PENCATATAN SIPIL DI INDONESIA
A.Pengertian dan Sumber Pencatatan Sipil
KUHPerdata tidak memberikan pengertian dari apa yang dimaksud
dengan pencatatan sipil itu. Padahal Lembaga Pencatatan Sipil ini sudah dikenal
sejak zaman Hindia Belanda,namun di dalam Art.16 NBW Baru negeri Belanda
disebutkan bahwa catatan sipil merupakan intuisi untuk meregistrasi kedudukan
hukum mengenai pribadi seseorang terhadap kelahirannya, perkawinannya, perceraiannya,
orang tuanya, dan kematiannya.[1]Untuk
lebih jelasnya di bawah ini akan dipaparkan beberapa pendapat mengenai pencatatan sipil.[2]
1.
Menurut
Subekti dan Tijitrosoedibio:
“Burgelijk Stand (Belanda),catatan sipil adalah suatu
lembaga yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan
guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi para warga Negara,
seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian.”
2.
Menurut
Volmar :
“Catatan sipil adalah suatu lembaga yang diadakan oleh penguasa
yang bermaksud membukukan selengkap mungkin dan karena itu memberikan kepastian
sebesar-besarnya tentang semua peristiwa penting bagi status keperdataan
seseorang mengenai kelahiran, pengakuan, perkawinan, perceraian, dan kematian.
Peristiwa-peristiwa ini dicatat,agar mengenai itu baik bagi yang berkepentingan
maupun bagi pihak ketiga ada buktinya.”
3.
Menurut
Nico Gami dan I Nyoman Budi Jaya:
“Catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat
atau mendaftar setiap peristiwa yang dialami oleh warga masyarakat, misalnya
kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Tujuannya untuk mendapatkan
data selengkap mungkin, agar status warga masyarakat dapat diketahui."
Dari penjelasan di
atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa terdapat beberapa unsur-unsur penting dalam
Lembaga Pencatatan Sipil yaitu sebagai berikut:
a.
Di
bentuk oleh pemerintah.
b.
Betugas
mencatat, mendaftarkan, dan membukukan peristiwa penting bagi status
keperdataan.
c.
Bertujuan
mendapatkan data yang lengkap, agar status warga dapat diketahui dan
dibuktikan.
Adapun pengaturan catatan sipil atau pencatatan sipil diatur dalam
Bab kedua Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 Buku Kesatu KUHPerdata.
Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 KHUPerdata tersebut
mengatur mengenai akta-akta catatan sipil bagi golongan penduduk Eropa dan
mereka yang dipersamakan dengan itu. Namun,dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
4 tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Kelauarga, ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 6 samapai Pasal 10 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku dan diganti
dengann yang baru sebagaimana termuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1961.[3]
Ketentuan dalam Pasal 5 KUHPerdata menyatakan bahwa presiden
setelah mendengar Mahkamah Agung, menentukan dengan peraturan tersendiri,
berdasar atas ketentuan undang-undang tentang Catatan Sipil, tempat dimana, oleh
siapa, dan dengan cara bagaimana register itu harus diselengarakan,serta cara
bagaimana akta-akta catatan sipil harus disusun dengan syarat-syarat dalam
pembuatan akta-akta catatan sipil. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5
KUHPerdata ini, keluar Reglemen Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa (Reglement
op het houden der registers van den Burgerlijken Stand voor Europanen),
yang dipublikasikan tanggal 10 Mei 1849 dalam Staatsblad 1849 Nomor 25.Kemudian
disusul dengan keluarnya [4]:
1.
Reglemen
Penyelengaraan Daftar-Daftar Catatan Sipil untuk Golongan Tionghoa (Reglement
op het houden der register van den Burgerli 1jken voor de Chineezen), yang
dipublikasikan tanggal 29 Maret 1917 dalam Staatsblad 1917 Nomor 130 juncto Staatsblad
1919 Nomor 81 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei 1919;
2.
Reglemen
Penyelenggaraan Daftar Catatan Sipil untuk Beberapa Golongan Penduduk Indonesia
yang Tidak Termasuk dalam Kaula-Kaula Daerah Swapraja di Jawa dan Madura (Reglement
op het houden der register van den Burgerlijken
Stand vooreenige groepen van de niet tot de onderhoorigen ven een
Zelfbestuur behoorende Ind Bevolking van Java en Madura), yang dipublikasikan
tanggal 15 Oktober 1920 dalam Staatsblad 1920 Nomor 751 junto Staatsblad
1927 Nomor 564,yang mulai berlaku 1 Januari 1928;
3.
Reglemen
Pencatatan Sipil bagi Bangsa Indonesia Kristen Jawa, Madura, Minahasa, Ambon,
Saparua, dan Banda yang dipublikasi dalam Staatsblad 1933 Nomor 75 sebagaimana
diubah dengan Staatsblad Nomor 327 juncto Nomor 338,Staatsblad 1934
Nomor 621 dan Nomor 621, Staatsblad 1936 Nomor 1247 dan Nomor 607, Staatsblad
1938 Nomor 246 dan Nomor 370 juncto Staatsblad Nomor 264, dan Staatsblad
1939 Nomor 288;
4.
Peraturan
pencatatan dalam Daftar-daftar Catatan Sipil Mengenai Kelahiran dan Kematian (Regeling
betreffende de inschrijiving in de register ven den Burgerlijk Stand van
geboorten en Stergevallen) yang dipublikasikan tanggal 9 desember 1946
dalam Staatsblad 1946 Nomor 137 yang mulai berlaku tanggal 18 Desember 1946;
5.
Peraturan
Daftar Pencatatan Sipil untuk Perkawinan Campuran, yang dipublikasikan dalam
Staatsblad 1904 Bomor 279 yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1904.
Kemudian setelah Indonesia merdeka, keluar pula beberapa peraturan
yang mengatur mengenai dan berkaitan dengan pencatatan sipil seiring dengan
terbukanya Kantor Catatan Sipil untuk seluruh penduduk Indonesia, di antaranya
yaitu[5]
1.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk;
2.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-Undang Nommor 22 Tahun
1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan
Madura;
3.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1974 tentang Perubahan Atau Penambahan Nama Keluarga;
4.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
5.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
6.
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan;
7.
Keputusan
Presidium Kabinet Ampera Nomor: 127/KEP/12/1966 tentang Ganti Nama bagi Warga
Negara Indonesia yang Memakai Nama Cina;
8.
Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan
Penyelenggaraan Pencatatan Sipil;
9.
Intruksi
Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966 mengenai penghapusan
penggolongan penduduk dan keterbukaan Kantor Catatan Sipil untuk Semua Golongan
Penduduk Indonesia;
10.
Intruksi
Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi
dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan
Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan;
11.
Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor: 221a Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan
Perceraian pada Kantor Catatan Sipil sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang
Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya;
12.
Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 97 Tahun 1978 tentang Penunjukan Pemuka Agama
sebagai Pembantu Pegawai Pencatatan Sipil Perkawinan bagi Umat Kristen
Indonesia yang tunduk Kepada Staatsblad 1933 Nomor 75 juncto Staatsblad
1936 Nomor 607 dan bagi Umat Hindu dan Budha;
13.
Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 131 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Pencatatan
Sipil Dalam Kerangka Sistem Kependudukan;
14.
Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pendaftaran Penduduk;
15.
Surat
Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman Nomor Pemdes 51/1/3
dan Nomor: J.A. 2/2/5 tanggal 28 Januari 1967 mengenai Petunjuk Pelaksana
Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor: 127/KEP/12/1966 dan Intruksi
Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966;
16.
Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor: 477/286/SJ tentang Pencatatan Perkawinan
bagi Para Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tanggal 13 Januari
1980;
17.
Surat
Edaran Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman Nomor: J.A.
2/16/21 tentang Pencantuman Predikat/Gelar Kesarjanaan Dalam Akta Kelahiran
tanggal 1 Maret 1974;
18.
Surat
Edaran Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman
Nomor; J.A.3/9/13 tentang Penjelasan tentang Penerbitan Akta-Akta Kelahiran
bagi Orang Indonesia yang Tidak Terikat Perkawinan tanggal 27 November 1979.
Berdasarkan kepada peraturan pencatatan sipil di atas, akta-akta
catatan sipil bagi masing-masing golonga penduduk Eropa, Tionghoa, dan Pribumi
berlainan sesuai dengan aturannya. Namun, setelah keterbukaan Kantor Catatan
Sipil, perbedaan akata-akta catatan tersebut ditiadakan, sehingga Kantor
Catatan Sipil terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia dan hanya dibedakan atas
warga Negara Indonesia dan warga Negara asing saja. Adapun akta catatan sipil
yang dicatat dan diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil meliputi akta kelahiran,
akta perkawinan dan perceraian bagi yang bukan beragama Islam, akta kematian,
serta akan pengakuan dan pengesahan anak. Setidaknya terdapat lima macam
register pencatatan sipil yang berlaku di Indonesia yaitu[6]
1.
Register
Pencatatan Sipil bagi Golongan Eropa;
2.
Register
Pencatatan Sipil bagi Golongan Tionghoa;
3.
Register
Pencatatan Sipil bagi Orang Indonesia (Asli);
4.
Register
Pencatatan Sipil bagi Orang Indonesia (Asli) Kristen;
5.
Register
Pencatatan Sipil Perkawinan Campuran.
B.
Tujuan Lembaga Catatan Sipil
Adapun tujuan dari
lembaga pencatatan sipil adalah sebagai berikut[7];
1.
Menurut
Drs. Nico Ngani, SH MSSW dan I Nyoman Budi Jaya mengenai tujuan Lembaga Catatan
Sipil:
a.
Agar
setiap warga masyarakat dapat memiliki bukti-bukti otentik.
b.
Memperlancar
aktivitas pemerintah di bidang kependudukan.
c.
Memberikan
kepastian hukum bagi kedudukan hukum setiap warga masyarakat, misalnya
kelahiran, perawinan, perceraian, pengakuan, kematian dan lainya.
2.
Menurut
Prof. Mr. Lie Oen Hock tujuan Lembaga Catatan Sipil adalah:
Untuk
memungkinkan pencatatan selengkap-lengkapnya dan oleh karenanya memberikan
kepastian sebesar-besarnya tentang kejadian-kejadian yang terjadi pada diri
seseorang. Semua kejadian-kejadian itu dibukukan, sehingga orang yang
bersangkutan sendiri, maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti
tentang kejadian-kejadian tersebut.
3.
Menurut
Prof. J. Hardjawidjaja, SH:
Tujuan Kantor
Catatan Sipil ialah untuk menghimpun data-data mengenai status perorangan,
untuk hal mana kejadian-kejadian penting dalam kehidupan manusia dibukukan,
misalnya kelahiran, kematian, dan lain-lai dikuatkan dengan akta-akta yang
dibukukan dalam register catatan sipil.
4.
Menurut
Departemen Kehakiman
Tujuan Lembaga
Catatan Sipil adalah untuk mendapatkan data selengkap mungkin, agar status warga
maysarakat dapat diketahui.
C.
Fungsi Lembaga Catatan Sipil
Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 telah ditentukan, bahwa kantor Catatan
Sipil mempunyai fungsi menyelenggarakan[8]:
1)
Pencatatan
dan penerbitan Kutipan Akta Kelahiran;
2)
Pencatatan
dan penerbitan Kutipan Akta Perkawinan;
3)
Pencatatan
dan penerbitan Kutipan Akta Perceraian;
4)
Pencatatan
dan penerbitan Kutipan Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak;
5)
Pencatatan
dan penerbitan Kutipan Akta Kematian;
6)
Penyimpanan
dan pemeliharaan Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Perceraian, Akta
Pengakuan dan Pengesahan Anak dan Akta Kematian;
7)
Penyelidikan
bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan bidang kependudukan/kewarganegaraan.
D.
Macam-macam Akta Catatan Sipil
Seperti terurai di
atas, Lembaga Catatan Sipil bertugas untuk mencatat atau mendaftar setiap
peristiwa yang si alami oleh warga masyarakat seperti kelahiran, perceraian dan
kematian.Kemudian catatan tersebut dimasukkan dalam daftar Catatan Sipil yang
berupa sejumlah Blanko Formulir Akta (tercetak) yang merupakan balnko standar.
Pembuatan blanko yang menyimpang dari standar tersebut tidak dibenarkan.
Akta Catatan Sipil
dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil yang harus sesuai dengan peristiwa yang
terjadi. Cara pembuktiannya adalah dengan mengisi kolom-kolom kosong yang ada
pada formulir akta menurut petunjuk yang ada di samping kiri. Macam-macam akta
tersebut dibuat rangkap dua yang pada permulaan tahun berikutnya dikirim ke dan
untuk disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Sebelum
dikeluarkan Intruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966, macam-macam akta
yang diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil beraneka ragam tergantung pada
reglemen yang mengaturnya, yaitu[9]:
a.
Reglemen
Catatan Sipil bagi golongan Eropa, dan mereka yang hukumnya dipersamkan dengan
Eropa (stb. 1849-25), menetapkan adanya lima daftar:
1)
Daftar
Kelahiran;
2)
Daftar
pemberitahuan perkawinan;
3)
Daftar
izin untuk menikah;
4)
Daftar
perkawinan dan perceraian;
5)
Daftar
kematian.
Jadi, menurut reglemen tersebut di atas ada 5 macam akta yaitu: Akta
Kelahiran, Akta pemberitahuan perkawinan, Akta izin untuk menikah, Akta
perkawinan dan perceraian, Akta kematian.
b.
Reglemen
Catatan Sipil bagi golongan Timur Asing Tionghoa, (stb 1917-130 jo 1919-81),
menetapkan adanya empat daftar:
1)
Daftar
Kelahiran;
2)
Daftra
Izin Menikah;
3)
Daftar
Perkawinan dan Perceraian;
4)
Dafar
Kematian.
Jadi, menurut reglemen tersebut di atas ada 4 macam akta yaitu:
Akta Kelahiran, Akta izin untuk menikah, Akta perkawinan dan perceraian, Akta
kematian.
c.
Reglemen
Catatan Sipil bagi golongan Indonesia Kristen (stb 1933-75 jo 1936-607,
menetapkan adanya 5 daftar:
1)
Daftar
Kelahiran;
2)
Daftra
Pemilihan Nama;
3)
Daftar
Perkawinan;
4)
Daftar
Perceraian;
5)
Dafar
Kematian.
Jadi, menurut reglemen tersebut di atas ada 5 macam akta yaitu:
Akta Kelahiran, Akta Pemilihan Nama, Akta Perceraian, Akta Perkawinan, serta
Akta Kematian.
d.
Reglemen
Catatan Sipil bagi golongan Indonesia bukan Kristen (stb 1920-75 jo 1927-654),
menetapkan adanya tingkat daftar:
1)
Daftrar
Kelahiran;
2)
Daftar
Pemilihan Nama;
3)
Daftar
Kematian.
Jadi, menurut reglemen tersebut ada 3 macam akta yaitu: Akta
Kelahiran, Akta Pemilihan Nama dan Akta Kematian.
Kemudia terjadi
perkembangan lebih lanjut, yaitu dengan dikeluarkannya Intruksi Presidium,
Kabinet Nomor: 31/U/IN/12/1966, di mana diadakan keseragaman pada daftar atau
akta yang diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil di seluruh Indonesia, di mana
terdapat empat daftar pokok yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, yaitu:
1)
Daftar
Kelahiran;
2)
Daftar
Perkawinan;
3)
Daftra
Perceraian;
4)
Daftar
Kematian.
Jadi, Intruksi Presidium Kabinet tersebut di atas, pada pokoknya
terdapat 4 macam akta ialah: Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Perceraian,
Akta Kematian.
E.Sejarah Singkat Perkembangan Penyelenggaraan Pencatatan Sipil
Dalam sejarahnya hukum yang dipakai di Indonesia adalah hukum dari
Belanda yang diambil dengan asas konkordansi, begitu juga lembaga catatan sipil
yang ada merupakan peninggalan dari pemerintah penjajah Belanda yang sejak
Indonesia merdeka belum pernah mengalami peninjauan kembali untuk di ubah atau
disesuaikan dengan perkembangan dalam masyarakat.[10]
Di Eropa atau
Belanda sendiri lembaga catatan sipil ini berasal dari zaman revolusi Perancis.
Sebelumnya memang juga telah ada daftar-daftar kelahiran, perkawinan, kematian,
dan sebagainya yang dibuat oleh para pendeta. Keadaan itu berubah dengan
dibentuknya undang-undang tanggal 20 September 1792 yang menugaskan
Pemerintahan Kotapraja mengadakan daftar pencatatan sipil mengenai kelahiran,
perkawinan, dan kematian bagi warga Kotapraja. Badan-badan lain atau orang
lain, selain Pemerintahan Kotapraja dilarang untuk melakukan pekerjaan
pencatatan sipil yang dimaksud.[11]
Di Batavia, pelaksanaan
pencatatan sipil telah ada sejak tahun 1820, hal ini terbukti dari arsip yang
tersimpan di Kantor Catatan Sipil Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
meskipun secara resmi kelembagaaan catatan sipil baru ada secara de jure tahun
1850 yang kedudukannya disesuaikan denngan wilayah Kota Jakarta itu sendiri.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya untuk beberapa golongan penduduk saja,
terutama bangsa Cina. Hal ini seirama dengan politik pemerintah pada saat itu,
yang membagi dan menggolongkan penduduk dan kemudian bagi setiap penduduk
berlaku hukum yang berbeda.[12]
Ketertutupan
pelayanan Kantor Catatan Sipil ini terus berlangsug setelah Indonesia merdeka, sebab sesuai dengan
Peraturan Pencatatan Sipil yang berlaku tidak semua penduduk (warga negara)
Indonesia dapat dilayani oleh Kantor Catatan Sipil. Pelayanan Kantor Catatan
Sipil bagi penduduk (warga negara) Indonesia masih terbatas. Baru pada tahun
1966 berdasarkan pada Intruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966
tanggal 27 Desember 1966 yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman dan Kantor
Catatan Sipil seluruh Indonesia, bahwa diintruksikan sambil menunggu
dikeluarkannnya Undang-Undang Catatan Sipil yang bersifat nasional, tidak
menggunakann penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 131 dan Pasal
163 indische Staatsregeling (Europanen, Vreemde Oorsterlingen,
Inlanders) pada Kantor Catatan Sipil di Indonesia terbuka bagi seluruh
pendudu Indonesia dan hanya antara warga negara Indonesia dan warga negara
asing.[13]
Dengan demikian,
berdasarkan Intruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966 telah
ditetapkan penghapusan pembedaan golongan penduduk Indonesia, Eropa, Timur
Asing, Bumiputera dengan pertimbangan bahwa demi tercapainya pembinaan kesatuan
bangsa Indonesia yang bulat dan homogen, serta adanya persaan persamaan nasib
di antara sesama bangsa Indonesia, oleh karena itu perlu segera menghapuskan
praktik-praktik yang didasarkan pada penggolongan penduduk tersebut. Namun,
sesuai dengan ketentuan dalam angka 3 Intruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor:
31/U/IN/12/1966 yang menyatakan, bahwa ketentuan angka 1 dan 2 di atas tidak
mengurangi berlakunya ketentuan mengenai perkawinan, warisan, dan ketentuan
hukum perdata lainnya, dapat ditafsirkan penghapusan penggolongan penduduk
Indonesia dimaksud yang hanya terdiri atas warga negara Indonesia dan warga
negara asing khusus berlaku untuk Kantor Pencatatan Sipil saja, artinya tidak
menyangkut pada ketentuan-ketentuan mangenai perkawinan, warisan, dan ketentuan
hukum perdata lainya.[14]
Dengan
terbentuknya Kantor Catatan Sipil bagi seluruh penduduk Indonesia sesuai dengan
Surat Edaran Bersama menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman Nomor Pemes
51/1/3 dan Nomor: J.A.2/2/5 tanggal 28 Januari 1967, untuk daerah-daerah yang
belum berlaku pencatatan sipil bagi seluruh lapisan masyarakat dinyatakan
berlaku ketentuan-ketentuan pencatatan sipil yang terdapat dalam Peratuaran
Pencatatan Sipil, yang dipublikasikan dalam Staatsblad Tahun 1920 Nomor 751 juncto
Staatsblad Tahun 1927 Nomor 564 atau Staatsblad Tahun 1933 Nomor 75 juncto
Staatsblad Tahun 1936 Nomor 607
dengan ketentuan-ketentuan perbedaan-perbedaan yang ada tidak dipakai lagi.
Sebelumnya di dalam permulaan ikhtisar akta atau kutipanya menggunakan
perkataan “Untuk Golongan Eropa”, atau “Untuk Golongan Tionghoa” dan
sebagainya, kini dihapus dan diganti dengan perkataan “Warga Negara Indonesia”
dan untuk orang asing dipakai perkataan “Warga Negara ……” (diisi dengan nama
negara yang bersangkutan) dan jika kewarganegaraannya tidak jelas (apatride),
ditulis “tanpa kewarganegaraan”. Ini berarti sejak keterbukaan Kantor
Pencatatan Sipil tidak dijumpai lagi perkataan-perkataan “Untuk Golongan
Eropa”, atau “Untuk Golongan Tionghoa” dalam permukaan ikhtisar akta pencacatan
sipil atau kutipannya, yang ada hanya jenis kewarganegaraannya saja serta diisi
dengan jenis Staatsblad yang bersangkutan, mengingat bahwa
perubahan-perubahan dimaksud sesuai dengan angka 3 Presidium Kabinet Ampera
Nomor: 31/U/IN/12/1966, bahwa hal tersebut “tidak mengurangi berlakunya
ketentuan-ketentuan hukum perdata yang berlaku bagi mereka”.
Bersamaan dengan
itu, pemerintah juga menetapkan peraturan ganti nama bagi warga negara
Indonesia yang memakai nama Cina. Hal ini dituangkan dalam Keputusan Presidium
Kabinet Ampera Nomor: 127/KEP/12/1966, yang mulai berlaku sejak tanggal 1
Januari 1967 dan berakhir pada tanggal 31 Maret 1988, dengan pertimbangan bahwa
pemerintah memandang perlu memberikan fasilitas seluas-luasnya dengan diadakan
prosedur yang khusus mengingat penggantian nama dari orang Indonesia keturunan
asing dengan nama yang sesuai dengan nama Indonesia asli, akan dapat mendorong
bahkan mempercepat proses asimilasi warga negara Indonesia keturunan ke
dalam tubuh bangsa Indonesia demi nation dan character building.
Kepada para Bupati/Walikota pada waktu itu diperintahkan untuk menjalankan
fasilitas-fasilitas seringan-ringanya kepada mereka para pengganti nama guna
memperlancar prosedur.[15]
Kewenangan dan
tanggung jawab di bidang pencatatan sipil bagi Kantor Pencatatan Sipil berkembang
setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomr
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan ketentuan tersebut, Kantor Catatan
Sipil diberikan kewenangan dan tangung jawab mencatatan perkawinan dan
perceraian bagi mereka yang bukan beragama Islam. Sehubungan dengan dikeluarkan
pedoman bagi pejabat pelaksana Kantor Catatan Sipil di daerah-daerah
sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 221a Tahun 1975
tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil
Sehubungan dengan Berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan
Pelaksanaannya. Dalam dictum pertama Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 221a
Tahun 1975 ditegaskan, bahwa mereka yang bukan beragama Islam, perkawinan dan
perceraiannya harus di catat di Kantor Pencatatan Sipil, yaitu bagi mereka yang
pencatatan perkawinan dan perceraiannya dilakukan dengan Register Pencatatan
Sipil untuk golongan Eropa, Register Pencatatan Sipil untuk golongan Tionghoa,
Register Pencatatan Sipil untuk golongan Kristen Indonesia, Register Pencatatan
Sipil Perkawinan Campuran dan bagi mereka yang tidak tunduk kepada Register
Pencatatan Sipil di atas dan tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk juncto
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
dalam pasal-pasal dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Dengan adanya
ketentuan di atas, maka sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan, semua
perkawinan yang semula dilakukan secara adat sudah cukup, harus dicatat menurut
peraturan ini, seperti mereka yang beragama Hindhu dan Buddha. Sebelum
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, mereka mungkin tidak memerlukan bukti
pencatatan perkawinan, berhubung menurut adat telah sah. Akan tetapi, tidak
demikianlah setelah Undang-Undang ini ada.[16]
Bagi daerah-daerah
tertentu yang tidak terjangkau pelayanan Kantor Pencatatan Sipil, pelayanannya
dibantu oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yaitu pemuka-pemuka agama khususnya
bagi umat Kristen, Hindhu, dan Buddha sebagaimana di atur dalam Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 97 Tahun 1978 tentang Penunjukan Pemuka Agama
sebagai Pembantu Pegawai Pencatatan Sipil Perkawinan bagi Umat Kristen
Indonesia yang tunduk Kepada Staatsblad 1933 Nomor 75 juncto Staatsblad
1936 Nomor 607 dan bagi Umat Hindu dan Buddha, dengan pertimbangan dalam rangka
memperlancar pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi umat Kristen, Hindhu, dan
Buddha di mana sepanjang menyangkut masalah pencatatan perkawinan,
Kantor-Kantor Pencatatan Sipil di daerah mengalami tenaga/pegawai pencatat guna
melayani bagi umat Kristen, Hindhu, dan Buddha yang letaknya terlalu jauh dari
Kantor-kantor Catatan Sipil. Bedasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 97
Tahun 1978, Gubernur diberikan wewenang untuk menunjuk dan mengangkat pemuka
agama sebagai Pembantu Pegawai Pencacatan Perkawinan bagi umat Kristen
Indonesia dan bagi umat Hindhu dan Buddha yang akan melangsungkan perkawinan
dan yang berada di daerahnya berdasarkan atas usul organisasi agama yang
bersangkutan melalui Kantor Wilayah Departemen Agama yang bersangkutan. Penunjukan
dimaksud dapat dilakukan untuk umat Kristen Indonesia untuk setiap paroki atau
jema’at atau yang setingkat dengan itu dan untuk umat Hindhu dan Buddha
serendah-rendahnya pada setiap kecamatan. Kepala kantoor Catatan Sipil
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pembantu Pegawai Pencatatan
Perkawinan yang berada dalam daerah hukum Kantor Catatan Sipil yang
bersangkutan.
Selanjutnya pada
tahun 1983 diadakan penataan dan pembinaan peyelanggaraan catatan sipil dalam
rangka peningkatan pelayanan masyarakat, pemberian kepastian hukum dan keamanan
serta ketertiban untuk terwujudnya keutuhan dan kesatuan bangsa, sebagaimana
dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan
Peningkatan Pembinaan Peyelenggaraan Catatan Sipil. Berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 1983, maka secara fungsional Menteri Dalam Negeri
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab penyelenggaraan catatan sipil sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam kesehariannya ditangani
oleh Direktur Jenderal Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah.[17]
Adapun kewenangan
dan tanggung jawab di bidang catatan sipil dimaksud, sesuai dengan ketentuan
Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983, meliputi[18]:
a.
menyelenggarakan
pencatatan dan penerbitan kutipan-kutipan:
·
akta
kelahiran;
·
akta
kematian;
·
akta
perkawinan dan perceraian bagi mereka yang bukan beragama Islam,dan
·
akta
pengakuan dan pengesahan anak.
b.
melakukan
penyuluhan dan pengembangan kegiatan catatan sipil;
c.
menyediaan
bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di bidang kependudukan.
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa urusan
pencatatan sipil menjadi urusan kewenangan dan tanggung jawab Meteri Dalam
Negeri, yang dalam pelaksanaannya terbuka untuk semua warga negara Indonesia.
F.
Manfaat Akta Catatan Sipil
Akta
catatan sipil mempunyai kedudukan dan perananan yang sangat penting dalam
proses pembangunan nasional karena dapat memberikan manfaat bagi individu dan
pemerintah.Adapun manfaat catatan sipil adalah sebagai berikut[19]:
Bagi pribadi/individu:
a.
menentukan
status hukum seseorang;
b.
merupakan
alat bukti yang paling kuat di muka dan hadapan
hakim;
c.
memberikan
kepastian tentang peristiwa itu sendiri.
Bagi pemerintah:
a.
meningkatkan
tertib administrasi negara;
b.
merupakan
penunjang data bagi perencanaan pembangunan;
c.
pengawasan
dan pengendalian terhadap orang asing yang datang ke Indonesia.
G.Analisis Kasus
a. Kasus
Bagaimana cara menikah di indonesia
jika berbeda agama (hanya catatan sipil saja) dengan WNA? jika bisa surat-surat
apa yang dibutuhkan utk WNA & WNI nya? dan berapa lama butuh prosesnya?
Catatan sipil mana yang kami tuju? karena Calom suami Turki (muslim) dan saya
orang indonesia (Kristen)
b.
Jawaban
Sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB II
Syarat Perkawinan
BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua
orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari
orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,
maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang
yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau
lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan
orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1)
sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan Paragraf 1 Pencatatan Perkawinan di Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 34
1. Perkawinan yang sah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada
Instansi Pelaksana ditempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh)
hari sejak tanggal perkawinan.
2. Berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud npada ayat (1). Pejabat Pencatatan Sipil mencatat Register Akta
Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
3.Kutipan Akta Perkawinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan
istri.
4. Pelaporan sebagaiman dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh penduduk yang beragama islam kepada KUA Kecamatan
5. Data hasil pencatatan atas
perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam pasal 8 ayat (2) wajib
disampaikan KUA Kecamatan kepada instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat
10 (sepuluh) hari pencatatan perkawinan dilaksanakan
6. Hasil pencatatan dan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan kutipan akta Pencatatan Sipil.
7.Pada tingkat kecamatan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD instansi Pelaksanaan Pembuatan
Akta Perkawinan di DKI Jakarta
1. Surat Bukti Perkawinan Agama
2. Akta Kelahiran
3. Surat keterangan dari Lurah
4. Foto kopy KTP/KK tyang
dilegalisir oleh lurah
5. Pas Foto Berdampingan 4 x 6 cm -
5 lbr
6. 2 (dua) orang saksi yang telah
berusia 21 tahun ke atas
7. Akta Kelahiran Anak yang diakui/disahkan
8. Akta perceraian/Akta kematian
jika yang bersangkutan telah pernah menikah
9. Paspor bagi WNA
10. Surat Tanda Melapor Diri (STMD)
dari kepolisian bagi WNA
11. Surat dari
kedutaan/Konsul/Perwalian Negara Asing yang bersangkutan (bagi WNA)
12. SKK dari imigrasi (bagi WNA)
Salah satu persyaratan adalah bukti
perkawinan agama yang tetap menjadi syarat yang wajib dalam pencatatan
perkawinan. Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil hanya mencatatkan dan
membutuhkan bukti perkawinan agama tersebut. Jika Pernikahan Agama dilakukan
pada 2 (dua) agama tidak dapat dilakukan dan di Indonesia pernikahan 2 Agama
yang berbeda belum dapatdilakukan sesuai aturan di Indonesia.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di
atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa berlakunya Catatan Sipil di Indonesia
semakin lama semakin berkembang sesuai dengan kondisi yang ada, bahkan banyak
dari aturan-aturan yang ada telah di hapus dan diganti dengan aturan yang baru
karena di anggap tidak relevan lagi.
Sebagaimana telah
dijelaskan, bahwa Pencatatan Sipil memiliki manfaat yang besar, baik bagi
individu, masyarakat, maupun pemerintah. Manfaat ini menyangkut hal-hal
keperdataan yang dimiliki, baik untuk kejelasan status, atau penyelesaian masalah-masalah keperdataan yang akan atau
sedang terjadi.
Adapun pengaturan
catatan sipil atau pencatatan sipil diatur dalam Bab kedua Pasal 4 sampai
dengan Pasal 16 Buku Kesatu KUHPerdata. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 16 KHUPerdata tersebut mengatur mengenai akta-akta catatan
sipil bagi golongan penduduk Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan itu.
Namun,dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1961 tentang Perubahan atau
Penambahan Nama Kelauarga, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 samapai Pasal 10
KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengann yang baru sebagaimana
termuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961.
[1]Salim,HS.,Pengantar
Hukum Perdata Tertulis (BW),(Jakarta:Sinar Grafika,Cet IV,2006),h.42.
[2]
Rachmadi Usman,Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia,(Jakarta; Sinar Grafika,2006),h.189.
[3][3]
Ibid.,190.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.,h.191.
[7]
R.Soeroso,Perbandingan Hukum Perdata,Jakarta: Sinar Grafika,Cet VI,2006.h.156.
[8]
Ibid.,h.156.
[9]
Ibid.,h.157.
[10]
Rachmadi Usman.,Op.Cit.h.193.
[11]
Ibid.
[12]
Ibid.
[13]
Ibid.
[14]
Ibid.
[15]
Ibid.,h.195.
[16]
Ibid.
[17]
Ibid.
[18]
Ibid.
[19]
Salim HS,Op.,Cit.h.50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar