Selasa, 27 Maret 2012

Hukum Perdata


PENCATATAN SIPIL DI INDONESIA
A.Pengertian dan Sumber Pencatatan Sipil
          KUHPerdata tidak memberikan pengertian dari apa yang dimaksud dengan pencatatan sipil itu. Padahal Lembaga Pencatatan Sipil ini sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda,namun di dalam Art.16 NBW Baru negeri Belanda disebutkan bahwa catatan sipil merupakan intuisi untuk meregistrasi kedudukan hukum mengenai pribadi seseorang terhadap kelahirannya, perkawinannya, perceraiannya, orang tuanya, dan kematiannya.[1]Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan dipaparkan beberapa pendapat  mengenai pencatatan sipil.[2]
1.      Menurut Subekti dan Tijitrosoedibio:
Burgelijk Stand (Belanda),catatan sipil adalah suatu lembaga yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi para warga Negara, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian.”
2.      Menurut Volmar :
“Catatan sipil adalah suatu lembaga yang diadakan oleh penguasa yang bermaksud membukukan selengkap mungkin dan karena itu memberikan kepastian sebesar-besarnya tentang semua peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang mengenai kelahiran, pengakuan, perkawinan, perceraian, dan kematian. Peristiwa-peristiwa ini dicatat,agar mengenai itu baik bagi yang berkepentingan maupun bagi pihak ketiga ada buktinya.”
3.      Menurut Nico Gami dan I Nyoman Budi Jaya:
“Catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat atau mendaftar setiap peristiwa yang dialami oleh warga masyarakat, misalnya kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Tujuannya untuk mendapatkan data selengkap mungkin, agar status warga masyarakat dapat diketahui."
            Dari penjelasan di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa terdapat beberapa unsur-unsur penting dalam Lembaga Pencatatan Sipil yaitu sebagai berikut:
a.       Di bentuk oleh pemerintah.
b.      Betugas mencatat, mendaftarkan, dan membukukan peristiwa penting bagi status keperdataan.
c.       Bertujuan mendapatkan data yang lengkap, agar status warga dapat diketahui dan dibuktikan.
Adapun pengaturan catatan sipil atau pencatatan sipil diatur dalam Bab kedua Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 Buku Kesatu KUHPerdata. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 KHUPerdata tersebut mengatur mengenai akta-akta catatan sipil bagi golongan penduduk Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan itu. Namun,dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Kelauarga, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 samapai Pasal 10 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengann yang baru sebagaimana termuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961.[3]
Ketentuan dalam Pasal 5 KUHPerdata menyatakan bahwa presiden setelah mendengar Mahkamah Agung, menentukan dengan peraturan tersendiri, berdasar atas ketentuan undang-undang tentang Catatan Sipil, tempat dimana, oleh siapa, dan dengan cara bagaimana register itu harus diselengarakan,serta cara bagaimana akta-akta catatan sipil harus disusun dengan syarat-syarat dalam pembuatan akta-akta catatan sipil. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 KUHPerdata ini, keluar Reglemen Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa (Reglement op het houden der registers van den Burgerlijken Stand voor Europanen), yang dipublikasikan tanggal 10 Mei 1849 dalam Staatsblad 1849 Nomor 25.Kemudian disusul dengan keluarnya [4]:
1.      Reglemen Penyelengaraan Daftar-Daftar Catatan Sipil untuk Golongan Tionghoa (Reglement op het houden der register van den Burgerli 1jken voor de Chineezen), yang dipublikasikan tanggal 29 Maret 1917 dalam Staatsblad 1917 Nomor 130 juncto Staatsblad 1919 Nomor 81 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei 1919;
2.      Reglemen Penyelenggaraan Daftar Catatan Sipil untuk Beberapa Golongan Penduduk Indonesia yang Tidak Termasuk dalam Kaula-Kaula Daerah Swapraja di Jawa dan Madura (Reglement op het houden der register van den Burgerlijken  Stand vooreenige groepen van de niet tot de onderhoorigen ven een Zelfbestuur behoorende Ind Bevolking van Java en Madura), yang dipublikasikan tanggal 15 Oktober 1920 dalam Staatsblad 1920 Nomor 751 junto Staatsblad 1927 Nomor 564,yang mulai berlaku 1 Januari 1928;
3.      Reglemen Pencatatan Sipil bagi Bangsa Indonesia Kristen Jawa, Madura, Minahasa, Ambon, Saparua, dan Banda yang dipublikasi dalam Staatsblad 1933 Nomor 75 sebagaimana diubah dengan Staatsblad Nomor 327 juncto Nomor 338,Staatsblad 1934 Nomor 621 dan Nomor 621, Staatsblad 1936 Nomor 1247 dan Nomor 607, Staatsblad 1938 Nomor 246 dan Nomor 370 juncto Staatsblad Nomor 264, dan Staatsblad 1939 Nomor 288;
4.      Peraturan pencatatan dalam Daftar-daftar Catatan Sipil Mengenai Kelahiran dan Kematian (Regeling betreffende de inschrijiving in de register ven den Burgerlijk Stand van geboorten en Stergevallen) yang dipublikasikan tanggal 9 desember 1946 dalam Staatsblad 1946 Nomor 137 yang mulai berlaku tanggal 18 Desember 1946;
5.      Peraturan Daftar Pencatatan Sipil untuk Perkawinan Campuran, yang dipublikasikan dalam Staatsblad 1904 Bomor 279 yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 1904.
Kemudian setelah Indonesia merdeka, keluar pula beberapa peraturan yang mengatur mengenai dan berkaitan dengan pencatatan sipil seiring dengan terbukanya Kantor Catatan Sipil untuk seluruh penduduk Indonesia, di antaranya yaitu[5]
1.      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk;
2.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-Undang Nommor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura;
3.      Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974 tentang Perubahan Atau Penambahan Nama Keluarga;
4.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
5.      Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 
6.      Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
7.      Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor: 127/KEP/12/1966 tentang Ganti Nama bagi Warga Negara Indonesia yang Memakai Nama Cina;
8.      Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Pencatatan Sipil;
9.      Intruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966 mengenai penghapusan penggolongan penduduk dan keterbukaan Kantor Catatan Sipil untuk Semua Golongan Penduduk Indonesia;
10.  Intruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan;
11.  Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 221a Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya;
12.  Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 97 Tahun 1978 tentang Penunjukan Pemuka Agama sebagai Pembantu Pegawai Pencatatan Sipil Perkawinan bagi Umat Kristen Indonesia yang tunduk Kepada Staatsblad 1933 Nomor 75 juncto Staatsblad 1936 Nomor 607 dan bagi Umat Hindu dan Budha;
13.  Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Pencatatan Sipil Dalam Kerangka Sistem Kependudukan;
14.  Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk;
15.  Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman Nomor Pemdes 51/1/3 dan Nomor: J.A. 2/2/5 tanggal 28 Januari 1967 mengenai Petunjuk Pelaksana Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor: 127/KEP/12/1966 dan Intruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966;
16.  Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor: 477/286/SJ tentang Pencatatan Perkawinan bagi Para Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tanggal 13 Januari 1980;
17.  Surat Edaran Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman Nomor: J.A. 2/16/21 tentang Pencantuman Predikat/Gelar Kesarjanaan Dalam Akta Kelahiran tanggal 1 Maret 1974;
18.  Surat Edaran Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Nomor; J.A.3/9/13 tentang Penjelasan tentang Penerbitan Akta-Akta Kelahiran bagi Orang Indonesia yang Tidak Terikat Perkawinan tanggal 27 November 1979.
Berdasarkan kepada peraturan pencatatan sipil di atas, akta-akta catatan sipil bagi masing-masing golonga penduduk Eropa, Tionghoa, dan Pribumi berlainan sesuai dengan aturannya. Namun, setelah keterbukaan Kantor Catatan Sipil, perbedaan akata-akta catatan tersebut ditiadakan, sehingga Kantor Catatan Sipil terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia dan hanya dibedakan atas warga Negara Indonesia dan warga Negara asing saja. Adapun akta catatan sipil yang dicatat dan diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil meliputi akta kelahiran, akta perkawinan dan perceraian bagi yang bukan beragama Islam, akta kematian, serta akan pengakuan dan pengesahan anak. Setidaknya terdapat lima macam register pencatatan sipil yang berlaku di Indonesia yaitu[6]
1.      Register Pencatatan Sipil bagi Golongan Eropa;
2.      Register Pencatatan Sipil bagi Golongan Tionghoa;
3.      Register Pencatatan Sipil bagi Orang Indonesia (Asli);
4.      Register Pencatatan Sipil bagi Orang Indonesia (Asli) Kristen;
5.      Register Pencatatan Sipil Perkawinan Campuran.
B. Tujuan Lembaga Catatan Sipil
            Adapun tujuan dari lembaga pencatatan sipil adalah sebagai berikut[7];
1.      Menurut Drs. Nico Ngani, SH MSSW dan I Nyoman Budi Jaya mengenai tujuan Lembaga Catatan Sipil:
a.       Agar setiap warga masyarakat dapat memiliki bukti-bukti otentik.
b.      Memperlancar aktivitas pemerintah di bidang kependudukan.
c.       Memberikan kepastian hukum bagi kedudukan hukum setiap warga masyarakat, misalnya kelahiran, perawinan, perceraian, pengakuan, kematian dan lainya.
2.      Menurut Prof. Mr. Lie Oen Hock tujuan Lembaga Catatan Sipil adalah:
Untuk memungkinkan pencatatan selengkap-lengkapnya dan oleh karenanya memberikan kepastian sebesar-besarnya tentang kejadian-kejadian yang terjadi pada diri seseorang. Semua kejadian-kejadian itu dibukukan, sehingga orang yang bersangkutan sendiri, maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti tentang kejadian-kejadian tersebut.
3.      Menurut Prof. J. Hardjawidjaja, SH:
Tujuan Kantor Catatan Sipil ialah untuk menghimpun data-data mengenai status perorangan, untuk hal mana kejadian-kejadian penting dalam kehidupan manusia dibukukan, misalnya kelahiran, kematian, dan lain-lai dikuatkan dengan akta-akta yang dibukukan dalam register catatan sipil.
4.      Menurut Departemen Kehakiman
Tujuan Lembaga Catatan Sipil adalah untuk mendapatkan data selengkap mungkin, agar status warga maysarakat dapat diketahui.
C. Fungsi Lembaga Catatan Sipil
            Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 telah ditentukan, bahwa kantor Catatan Sipil mempunyai fungsi menyelenggarakan[8]:
1)      Pencatatan dan penerbitan Kutipan Akta Kelahiran;
2)      Pencatatan dan penerbitan Kutipan Akta Perkawinan;
3)      Pencatatan dan penerbitan Kutipan Akta Perceraian;
4)      Pencatatan dan penerbitan Kutipan Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak;
5)      Pencatatan dan penerbitan Kutipan Akta Kematian;
6)      Penyimpanan dan pemeliharaan Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Perceraian, Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak dan Akta Kematian;
7)      Penyelidikan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan bidang kependudukan/kewarganegaraan.
D. Macam-macam Akta Catatan Sipil
            Seperti terurai di atas, Lembaga Catatan Sipil bertugas untuk mencatat atau mendaftar setiap peristiwa yang si alami oleh warga masyarakat seperti kelahiran, perceraian dan kematian.Kemudian catatan tersebut dimasukkan dalam daftar Catatan Sipil yang berupa sejumlah Blanko Formulir Akta (tercetak) yang merupakan balnko standar. Pembuatan blanko yang menyimpang dari standar tersebut tidak dibenarkan.
            Akta Catatan Sipil dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil yang harus sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Cara pembuktiannya adalah dengan mengisi kolom-kolom kosong yang ada pada formulir akta menurut petunjuk yang ada di samping kiri. Macam-macam akta tersebut dibuat rangkap dua yang pada permulaan tahun berikutnya dikirim ke dan untuk disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
            Sebelum dikeluarkan Intruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966, macam-macam akta yang diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil beraneka ragam tergantung pada reglemen yang mengaturnya, yaitu[9]:
a.       Reglemen Catatan Sipil bagi golongan Eropa, dan mereka yang hukumnya dipersamkan dengan Eropa (stb. 1849-25), menetapkan adanya lima daftar:
1)      Daftar Kelahiran;
2)      Daftar pemberitahuan perkawinan;
3)      Daftar izin untuk menikah;
4)      Daftar perkawinan dan perceraian;
5)      Daftar kematian.
Jadi, menurut reglemen tersebut di atas ada 5 macam akta yaitu: Akta Kelahiran, Akta pemberitahuan perkawinan, Akta izin untuk menikah, Akta perkawinan dan perceraian, Akta kematian.
b.      Reglemen Catatan Sipil bagi golongan Timur Asing Tionghoa, (stb 1917-130 jo 1919-81), menetapkan adanya empat daftar:
1)      Daftar Kelahiran;
2)      Daftra Izin Menikah;
3)      Daftar Perkawinan dan Perceraian;
4)      Dafar Kematian.
Jadi, menurut reglemen tersebut di atas ada 4 macam akta yaitu: Akta Kelahiran, Akta izin untuk menikah, Akta perkawinan dan perceraian, Akta kematian.
c.       Reglemen Catatan Sipil bagi golongan Indonesia Kristen (stb 1933-75 jo 1936-607, menetapkan adanya 5 daftar:
1)      Daftar Kelahiran;
2)      Daftra Pemilihan Nama;
3)      Daftar Perkawinan;
4)      Daftar Perceraian;
5)      Dafar Kematian.
Jadi, menurut reglemen tersebut di atas ada 5 macam akta yaitu: Akta Kelahiran, Akta Pemilihan Nama, Akta Perceraian, Akta Perkawinan, serta Akta Kematian.
d.      Reglemen Catatan Sipil bagi golongan Indonesia bukan Kristen (stb 1920-75 jo 1927-654), menetapkan adanya tingkat daftar:
1)      Daftrar Kelahiran;
2)      Daftar Pemilihan Nama;
3)      Daftar Kematian.
Jadi, menurut reglemen tersebut ada 3 macam akta yaitu: Akta Kelahiran, Akta Pemilihan Nama dan Akta Kematian.
            Kemudia terjadi perkembangan lebih lanjut, yaitu dengan dikeluarkannya Intruksi Presidium, Kabinet Nomor: 31/U/IN/12/1966, di mana diadakan keseragaman pada daftar atau akta yang diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil di seluruh Indonesia, di mana terdapat empat daftar pokok yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, yaitu:
1)      Daftar Kelahiran;
2)      Daftar Perkawinan;
3)      Daftra Perceraian;
4)      Daftar Kematian.
Jadi, Intruksi Presidium Kabinet tersebut di atas, pada pokoknya terdapat 4 macam akta ialah: Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Perceraian, Akta Kematian.
E.Sejarah Singkat Perkembangan Penyelenggaraan Pencatatan Sipil
          Dalam sejarahnya hukum yang dipakai di Indonesia adalah hukum dari Belanda yang diambil dengan asas konkordansi, begitu juga lembaga catatan sipil yang ada merupakan peninggalan dari pemerintah penjajah Belanda yang sejak Indonesia merdeka belum pernah mengalami peninjauan kembali untuk di ubah atau disesuaikan dengan perkembangan dalam masyarakat.[10]
            Di Eropa atau Belanda sendiri lembaga catatan sipil ini berasal dari zaman revolusi Perancis. Sebelumnya memang juga telah ada daftar-daftar kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya yang dibuat oleh para pendeta. Keadaan itu berubah dengan dibentuknya undang-undang tanggal 20 September 1792 yang menugaskan Pemerintahan Kotapraja mengadakan daftar pencatatan sipil mengenai kelahiran, perkawinan, dan kematian bagi warga Kotapraja. Badan-badan lain atau orang lain, selain Pemerintahan Kotapraja dilarang untuk melakukan pekerjaan pencatatan sipil yang dimaksud.[11]
            Di Batavia, pelaksanaan pencatatan sipil telah ada sejak tahun 1820, hal ini terbukti dari arsip yang tersimpan di Kantor Catatan Sipil Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, meskipun secara resmi kelembagaaan catatan sipil baru ada secara de jure tahun 1850 yang kedudukannya disesuaikan denngan wilayah Kota Jakarta itu sendiri. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya untuk beberapa golongan penduduk saja, terutama bangsa Cina. Hal ini seirama dengan politik pemerintah pada saat itu, yang membagi dan menggolongkan penduduk dan kemudian bagi setiap penduduk berlaku hukum yang berbeda.[12]
            Ketertutupan pelayanan Kantor Catatan Sipil ini terus berlangsug setelah  Indonesia merdeka, sebab sesuai dengan Peraturan Pencatatan Sipil yang berlaku tidak semua penduduk (warga negara) Indonesia dapat dilayani oleh Kantor Catatan Sipil. Pelayanan Kantor Catatan Sipil bagi penduduk (warga negara) Indonesia masih terbatas. Baru pada tahun 1966 berdasarkan pada Intruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966 yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman dan Kantor Catatan Sipil seluruh Indonesia, bahwa diintruksikan sambil menunggu dikeluarkannnya Undang-Undang Catatan Sipil yang bersifat nasional, tidak menggunakann penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 131 dan Pasal 163 indische Staatsregeling (Europanen, Vreemde Oorsterlingen, Inlanders) pada Kantor Catatan Sipil di Indonesia terbuka bagi seluruh pendudu Indonesia dan hanya antara warga negara Indonesia dan warga negara asing.[13]
            Dengan demikian, berdasarkan Intruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966 telah ditetapkan penghapusan pembedaan golongan penduduk Indonesia, Eropa, Timur Asing, Bumiputera dengan pertimbangan bahwa demi tercapainya pembinaan kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan homogen, serta adanya persaan persamaan nasib di antara sesama bangsa Indonesia, oleh karena itu perlu segera menghapuskan praktik-praktik yang didasarkan pada penggolongan penduduk tersebut. Namun, sesuai dengan ketentuan dalam angka 3 Intruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966 yang menyatakan, bahwa ketentuan angka 1 dan 2 di atas tidak mengurangi berlakunya ketentuan mengenai perkawinan, warisan, dan ketentuan hukum perdata lainnya, dapat ditafsirkan penghapusan penggolongan penduduk Indonesia dimaksud yang hanya terdiri atas warga negara Indonesia dan warga negara asing khusus berlaku untuk Kantor Pencatatan Sipil saja, artinya tidak menyangkut pada ketentuan-ketentuan mangenai perkawinan, warisan, dan ketentuan hukum perdata lainya.[14]
            Dengan terbentuknya Kantor Catatan Sipil bagi seluruh penduduk Indonesia sesuai dengan Surat Edaran Bersama menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman Nomor Pemes 51/1/3 dan Nomor: J.A.2/2/5 tanggal 28 Januari 1967, untuk daerah-daerah yang belum berlaku pencatatan sipil bagi seluruh lapisan masyarakat dinyatakan berlaku ketentuan-ketentuan pencatatan sipil yang terdapat dalam Peratuaran Pencatatan Sipil, yang dipublikasikan dalam Staatsblad Tahun 1920 Nomor 751 juncto Staatsblad Tahun 1927 Nomor 564 atau Staatsblad Tahun 1933 Nomor 75 juncto Staatsblad Tahun 1936  Nomor 607 dengan ketentuan-ketentuan perbedaan-perbedaan yang ada tidak dipakai lagi. Sebelumnya di dalam permulaan ikhtisar akta atau kutipanya menggunakan perkataan “Untuk Golongan Eropa”, atau “Untuk Golongan Tionghoa” dan sebagainya, kini dihapus dan diganti dengan perkataan “Warga Negara Indonesia” dan untuk orang asing dipakai perkataan “Warga Negara ……” (diisi dengan nama negara yang bersangkutan) dan jika kewarganegaraannya tidak jelas (apatride), ditulis “tanpa kewarganegaraan”. Ini berarti sejak keterbukaan Kantor Pencatatan Sipil tidak dijumpai lagi perkataan-perkataan “Untuk Golongan Eropa”, atau “Untuk Golongan Tionghoa” dalam permukaan ikhtisar akta pencacatan sipil atau kutipannya, yang ada hanya jenis kewarganegaraannya saja serta diisi dengan jenis Staatsblad yang bersangkutan, mengingat bahwa perubahan-perubahan dimaksud sesuai dengan angka 3 Presidium Kabinet Ampera Nomor: 31/U/IN/12/1966, bahwa hal tersebut “tidak mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan hukum perdata yang berlaku bagi mereka”.
            Bersamaan dengan itu, pemerintah juga menetapkan peraturan ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama Cina. Hal ini dituangkan dalam Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor: 127/KEP/12/1966, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1967 dan berakhir pada tanggal 31 Maret 1988, dengan pertimbangan bahwa pemerintah memandang perlu memberikan fasilitas seluas-luasnya dengan diadakan prosedur yang khusus mengingat penggantian nama dari orang Indonesia keturunan asing dengan nama yang sesuai dengan nama Indonesia asli, akan dapat mendorong bahkan mempercepat proses asimilasi warga negara Indonesia keturunan ke dalam tubuh bangsa Indonesia demi nation dan character building. Kepada para Bupati/Walikota pada waktu itu diperintahkan untuk menjalankan fasilitas-fasilitas seringan-ringanya kepada mereka para pengganti nama guna memperlancar prosedur.[15]
            Kewenangan dan tanggung jawab di bidang pencatatan sipil bagi Kantor Pencatatan Sipil berkembang setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomr 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan ketentuan tersebut, Kantor Catatan Sipil diberikan kewenangan dan tangung jawab mencatatan perkawinan dan perceraian bagi mereka yang bukan beragama Islam. Sehubungan dengan dikeluarkan pedoman bagi pejabat pelaksana Kantor Catatan Sipil di daerah-daerah sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 221a Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan dengan Berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya. Dalam dictum pertama Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 221a Tahun 1975 ditegaskan, bahwa mereka yang bukan beragama Islam, perkawinan dan perceraiannya harus di catat di Kantor Pencatatan Sipil, yaitu bagi mereka yang pencatatan perkawinan dan perceraiannya dilakukan dengan Register Pencatatan Sipil untuk golongan Eropa, Register Pencatatan Sipil untuk golongan Tionghoa, Register Pencatatan Sipil untuk golongan Kristen Indonesia, Register Pencatatan Sipil Perkawinan Campuran dan bagi mereka yang tidak tunduk kepada Register Pencatatan Sipil di atas dan tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
            Dengan adanya ketentuan di atas, maka sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan, semua perkawinan yang semula dilakukan secara adat sudah cukup, harus dicatat menurut peraturan ini, seperti mereka yang beragama Hindhu dan Buddha. Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan, mereka mungkin tidak memerlukan bukti pencatatan perkawinan, berhubung menurut adat telah sah. Akan tetapi, tidak demikianlah setelah Undang-Undang ini ada.[16]
            Bagi daerah-daerah tertentu yang tidak terjangkau pelayanan Kantor Pencatatan Sipil, pelayanannya dibantu oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yaitu pemuka-pemuka agama khususnya bagi umat Kristen, Hindhu, dan Buddha sebagaimana di atur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 97 Tahun 1978 tentang Penunjukan Pemuka Agama sebagai Pembantu Pegawai Pencatatan Sipil Perkawinan bagi Umat Kristen Indonesia yang tunduk Kepada Staatsblad 1933 Nomor 75 juncto Staatsblad 1936 Nomor 607 dan bagi Umat Hindu dan Buddha, dengan pertimbangan dalam rangka memperlancar pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi umat Kristen, Hindhu, dan Buddha di mana sepanjang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, Kantor-Kantor Pencatatan Sipil di daerah mengalami tenaga/pegawai pencatat guna melayani bagi umat Kristen, Hindhu, dan Buddha yang letaknya terlalu jauh dari Kantor-kantor Catatan Sipil. Bedasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 97 Tahun 1978, Gubernur diberikan wewenang untuk menunjuk dan mengangkat pemuka agama sebagai Pembantu Pegawai Pencacatan Perkawinan bagi umat Kristen Indonesia dan bagi umat Hindhu dan Buddha yang akan melangsungkan perkawinan dan yang berada di daerahnya berdasarkan atas usul organisasi agama yang bersangkutan melalui Kantor Wilayah Departemen Agama yang bersangkutan. Penunjukan dimaksud dapat dilakukan untuk umat Kristen Indonesia untuk setiap paroki atau jema’at atau yang setingkat dengan itu dan untuk umat Hindhu dan Buddha serendah-rendahnya pada setiap kecamatan. Kepala kantoor Catatan Sipil melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pembantu Pegawai Pencatatan Perkawinan yang berada dalam daerah hukum Kantor Catatan Sipil yang bersangkutan.
            Selanjutnya pada tahun 1983 diadakan penataan dan pembinaan peyelanggaraan catatan sipil dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat, pemberian kepastian hukum dan keamanan serta ketertiban untuk terwujudnya keutuhan dan kesatuan bangsa, sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Peyelenggaraan Catatan Sipil. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983, maka secara fungsional Menteri Dalam Negeri mempunyai kewenangan dan tanggung jawab penyelenggaraan catatan sipil sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam kesehariannya ditangani oleh Direktur Jenderal Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah.[17]
            Adapun kewenangan dan tanggung jawab di bidang catatan sipil dimaksud, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983, meliputi[18]:
a.       menyelenggarakan pencatatan dan penerbitan kutipan-kutipan:
·         akta kelahiran;
·         akta kematian;
·         akta perkawinan dan perceraian bagi mereka yang bukan beragama Islam,dan
·         akta pengakuan dan pengesahan anak.
b.      melakukan penyuluhan dan pengembangan kegiatan catatan sipil;
c.       menyediaan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di bidang kependudukan.
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa urusan pencatatan sipil menjadi urusan kewenangan dan tanggung jawab Meteri Dalam Negeri, yang dalam pelaksanaannya terbuka untuk semua warga negara Indonesia.
F. Manfaat Akta Catatan Sipil
          Akta catatan sipil mempunyai kedudukan dan perananan yang sangat penting dalam proses pembangunan nasional karena dapat memberikan manfaat bagi individu dan pemerintah.Adapun manfaat catatan sipil adalah sebagai berikut[19]:
Bagi pribadi/individu:
a.       menentukan status hukum seseorang;
b.      merupakan alat bukti yang paling kuat di muka dan hadapan  hakim;
c.       memberikan kepastian tentang peristiwa itu sendiri.
Bagi pemerintah:
a.       meningkatkan tertib administrasi negara;
b.      merupakan penunjang data bagi perencanaan pembangunan;
c.       pengawasan dan pengendalian terhadap orang asing yang datang ke Indonesia.
G.Analisis Kasus
a.      Kasus
Bagaimana cara menikah di indonesia jika berbeda agama (hanya catatan sipil saja) dengan WNA? jika bisa surat-surat apa yang dibutuhkan utk WNA & WNI nya? dan berapa lama butuh prosesnya? Catatan sipil mana yang kami tuju? karena Calom suami Turki (muslim) dan saya orang indonesia (Kristen)
b.      Jawaban
Sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.




BAB II
Syarat Perkawinan
BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1)  Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
(5)  Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Paragraf 1 Pencatatan Perkawinan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 34
1. Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana ditempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
2. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud npada ayat (1). Pejabat Pencatatan Sipil mencatat Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
3.Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri.
4. Pelaporan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penduduk yang beragama islam kepada KUA Kecamatan
5. Data hasil pencatatan atas perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan KUA Kecamatan kepada instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari pencatatan perkawinan dilaksanakan
6. Hasil pencatatan dan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan kutipan akta Pencatatan Sipil.
7.Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD instansi Pelaksanaan Pembuatan Akta Perkawinan di DKI Jakarta
1. Surat Bukti Perkawinan Agama
2. Akta Kelahiran
3. Surat keterangan dari Lurah
4. Foto kopy KTP/KK tyang dilegalisir oleh lurah
5. Pas Foto Berdampingan 4 x 6 cm - 5 lbr
6. 2 (dua) orang saksi yang telah berusia 21 tahun ke atas
7. Akta Kelahiran Anak yang diakui/disahkan
8. Akta perceraian/Akta kematian jika yang bersangkutan telah pernah menikah
9. Paspor bagi WNA
10. Surat Tanda Melapor Diri (STMD) dari kepolisian bagi WNA
11. Surat dari kedutaan/Konsul/Perwalian Negara Asing yang bersangkutan (bagi WNA)
12. SKK dari imigrasi (bagi WNA)
Salah satu persyaratan adalah bukti perkawinan agama yang tetap menjadi syarat yang wajib dalam pencatatan perkawinan. Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil hanya mencatatkan dan membutuhkan bukti perkawinan agama tersebut. Jika Pernikahan Agama dilakukan pada 2 (dua) agama tidak dapat dilakukan dan di Indonesia pernikahan 2 Agama yang berbeda belum dapatdilakukan sesuai aturan di Indonesia.
  

KESIMPULAN
            Dari pemaparan di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa berlakunya Catatan Sipil di Indonesia semakin lama semakin berkembang sesuai dengan kondisi yang ada, bahkan banyak dari aturan-aturan yang ada telah di hapus dan diganti dengan aturan yang baru karena di anggap tidak relevan lagi.
            Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa Pencatatan Sipil memiliki manfaat yang besar, baik bagi individu, masyarakat, maupun pemerintah. Manfaat ini menyangkut hal-hal keperdataan yang dimiliki, baik untuk kejelasan status, atau penyelesaian  masalah-masalah keperdataan yang akan atau sedang terjadi.
            Adapun pengaturan catatan sipil atau pencatatan sipil diatur dalam Bab kedua Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 Buku Kesatu KUHPerdata. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 KHUPerdata tersebut mengatur mengenai akta-akta catatan sipil bagi golongan penduduk Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan itu. Namun,dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Kelauarga, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 samapai Pasal 10 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengann yang baru sebagaimana termuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1961.
           


[1]Salim,HS.,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),(Jakarta:Sinar Grafika,Cet IV,2006),h.42.
[2] Rachmadi Usman,Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,(Jakarta; Sinar Grafika,2006),h.189.
[3][3] Ibid.,190.
[4] Ibid.
[5] Ibid.,h.191.

[7] R.Soeroso,Perbandingan Hukum Perdata,Jakarta: Sinar Grafika,Cet VI,2006.h.156.
[8] Ibid.,h.156.
[9] Ibid.,h.157.
[10] Rachmadi Usman.,Op.Cit.h.193.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.,h.195.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Salim HS,Op.,Cit.h.50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar