran yang diberikan yang seminimal mungkin,” kata Joseph.
Namun,
ia mengatakan, masih ada kemungkinan kontrak NNT diakhiri jika tidak sanggup
mematuhi putusan arbitrase. Sebab sesuai bunyi kontrak karya, terminasi bisa
dilakukan jika perusahaan tidak sanggup memperbaiki kesalahan sampai batas
waktu yang diberikan.
Direktur
Eksekutif Reforminer Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kisruh divestasi yang
berujung pada arbitrase itu sebenarnya menunjukkan dua hal. Pertama, potret
ketidakberdayaan pemerintah atas rezim kontrak karya. Kedua, berkuasanya
investasi asing bermodal besar. ”Untuk menyatakan NNT lalai melakukan divestasi
saja, pemerintah harus maju ke arbitrase, dan justru panel menolak tuntutan
utama soal memutus kontrak,” kata Pri Agung.
Bentuk
kontrak atau perjanjian menempatkan posisi pemerintah dan perusahaan
pertambangan berada sejajar. Kontrak dengan perusahaan multinasional selalu
memasukkan klausul penyelesaian melalui arbitrase internasional. Kontrak tidak
tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia kecuali arbitrase menyatakan bahwa
pihak-pihak yang terkait harus mematuhi hasil putusan.
Merunut
sejumlah divestasi perusahaan pertambangan asing, yang memperoleh manfaat dari
divestasi adalah kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan lingkaran
kekuasaan.
Sebagai
contoh, divestasi saham PT Freeport Indonesia yang jatuh ke tangan pengusaha
Aburizal Bakrie dan Bob Hasan. Bakrie juga menangguk keuntungan dengan menadah
saham PT Kaltim Prima Coal yang menjadikan konsorsium perusahaan pertambangan
batu bara terbesar di Indonesia, BUMI Resources. Tambang Batu Hijau, di Nusa
Tenggara Barat, yang dikelola oleh NNT, menghasilkan emas dan tembaga.
Direktur
Indonesia Coal Society Singgih Widagdo menilai, pelaksanaan divestasi saham
perusahaan tambang asing masih jauh dari semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar.
Sejauh ini, divestasi tidak pernah benar-benar dimanfaatkan untuk mengelola
sendiri kekayaan tambang. ”Apabila pemerintah serius, seharusnya dari awal
badan usaha milik negara didorong membeli saham tersebut. Kalau itu dilakukan
dari dulu, sekarang kita sudah punya BUMN tambang yang besarnya sama dengan
perusahaan multinasional,” ujar Singgih.
Ia
mencontohkan BUMN tambang asal Brasil, Companhia Vale do Rio Doce (CVRD), yang
menjadi salah satu perusahaan tambang kelas dunia.
Dari
catatan Kompas, dalam kasus divestasi NNT, pemerintah pusat sebagai pihak
pertama yang punya hak untuk membeli saham, menyatakan tidak memiliki dana. Hak
pembelian saham yang mulai ditawarkan tahun 2006 itu kemudian diberikan kepada
pemerintah daerah, yakni Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa, dan
Kabupaten Sumbawa Barat. Pemda jelas tidak memiliki kemampuan sendiri untuk
membeli saham NNT tahun 2006 dan 2007 yang jika digabungkan mencapai 400 juta
dollar AS. Pemda melalui badan usaha milik daerah kemudian menggandeng pihak
swasta, yaitu BUMI dan Trakindo.
Proses
divestasi semakin ruwet dengan masuknya pihak swasta. Trakindo adalah mitra
lama Newmont dalam mengelola tambang Batu Hijau, sedangkan BUMI dipandang
Newmont sebagai kompetitor yang akan mengancam posisi pemegang saham utama NNT
jika terus diberi kesempatan ikut dalam divestasi.
Komposisi
saham NNT sebanyak 20 persen dimiliki oleh PT Pukuafu Indah yang tercatat
sebagai bagian dari 51 persen saham nasional, 35 persen Sumitomo, dan 45 persen
Newmont Mining Corporation. Untuk melindungi posisinya, NNT menawarkan skema
pinjaman lunak kepada pemda, bahkan memakai alasan bahwa saham yang
didivestasikan itu dalam posisi dijaminkan kepada sejumlah bank asing. Artinya,
siapa pun yang membeli saham NNT, tidak bisa menjual sahamnya, sampai utang NNT
itu lunas.
Semua
langkah itu dilakukan NNT yang menginterpretasikan bahwa jika swasta sudah
mulai ikut, proses divestasi harus dilakukan melalui mekanisme B (business) to
B murni. NNT ingin bisa memilih badan usaha swasta yang sejalan dengan rencana
pengembangan bisnisnya dan bisa memberi penawaran paling maksimal atas nilai
saham yang akan dijual. Isu-isu semacam ini tidak diatur secara detail dalam
kontrak.
Hal
ini, menurut salah satu saksi yang ikut dalam sidang arbitrase, menjadi salah
satu argumentasi Newmont kepada panel arbitrase.
Pengamat
pertambangan, Ryad Charil, menilai ada skenario tertentu di balik putusan
arbitrase. Ia memperkirakan keruwetan atas pelaksanaan divestasi masih
berpotensi pasca-arbitrase. Isu asal dana pihak ketiga, status saham yang
digadai, juga isu-isu lain masih akan muncul. ”Menarik untuk dilihat, siapa
yang menalangi dana pembelian saham untuk pemda, apakah pemerintah pusat
memakai haknya untuk mengambil saham yang ditawarkan NNT,” kata Ryad.
Sumber : Kompas Cetak
6. RI
dan Newmont Bertemu
JAKARTA,
KOMPAS.com — Menindaklanjuti putusan arbitrase
atas divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NTT), tim pemerintah akan bertemu
dengan pihak NNT.
Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Kamis (2/4), mengatakan,
ada dua tim pemerintah yang akan berunding dengan NNT, yaitu yang terkait
eksekusi hasil arbitrase dan terkait teknis divestasi 17 persen pihak NNT
ataupun pemerintah daerah. ”Diharapkan, awal minggu depan ada hasilnya,” kata
Purnomo.
Butir
kedua dan ketiga putusan arbitrase memerintahkan NNT untuk menyelesaikan
divestasi sebesar 10 persen kepada pemerintah daerah dan 7 persen kepada
pemerintah pusat. Semua proses tersebut harus selesai dalam 180 hari.
Dirjen
Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Bambang Setiawan mengatakan, perlu ada
evaluasi harga atas nilai divestasi yang seharusnya dilakukan pada 2008. Sebab,
kondisi harga komoditas saat ini lebih rendah. Nilai divestasi pada 2008
sebesar 426 juta dollar AS.
Sumber : Kompas Cetak
Editor :
B. Arbitrase dan International Settlement Disputes
1. Dasar Hukum
a.
Pasal 377 HIR
“Jika orang
Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh
juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang
berlaku bagi bangsa Eropa.
Pasal ini
merupakan landasan pembolehan bagi keberadaan arbitrase dalam kehidupan dan
praktek hukum. Adapun kandungan dalam pasal tersebut, adalah sebagai berikut[1]:
1)
Menyelesaikan
sengketa “juru pisah” atau arbitrase, dan
2)
Arbitrase
diberi fungsi dan kewenangan untuk meyelesaikan dalam bentuk “ keputusan”.
3)
Kewajiban
tunduk pada hukum acara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
b. Pasal 615-651 (Rv) Buku Ketiga Reglemen Acara Perdata tentang
Aneka Acara
Sebagai pedoman
aturan umum arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara Perdata, meliputi lima
bagian pokok, yaitu[2]:
1)
Bagian
Pertama (615-623) : persetujuan
arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter.
2)
Bagian
Kedua (624-630) : pemeriksaan di
muka badan arbitrase.
3)
Bagian
Ketiga (631-640) : putusan
arbitrase.
4)
Bagian
Keempat (641-647) : upaya-upaya
terhadap putusan arbitrase.
5)
Bagian
Kelima (647-651) : berakhirnya
acara-acara arbitrase.
c. UU No. 5 Tahun 1968
UU No. 5 Tahun
1968 merupakan manifestasi dari Persetujuan Atas Konvensi Penyelesaian
Antarnegara dan Warga Negara Asing mengenai Penanamn Modal (Convention on
the Settlement of Invesment Disputes Between States and National of Other
States). Tujuan menetapkan persetujuan ini adalah untuk mendorong dan
membina perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di
Indonesia. Sebab, dengan diakuinya konvensi tersebut oleh Pemerintah Indonesia,
sedikit banyak akan memberikan keyakian kepada investor asing bahwa sengketa
yang akan timbul dapat dibawa ke forum arbitrase. Dala hal ini, penyelesaian
sengketa tidak didasarkan pada ketentuan hukum Indonesia yang pada umumnya
tidak dipahami oleh Investor Asing.[3]
Konvensi ini
kemudian melahirkan Dewan Arbitrase International Center for the Settlement
of Invesment Disputes Between States (ICSID) yang berkedudukan di
Washington (Amerika Serikat).
Melalui UU. No 5
Tahun 1968 Pemerintah Indonesia, “mempunyai wewenang”:
1)
Untuk
memberi persetujuan agar perselisihan tentang penanaman modal antara Republik
Indonesia dengan Warga Negara Asing diputus menurut Konvensi dimaksud, dan
2)
Pemerintah
dalam hal ini bertindak “mewakili” RI dalam perselisihan dengan hak
“subtitusi”.
Adanya
ketentuan tersebut, tidak berarti bahwa setiap sengkera harus tunduk pada
ketentuan dalam Convention on the Settlement of Invesment Disputes Between
States and National of Other States . Sebagaiman dijelaskan dalam
Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1968 dinyatakan bahwa, meskipun Konvensi berlaku
untuk suatu Negara, tidak ada suatu “kewajiban” bahwa setiap perselisihan harus
diselesaikan menurut konvensi. Syarat mutlak untuk penyelesaian menurut
konvensi adalah “persetujuan” kedua belah pihak yang berselisih.
d. KEPPRES No. 34 Tahun 1981[4]
Kepres ini
mengatur tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of
Foreign Arbital Award. Prinsip pokok Keppres ini adalah:
1)
Pengakuan
atau recognition atas putusan arbitrase asing. Artinya putusan arbitrase
asing dengan sendirinya memiliki daya self execution di negara
Indonesia.
2)
Namun
demikian sifaf self execution yang
terkandung dalam putusan arbitrase asing didasarkan atas asa “ resiprositas”.
Dengan
berlakunya keppres No. 34 Tahun 1981, Indonesia telah mengikatkan diri dengan
suatu kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi pelaksanaan eksekusi atas setiap
putusan arbitrase asing. Penetapan keppres ini juga bertujuan untuk memasukkan
Konvensi New York 1958 ke dalam tata hukum intern Indonesia.
e. PERMA No. 1 Tahun 1990[5]
Perma No. 1 Tahun
1990 ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas tata cara pelaksanaan eksekusi
putusan arbitrase asing. Perma ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 1990.
f. UU No. 30 Tahun 1999[6]
Undang-undang No.
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-undang ini merupakan perubahan atas ketentuan dalam Pasal 615 sampai 651
dan juga Pasal 377 HIR, dan dengan adanya undang-undang ini semua peraturan
tersebut dinyatakan tidak berlaku.
2. Jenis Arbitrase
a.
Arbitrase Ad-Hoc
Arbitrase ad-hoc disebut juga arbitrase volunter. Ketentuan
dalam Reglemen rechtvordering mengenai lembaga arbitrase ad-hoc menyatakan
bahwa arbitrase ad-hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk
menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain,
bersifat insidentil.[7]
Untuk mengetahui dan menentukan jenis arbitrse ini dapat dilihat
dari rumusan klausul pactum de compromittendo atau kata kompromis yang
menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri
diluar arbitrase institusional.[8]
Ciri pokok arbitrase ad-hoc adalah penunjukan arbiternya secara
perseorangan.
b.
Arbitrase Institusional
Arbitrase
intitusional adalah lembaga arbitase yang bersifat permanen, karena sifatnya
yang permanen tersebut, maka disebut “permanent arbital body”. Arbitase
Intitusional ditujukan untuk menangani sengketa yang mungkin timbul bagi mereka
yang menghendaki penyelesaian diluar pengadilan. Arbitrase ini merupakan wadah
yang didirikan sengaja untuk menampung perselisihan yang timbul dari
perjanjian.[9]
3. Tata Cara Penyelasian Sengketa Melalui Arbitrase
Dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah diatur cara penyelesaian sengketa yang
timbul dalam penanaman modal antara pemerintah dan investor asing. Dalam
ketentuan itu, ditentukan dua cara penyelesaian sengketa, yaitu[10]:
1.
Musyawarah
Mufakat; dan
2.
Arbitrase
Internasional
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk mengakhiri
perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing, di
mana kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Indonesia. Sifatnya internasional. Biasanya
yang dipilih adalah arbitraase internasional yang berkedudukan di Paris.
Sebagaimana di
jelaskan di atas, bahwa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang
Penyelesaian Perselisihan Antar Negara dan Warga Negara Asing Mengenai
Penanaman Modal, telah ditentukan penyelesaian sengketa yang terjadi antara
negara dengan warga negara asing. Di dalam undang-undang itu ditentukan bahwa
ketentuan yang digunakan dalam penyelesaian sengketa adalah International
Center for Settelement of Investment Dispute yang kemudian melahirkan Dewan
Arbitrase International Center for the Settlement of Invesment Disputes
Between States (ICSID) yang berkedudukan di Washington (Amerika Serikat).[11]
Arbitrase International
Center for the Settlement of Invesment Disputes Between States (ICSID)
terdiri atas 9 bab (chapter) dan 75 Pasal (artikel). Hal-hal yang diatur dalam
ICSID ini, meliputi[12]:
1.
Chapter
I Arbitrase International Center for the Settlement of Invesment Disputes
Between States (ICSID) (artikel 1 sampai dengan 24).
2.
Chapter
II Juricdition on the Centre (artikel 25 sampai 27).
3.
Chapter
III Conciliation (Artikel 28 sampai dengann artikel 35).
4.
Chapter
IV Arbitration (artikel 36 sampai 55).
5.
Chapter
V Replacment and Disqualification of Conciliatiors and Arbitrator (artikel 56
sampai 55).
6.
Chapter
VI Cost of Procedings (artikel 59 sampai artikel 63).
7.
Chapter
VII Disputes Between Contracting States (Artikel 64).
8.
Chapter
VIII Amendment (artikel 65 sampai 66).
9.
Chapter
IX Final Provisions (artikel 67 sampai 75).
Ada
dua pola penyelesaian yang di atur dalam ICSID, yaitu:
1.
Penyelesaian
sengketa melalui konsiliasi; dan
2.
Penyelesaian
dengan menggunakan arbitrase.
Sehubungan
dengan itu, yang akan dibahas adalah penyelasian sengketa melalui Arbitrase.
Oleh karena itu, pemaparan lebih difokuskan terhadap prosedur penyelesaian
sengketa melalui arbitrase.
1.
Tata
Cara Pengajuan Permohonan Arbitrase[13]
Mengenai tata
cara pengajuan permohonan di atur dalam artikel 36 ICSID, yaitu sebagai
berikut:
a)
Pengajuan
permohonan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Dewan Administratif Centre.
b)
Permohonan
diajukan secara tertulis.
c)
Permohonan
memuat penjelasan tentang:
(1)
Pokok-pokok
perselisihan;
(2)
Identitas
para pihak; dan
(3)
Mengenai
adanya persetujuan mereka untuk mengajukan perselisihan yang timbul menurut
ketentuan Centre.
Setelah
menerima permohonan tersebut, Sekretaris Jenderal mendaftar permohonan. Kecuali
jika ditemukan dalam penjelasan permohonan bahwa perselisihan yang timbu
nyata-nyata diluar yuridiksi Centre. Dalam hal perselisihan diajukan berada di
luar yuridiksi Centre, Sekretaris Jenderal menolak untuk mendaftar. Untuk itu,
Seekretaris Jenderal membuat dan menyampaikan penolakan dalam bentuk
“pemberitahuan” atau notice kepada para pihak. Dalam hal permohonan
memenuhi syarat, dan permohonan telah didaftar, maka Sekretaris Jenderal
menyampaikan “ pemberitahuan” kepada para pihak dan salinan kepada pihak lain.
2. Pembentukan Tribunal Arbitrase
Proses selanjutnya
setelah pengajuan permohonan adalah pembentukan tribunal arbitrase atau
Mahkamah Arbitrase. Menurut ketentuan Artike 37 ayat (2) ICSID tata cara
pembentukan mahkamah arbitrase adalah sebagai berikut:
a)
Boleh
hanya terdiri dari seorang arbriter saja;
b)
Tetapi
boleh juga arbiternya terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya ganjil.
Jika para pihak
tidak menenrima tata cara penunujukan yang dilakukan Centre, cara lain
penunjukan arbiter merujuk pada ketentuan Artikel 37 ayat (2) huruf b ICSID,
dengan acuan penerapan:
a)
Anggota
harus terdiri dari tiga orang arbriter;
b)
Masing-masing
menunjuk seorang arbriter; dan
c)
Anggota
yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi ketua (presiden) dari mahkamah yang
bersagkutan.
Para pihak
tersebut dapat menyetujui arbiter yang ditunjuk Centre. Sebaliknya dapat
menolak apabila arbiter yang ditunjuk tidak mereke setujui, atau apabila metode
dan tata cara penunjukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam hal yang demikian,
maka para pihak dapat menunjuk masing-masing seorang arbiter. Dan mengangkat
arbiter ketiga dengan persetujuan para pihak yang langsung mejadi ketua
mahkamah arbiter yang bersangkutan.
Selanjutnya
dalam Artikel 38 ICSID, apabila dalam tempo 90 hari dari tanggal pemberitahuan
pendafaftaran permohonan tribunal belum dibentuk. Ketua Dewan Administrasi
ICSID berwenang menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter. Kewenangan
tersebut tidaklah mutlak, kewenangan tersebut dimiliki setelah ada permohonan
dari salah satu pihak. Selain itu, penunjukan arbiter tidak boleh dari negara
konvensi sedang berselisih. Hal ini tercantum dalam Artikel 39 Konvensi. Namun,
apabila kedua belah pihak menyetujui bahwa seorang arbiter ditunjuk dari salah
satu negara para pihak, maka peraturan tersebut dapat dikesampingkan.
3. Kewenagan dan Fungsi Tribunal Arbitrase[14]
Adapun kewenangan
dari Arbitrase Centre adalah mengadili dan memutus perselisihan sesuai dengan
kompetensinya (Artikel 40 ICSID). Dalam hal bantahan dari salah satu pihak yang
menyatakan apa yang diperselisihkan berada diluar yuridiksi Centre atau
beradasar alasan lain yang memperlihatkan apa yang diperselisihkan berada
diluar kewenangan tribunal arbitrase yang dibentuk, tribunal yang bersangkutan
terlebih dahulu mempertimbangkan dan memutus tentang hal tersebut dalam bentuk
putusan pendahuluan (preliminary). Akan tetapi, bisa juga hal itu
diputus bersamaan dengan pokok persengketaan apabila tata cara yang demikian
lebih bermanfaat.
Sehubungan dengan
kewenangan dan fungsi memutus perselisihan, lebih lanjut diuraikan dalam
hal-hal dibawah ini:
a)
Memutus
sengketa menurut hukum
(1)
Centre
harus memutus berdasarkan hukum yang telah disepakati para pihak dalam
perjanjian.
(2)
Dalam
perjanjia tidak menentukan tata hukum mana yang akan diterapkan, Centre
menerapkan tata hukum dari negara yang berselisih. Dalam menetapkan tata hukum
yang demikian, harus senantiasa berpedoman pada ketentuan dan asas hukum
international.
(3)
Centre
dilarang menetapkan hukum yang tidak dikenal oleh para pihak yang berselisih.
(4)
Akan
tetapi, Centre dapat memutus perselisihan berdasar “kepatutan” atau “ ex
aequo et bono”, jika hal itu disepakati para pihak dalam perjanjian.
b)
Memanggil
dan melakukan pemeriksaan setempat.
Dalam
Artikel 43 ICSID telah ditentukan kewenangan tribunal yang meliputi:
(1)
Memanggil
atau meminta para pihak untuk menyerahkan dokumen atau alat bukti yang dianggap
penting.
(2)
Melakukan
pemerikasaan setempat atau memriksa langsung barang, orang, serta mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dianggap patut dan bermanfaat dalam penyelesaian
perselisihan.
Kewenangan
tersebut gugur apabila para pihak menetukan lain dalam perjanjian.
c)
Putusan
Provisi
Dalam
Artikel 47 ICSID telah ditentukan kewenangan dari Centre. Kewenangan itu adalah
menjatuhkan:
(1)
Putusan
pendahuluan
(2)
Putusan
provisi;maupun
(3)
Tindakan
sementara.
Penjatuhan putusan itu didasarkan pada pertimbangan untuk
melindungi dan menghormati hak dan kepentingan salah satu pihak. Tindakan
putusan sementara, dapat dimaksudkan sebagai penyitaan barang-barang yang
disengketakan, agar gugatan tidak mengalai illusoir di kemudian hari.
Bisa juga dalam bentuk pelarangan penjualan dan pemindahan barang, asalkan itu
merupakan objek yang langsung terlibat dalam persetujuan.
4. Putusan Arbitrase Centre
Dalam Artikel 48
ICSID telah ditentukan tata cara pengambilan putusan. Tata cara pengambilan
keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
a)
Putusan
diambil berdasar suara mayoritas anggota arbiter.
b)
Putusan
arbiter yang sah ialah:
(1)
Dituangkan
dalam putusan secara tertulis; dan
(2)
Ditandatangani
oleh anggota arbiter yang menyetujui putusan.
c)
Putusan
memuat segala permasalahan serta alasan-alasan yang menyangkut dasar
pertimbangan putusan.
d)
Setiap
anggota arbiter dibenarkan mencantumkan pendapat pribadi dalam putusan,
meskipun pendapat tersebut berbeda dan menyimpang dari pendapat mayoritas
anggota. Bahkan, boleh juga seorang anggota mencantumkan peryataan mengapa dia
berbeda pendapat dengan mayoritas anggota arbiter.
e)
Centre
tidak boleh mempublikasikan putusan, tanpa persetujuan para pihak.
Selanjutnya,
Sekretaris Jenderal harus segera mengirimkan salinan putusan kepada para pihak.
Putusan dianggap mempunyai daya mengikat atau binding terhitung dari
tanggal pengiriman salinan. Selama dalam jangka waktu 45 hari dari tanggal
dimaksud, para pihak dapat mengajukan pertanyaan mengapa dia berbeda pendapat
dengan mayoritas anggota arbiter.
Walaupun
putusan itu telah diputuskan oleh Centre, namun para pihak atau salah satu
pihak dipekenankan melakukan:
a)
Interpetasi
putusan;
Artikel
50 ICSID memberi hak kepada setiap pihak untuk mengajukan pendapat tentang
penafsiran menyangkut pelaksanaan putusan. Pengajuan intrepretasi putusan
diajukan kepada Sekretaris Jenderal. Untuk menyelesaikan perbedaan pendapat
penafsiran yang diajukan,diserahkan kepada tribunal arbitrase yang semula
memutuskannya. Dalam hal artbitrase semula tidak mungkin lagi menyelesaikan,
misalnya karena seorang anggota arbiter meninggal, dapat dibentuk Tribunal
baru, yang secara khusus diserahi tugas untuk mengambil desisi (keputusan) atas
perbedaan putusan dimaksud. Dalam hal ini, eksekusi lebih baik ditangguhkan.
b)
Revisi
putusan
Pada prinsipnya, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Centre dapat
direvisi atau diubah. Dalam Artikel 51 ICSID telah ditentukan bahwa setiap
pihak diperkenankan untuk mengajukan permintaan “revisi” atas putusan yang
dijatuhkan. Pengajuan dibuat secara tertulis dan diajukan kepada Sekretaris
Jenderal.
Pengajuan permintaan revisi didasarkan atas alasan ditemukan
fakta-fakta yang bersifat sangat menentukan dan mempengaruhi putusan. Pengajuan
revisi dalam tempo 90 hari dari tanggal pengiriman salinan putusan.
c)
Pembatalan
putusan.
Pada prinsipnya, keputusan oleh Centre dapat diajukan pembatalan
oleh salah satu pihak. Permohonan pembatalan putusan diajukan dalam bentuk
tertulis, dan ditujukan kepada Sekretaris Jenderal.
Adapun alasan yang dapat digunakan oleh para pihak adalah
sebagaiman disebutkan dalam Artikel 52 ayat (1) ICSID, sebagai berikut:
(1)
Pembentukan
tribunal arbitrase yang ditunjuk tidak tepat;
(2)
Tribunal
Abitrase yang memutus “melampaui batas kewenangan” atau manifestly exeeed
its powers.
(3)
Ada
“kecurangan” atau corruption dari sementara anggota arbiter.
(4)
Ada
penyimpangan yang sangat serius dari fundamentum atau aturan acara.
(5)
Putusan
gagal mencantumkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusan.
Permohonan pembatalan putusan diajukan dalam tenggang waktu 120
hari dari tanggal pengiriman salinan putusan kecuali jika pembatalan didasarkan
atas alasan “kecurangan” tenggang waktunya 120 hari dari tanggal kecurangan ditemukan.
Sedangkan tata cara pembatalan putusan diatur dalam Artikel 52 ayat
(3) ICSID. Tata cara itu adalah sebagai berikut:
(1)
Ketua
Dewan Administratif, dalam hal ini Presiden Bank Dunia, menunjuk anggota
arbiter untuk duduk dalam Komite ad hoc yang terdiri dari tiga orang.
(2)
Penunjukan
anggota arbiter yang akan duduk dalam Komitre ad hoc, tidak boleh
diambil dari anggota arbiter yang semula menjatuhkan putusan.
Selama permohonan berjalan, pelaksanaan putusan “dapat”
ditangguhkan, jika putusan dibatalkan atas permintaan salah satu pihak,
perselisihan semula akan diputus salah satu oleh Tribunal Arbitrase baru yang
telah dibentuk.
Aturan arbitrase yang dapat dipilih oleh para pihak dalam
menyelesaikan sengketa penanaman investasi asing adalah:
(1)
ICC
(international Chamber of Commerce) Rules;
(2)
INCTRAL
(United Nation Commision on International Trade Law);
(3)
Konvensi
New York; dan
(4)
Konvensi
Washington.
4. Perjanjian dan Penerapan Klausul Arbitrase
a. Perjanjian Arbitrase
Perjanjian
arbitrase bukan perjanjian “ bersyarat”. Oleh karena itu, pelaksanaan pejanjian
arbitrase tidak digantungkan kepada suatu kejadian tertentu di masa yang akan
datang. Perjanjian arbitrase tidak memprsoalkan masalah pelaksanaan perjanjian,
tetapi hanya mempersoalkan masalaj cara dan lembaga yang berwenang
menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pihak yang berjanji.
Pada perjanjian
arbitrase, dicantumkan atau disepakati suatu cara penyelesaian sengketa yang
timbul di masa yang akan datang. Selanjutnya, sayarat yang terdapat pada
perjanjian bersyarat, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam
perjanjian. Syarat dalam perjanjian bersyarat, bukan tambahan yang ditempelkan
dalam perjanjian. Syarat tersebut meliputi pokok atau materi perjanjian.[15]
Terhadap pemilihan
hukum, para pihak bebas menentukan pilihan hukukm yang akan berllaku terhadap
penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.[16]
b. Klausul Arbitrase
Dalam praktik dan
penulisan, persetujuan arbitrase selalu disebut klausul arbitrase (arbitration
clause). Penggunaan istilah klausul arbitrase, mengandung konotasi bahwa
perjanjian pokok yang bersangkutan diikuti atau dilengkapi dengan persetujuan
mengenai pelaksanaan arbitrase. Dengan kata lain, perjanjian yang bersangkutan,
mengandung klausul arbitrase.
Yang dimaksud
dengan isi klausul arbitrase adalah mengenai hal-hal yang boleh dicantumkan dan
diperjanjikan, antara lain dalam undang-undang konvensi:
1)
Tidak
melampaui isi perjanjian pokok;
2)
Isi
klausul boleh secara umum;
3)
Klausul
arbitrase secara rinci;
4)
Klausul
binding opinion.
Sedangkan
keabsahan klausul arbitrase menjadi sah dan dapat dilaksanakan oleh para pihak
apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)
Perjanjian/
klausul harus tertulis.
2)
Para
pihak secara hukum mampu untuk melaksanakan perjanjian/klausul yang
ditandatangi tersebut.
3)
Perjanjian/klausul
harus secara jelas menjabarkan maksud dan persetujuan dari para pihak dalam
perjanjian.
Pemberlakuan
klausul arbitrase dapat terjadi apabila salah satu pihak mencoba untuk
mengahalangi atau mengahambat proses arbitrase. Perlawanan dapat dilakukan
dengan meminta kepada arbiter untuk memberikan keputusannya tentang keabsahan
arbitrase. Oleh karena itu, apabila terdapat salah satu pihak menghalangi
pelaksanaan proses arbitrase, dapat melakukan tindakan sebagai berikut[17]:
1)
Meminta
pendapat kepada arbiter atas keabsahan klausul arbitrase.
2)
Mohon
pelaksanaan proses arbitrase.
3)
Mencegah
membawa perkara sengeketa ke pengadilan.
Sebagai
contoh adalah klausul arbitrase oleh BANI:
“ semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan
dan diputus oleh Banda Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut
peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua
belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir.”
C. Analisis Kasus PT Newmont
Berdasarkan
pemaparan di atas, melalui sudut pandang Arbitrase dan International Settlement
Disputes dapat dianalisis beberapa hal yang berakaitan dengan sengketa antara
Pemerintah dengan PT. Newmont, yaitu:
1.
Lembaga dan Hukum yang Digunakan dalam Proses Penyelesaian Sengketa
Dari sisi
kelembagaan majelis hakim dalam proses arbitrase yang digunakan antara
pemerintah dengan PT. Newmont adalah Majelis Hakim Arbitrase Internasional di
Jenewa, Swiss. Sehubungan dengan itu, Mejelis Hakim Intenational di Jenewa
tersbut termasuk sebagai Majelis Hakim Arbitrase Intitusional yang memilki
kompetensi kewenangan untuk menyelesaikan dan memutus perkara dalam
penyelesaian sengketa antara Pemerintah dengan Warga Negara asing. Dengan
demikian, dari sisi kelembagaan pengajuan penyelesaian sengketa kepada Majelis
Hakim Jenewa adalah sah.
Sehubungan
dengan htu, dalam klausul perjanjian kontak karya antara Pemerintah dan PT.
Newmont dinyatakan bahwa:
“dalam hal para pihak akan menggunakan arbitrase, maka sengeketa
akan diselesaikan oleh arbitrase, sesuai dengan peraturan Arbitrase UNCTRAL
yang dimuat dalam resolusi, yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada Tanggal 15 Desember 1976, yang berjudul Arbritation Rules of
the United Nations Commision on International Trade Law yang pada waktu itu
berlaku.”
Oleh karena
itu, Hukum yang digunakan sebagai aturan dalam pelaksanaan Arbitrase antara
Pemerintah Indonesia denga Pt. Mewmont adalah UNCTRAL.
2. Mahkamah Arbitrase (Tribunal Arbitrase).
Sebagaimana
dijelaskan di atas, bahwa dalam pembentukan Tribunal Arbitrase Para Pihak dapat
menyetujui arbiter yang ditunjuk oleh Centre. Sebaliknya, dapat menolak apabila
arbiter yang ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila metode atau tata cara
penunujukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam proses penyelesaian sengketa
melalu arbitrase antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont menggunakan cara
yang merujuk pada ketentuan Artikel 37 ayat (2) huruf (b) dengan acuan:
1.
Anggota
harus terdiri dari tiga orang arbriter;
2.
Masing-masing
menunjuk seorang arbriter; dan
3.
Anggota
yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi ketua (presiden) dari mahkamah yang
bersagkutan.
Dalam hal yang
demikian, maka para pihak dapat menunjuk masing-masing seorang arbiter dan
mengangkat arbiter ketiga dengan persetujuan para pihak yang langsung mejadi
ketua mahkamah arbiter yang bersangkutan.
Adapun para
arbiter yang ditunjuk adalah dua
orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia,
yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli
independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner). Dengan demikian,
penunjukan para arbiter tersebut adalah sah.
3. Jenis Sengketa
Dilihat dari jenis sengketa, dari
catatan Kompas, dalam kasus divestasi NNT, pemerintah
pusat sebagai pihak pertama yang punya hak untuk membeli saham, menyatakan
tidak memiliki dana. Hak pembelian saham yang mulai ditawarkan tahun 2006 itu
kemudian diberikan kepada pemerintah daerah, yakni Provinsi Nusa Tenggara
Barat, Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Sumbawa Barat. Pemda jelas tidak
memiliki kemampuan sendiri untuk membeli saham NNT tahun 2006 dan 2007 yang
jika digabungkan mencapai 400 juta dollar AS. Pemda melalui badan usaha milik
daerah kemudian menggandeng pihak swasta, yaitu BUMI dan Trakindo.
Proses divestasi semakin ruwet dengan masuknya pihak swasta.
Trakindo adalah mitra lama Newmont dalam mengelola tambang Batu Hijau,
sedangkan BUMI dipandang Newmont sebagai kompetitor yang akan mengancam posisi
pemegang saham utama NNT jika terus diberi kesempatan ikut dalam divestasi.
Komposisi saham NNT sebanyak 20 persen dimiliki oleh PT
Pukuafu Indah yang tercatat sebagai bagian dari 51 persen saham nasional, 35
persen Sumitomo, dan 45 persen Newmont Mining Corporation. Untuk melindungi
posisinya, NNT menawarkan skema pinjaman lunak kepada pemda, bahkan memakai
alasan bahwa saham yang didivestasikan itu dalam posisi dijaminkan kepada
sejumlah bank asing. Artinya, siapa pun yang membeli saham NNT, tidak bisa
menjual sahamnya, sampai utang NNT itu lunas.
Semua langkah itu dilakukan NNT yang menginterpretasikan
bahwa jika swasta sudah mulai ikut, proses divestasi harus dilakukan melalui
mekanisme B (business) to B murni. NNT ingin bisa memilih badan usaha swasta
yang sejalan dengan rencana pengembangan bisnisnya dan bisa memberi penawaran
paling maksimal atas nilai saham yang akan dijual. Isu-isu semacam ini tidak
diatur secara detail dalam kontrak.
Dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia mengajukan dua
tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah bisa
melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan karena perusahaan
melakukan kelalaian alias default.
Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta
arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen
Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba
Pabum itu diacu oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan
divestasi.
Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan
pihaknya tidak melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak.
Meminta arbitrase menentukan apakah first right of refusal pemerintah sudah
tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada
pihak yang diinginkan.
Dilihat
dari isi-isi tuntutan tersebut, baik tunturan Pemerintah maupun tuntun PT.
Newmont keduanya merupkan yuridiksi dari Badan Arbitrase Internasional.
Sehubungan dengan itu, dalam hal
perselisihan diajukan berada di luar yuridiksi Centre, Sekretaris Jenderal
menolak untuk mendaftar. Untuk itu, Seekretaris Jenderal membuat dan
menyampaikan penolakan dalam bentuk “pemberitahuan” atau notice kepada
para pihak. Dalam hal permohonan memenuhi syarat, dan permohonan telah
didaftar, maka Sekretaris Jenderal menyampaikan “ pemberitahuan” kepada para
pihak dan salinan kepada pihak lain.
4. Keputusan
Ada lima poin putusan yang dihasilkan, yaitu panel
memerintahkan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) melaksanakan ketentuan Pasal 24
Ayat 3 kontrak karya, menyatakan bahwa NNT telah melakukan pelanggaran
perjanjian, memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen
saham yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3 persen dan 2007 sebesar
7 persen kepada pemerintah daerah. Adapun untuk tahun 2008 sebesar 7 persen
kepada Pemerintah RI.
Semua kewajiban tersebut di atas harus dilaksanakan dalam
waktu 180 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Panel arbitrase juga
menyatakan bahwa saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai dan sumber
dana untuk pembelian saham tersebut bukan urusan PT NNT.
PT NNT diperintahkan untuk mengganti biaya-biaya yang sudah
dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan arbitrase dalam perkara tersebut
dalam tempo 30 hari. Dalam keterangan yang sangat singkat itu, Menteri ESDM
sama sekali tidak menyinggung bahwa panel hanya mengabulkan bagian kedua dari
tuntutan Pemerintah Indonesia. Arbitrase menolak gugatan pemerintah mengakhiri
kontrak karya PT NNT. Kontrak NNT berlaku sampai 2027.
Sehubungan dengan putusan tersebut sebagaimana paparan di
atas bahwa putusan harus tertulis dan memuat segala
permasalahan serta alasan-alasan yang menyangkut dasar pertimbangan putusan.
Oleh karena itu, putusan ini telah sah dan memenuhi persyaratan sebagaimana
ditentukan dalam Artikel 48 ISCID. Dalam hal ini, keputusan arbitrase dimumukan
dalam media massa, artinya para pihak baik Pemeintah dan PT. Newmont telah
sepakat untuk mengumumkan hasil putusan. Hal ini dilakukan karena, pada
dasarnya setiap kegiatan penanaman modal di Indonesia menganut asas
Transparansi dan Akuntabilitas sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Umum
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
[1] M.
Yahya Harahap, Arbitrase,Cet ke-1, Edisi Ke-2, (Jakarta: SInar Grafika,
2001),h.1
[2]
Ibid., h. 2
[3]
Ibid.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
[6]
Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2010),h.144
[7]
Ibid., h. 155
[8]
Ibid.
[9]
Ibid.
[10]
Salim Hs dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Press, 2012),h. 367-375.
[11]
M. Yahya Harahap, Op. Cit.,h. 7.
[12]
Salim HS dan Budi Sutrisno, Op. Cit.
[13]
Ibid.
[14]
Ibid.
[15]
Suyud Margono, Op.Cit., h. 146
[16]
Ibid.
[17]
Ibid.