A. Pengertian
dan Kewenangan Khulafa al-Rasyidin
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW,
perjuangan Rasulullah SAW diteruskan oleh khulafâ’ al-râsyidîn, yaitu
Abu Bakar al-Shiddîq RA, Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin
Abi Thalib RA.
Adapun yang dimaksud dengan khulafâ’
al-râsyidîn merupakan padanan kata khulâfâ’ berasal yang berarti
pengganti. Sedangkan râsyidûn berarti yang mendapatkan petunjuk. Jadi khulafâ’
al-râsyidîn adalah khalifah-kahlifah (pengganti-pengganti) Rasulullah SAW
yang berarti mendapat bimbingan yang benar, karena mereka melakasanakan tugas sebagai
pengganti Rasulullah SAW menjadi kepala negara Madinah dan sebagai pembantu
rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola Negara.[1]
Dalam hal ini, khalifah bertindak sebagai pengganti Rasulullah mempunyai dua
tugas utama, yaitu:
1. Mensyiarkan agama Islam dan menjaga
dari penyelewengan.
2. Mengantur segala aspek kehidupan
kaum Muslimin.[2]
Berdasarkan pemaparan di atas dapat
ditarik pemahaman bahwa khalifah sebagai pengganti Nabi SAW. tidak hanya
mengantikan posisi Nabi dalam hal keagamaan semata, tetapi juga mengantikan
dalam masalah kenegaraan. Oleh karena itu, sebagai khalifah dalam sejarahnya
mereka banyak mengeluarkan regulasi-regulasi terkait dengan berbagai masalah
kenegaraan, baik dalam bidang eksekutif, legislatif, maupun yudisial.
Selanjutnya
dalam menjalankan tugasnya sebagai pengganti Rasulullah SAW. hulafâ’
al-râsyidîn telah
melakukan banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan perjuangan Islam. Salah
satunya adalah peradilan (yudisial). Ini dikarenakan peradilan adalah sangat
penting bagi pembangunan umat Islam itu sendiri, melihat Nabi yang mendapatkan
wahyu dari Allah SWT sudah tidak ada lagi. Maka dari itu, konsep peradilan yang
merupakan salah satu bentuk kebijakan yang di konsepkan oleh khulafâ’
al-râsyidîn sangatlah penting dalam sejarah pembentukan ‘Peradilan Islam’.
B.
Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Nama lengkap abu bakar adalah Abdullah Bin Abi Quhafah
At-Tamimi[3],
mendapat gelar julukan Abu Bakar atau pelopor pagi hari, karena ia masuk islam
sejak awal sekali. Sebelum masuk islam bernama Abdul Ka’bah. Masa
pemerintahan Abu bakar sebagai pemimpin umat islam sangat singkat sekitar tahun
632-634 M.[4]
Dalam sejarah pemerintahan khalifah Abu Bakar as-Shidiq,
sebelum beliau diangkat menjadi khalifah telah terjadi pergolagakan politik dan
keagamaan dalam dunia Islam. Pergolakan politik antar umat Islam ini berkaitan
dengan kekosongan kepala pemerintah selepas wafanya Rasulullah dan siapakah
yang pantas menjadi pengganti Rasulullah untuk memimpin umat Islam. Dalam hal
ini perlu diketahui, dalam menetapkan siapakah pengganti dari Nabi Muhammad SAW
, kaum anshar yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj telah berinisatif untuk
memilih pengganti Nabi, golongan Khazraj telah terlebih dahulu mencalonkan Saad
bin Ubadah sebagai khalifahm, namun hal ini tidak disetujui oleh golongan Aus,
peristiwa ini berlangsung di tempat yang dinamakan Tsaqifah Bani Saidah.
Setelah melalui perdebatan panjang antar ke dua suku anshar tersebut, datanglah
Abu Bakar bersama dengan umar untuk mengatasi masalah tersebut , setelah
suasana menjadi tenang mereka kembali bermusyawarah untuk menentukan pengganti
Nabi SAW. yang akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah. Peristiwa ini
tekenal dengan sebutan Baiat Tsaqifah.[5]
Dalam hubungan ini D.B Macdonal berkomentar bahwa forum
musyawarah tersebut dapat disebut sebagai “ forum politik di mana didalamnya
terjadi diskusi dan dialog yang sesuai dengan cara-cara modern.”[6]
Selanjutnya dalam tahun pertama jabatan Abu Bakar,
kepemimpinannya langsung diuji, yaitu menghadapi ancaman yang timbul dari
kalangan umat Islam sendiri. Ancaman tersebutdapat menghancurkan struktur dan
tatanan kehidupan umat Islam yang telah dibangun Rasululllah SAW., sebab tidak
lama setelah beliau wafat dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, muncul
kelompok-kelompok Islam di berbagai daerah yang menentang kepemimpinannya.
Yaitu mereka yang murtad dari agama Islam, golongan yang ingkar membayar zakat,
muncul nabi orang yang mengaku sebagai nabi, dan beberapa kabilah yang
memberontak.
Oleh karena itu, dalam pemeritahannya yang berlangsung
selama 3 tahun tersebut Abu Bakar as-Shiqiq disibukkan untuk memberantas
golongan-golongan sebagaimana disebutkan di atas dan juga untuk mengatasi
ancaman dari luar, seperti Kaisar Romawi, Heraclius, yang menguasai Syiria dan
Palestina, dan Kisra Kerajaan Persia yang menguasai Irak[7].
Sebagai akibat dari pergolakan politik serta keagamaan yang
terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, tidak tampak ada suatu perubahan dalam
lapangan peradilan pada masa itu. Hal ini berarti bahwa dalam sistem peradilan
pada masa Abu Bakar masih sama dengan sistem peradilan pada masa Rasulullah
SAW.. yakni bila pada masa Rasulullah beliau sendiri yang memutuskan hukum,
maka pada masa Abu Bakar ia sendirilah yang bentindak sebagai hakim di antara
umat Islam di Madinah.
Adapun urusan pemerintahan di luar kota Madinah, Khalifah
Abu Bakar membagi wilayah kekausaan hukum Negara Madinah menjadi beberapa
propinsi, dan setiap propinsi ia menugaskan seorang amir atau wali (semacam
jabatan gubernur). Amir-amir tersebut antara lain, 1) Itab bin Asid di Makkah,
2) Usman bin Abi al-Ash di Thaif, 3) Al-Muhajjir bin Abi Umayyah di San’a, 4)
Ziad bin Labid di Hadramaut, 5) Ya’la bin Umayyah di Khaulah, 6) Abu Musa
al-Asy’ari di Zubaid dan Rima’. 7) Muaz bin Jabbal di al-janad, 8) Jarir bin
Abdullah di Najran, 9) Abdullah bin Tsur di Jaraasy, 10) Al-Ula bin Hadrami di
Bahrain, dan untuk Irak dan Syam dipercayakan kepada para pemimpin militer
sebagai wulat al-amri. Para amir tersebut juga bertugas sebagai pemimpin
agama, menetapkan hukum dan melaksanakan undang-undang. Artinya seorang amir
disamping sebagai pemimpin agama, sebagai hakim dan pelakasana tugas
kepolisian.[8]
Adapun sumber hukum yang dijadikan rujukan pada masa Abu
Bakar adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad setelah pengkajian dan musyawarah
dengan para sahabat. Sebagai contoh, masalah pertama yang dibicarakan oleh Abu
Bakar bersama dengan para sahabat setelah beliau diangkat menjadi khalifah
adalah masalah tentara yang berkekuatan 700 orang di bawah pimpinan Usamah bin
Zaid. Pasukan ini merupakan pasukan yang disiapkan Nabi di akhir hayatnya untuk
dikirim ke Syria menghadapi tentara Romawi. Para pemuka sahabat menyampaikan
usul kepada Khalifah Abu Bakar agar pasukan tersebut ditangguhkan
pengirimannya. Keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk mendampingi umat Islam di Madinah mengingat
munculnya kelompok-kelompok pemberontak. Usul kedua datang pula dari sebagian
umat Islam melalui Umar bin Khattab agar pimpinan pasukan diganti dengan orang
yang lebih tua dari Usamah, kedua usulan tersebut ditolak oleh Abu Bakar dengan
pertimbangan bahwa beliau tidak berani membatalkan apa-apa yang telah dilakukan
Rasulullah.[9]
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
masa Abu Bakar ada tiga kekuatan, pertama, quwwat al-Syariah (legislatif).
Kedua, quwwat al-Qadihiyah (yudikatif), dan ketiga, quwwat, quwwat
al-tanfiziyah (eksekutif).[10]
Selanjutnya, menurut riwayat yang
ada, pada masa Abu Bakar, urusan peradilan diserahkan kepada Umar bin Khattab
selama dua tahun. Namun, selama Umar menjabat tidak pernah terjadi adanya
sengketa yang perlu dihadapakan ke muka pengadilan, hal ini karena dikenalnya
Umar sebagai orang yang sangat keras dan juga karena faktor-faktor pribadi umat
Muslim pada masa itu yang dikenal sangat soleh dan toleran terhadap sesama
Muslim, sehingga faktor inilah yang sangat membantu tidak terwujudnya selisih
sengketa antar mereka.[11]
Selama dua tahun, tercatat hanya dua orang yang berselisih yang mengadukan
perkaranya kepada Umar. Perlu diketahui[12],
meskipun Umar bin Khattab mempunyai wewenang dalam peradilan tidak berarti
beliau adalah seorang hakim, berkaitan dengan ini Dr. Athiyah berpendapat:
“Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin
al-Khattab untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya
saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak
disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas
sebagai hakim, bahkan kadang-kadang Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan
lainnya.[13]”
Diberitahukan oleh al-Baghawy bin Mihram, katanya : “ Adalah
Abu bakar apabila menghadapi suatu perkara dan apabila datang suatu pengaduan
kepadanya, memerhatikan kandungan Al-Qur’an. Jika ada dalam Al-Qur’an hukum
perkara yang telah timbul itu, beliau menghukumkan perkara itu dengan ketetapan
yang ada dalam Al-Qur’an. Jika tidak
mendapatkan hukumnya dalam Al-Qur’an, beliau memerhatikan Sunnah dalam
mengetahuinya. Jika beliau memperoleh Sunnah dalam perkara itu, beliau pun
memutuskan menurut ketetapan Sunnah. Apabila tidak juga beliau menemukan suatu
ketetapan dalam Sunnah, pergilah beliau menanyakan hadis-hadis Nabi tentang itu
kepda para sahabat beliau lalu beliau memutuska menurut hadis yang di dapatkan
dari orang yang beliau percaya. Jika tidak ada hadis yang dapat diriwayatkan
kepadanya sesudah beliau menanyakan kesana kemari, beliau mengumpulkan
ahli-ahli ilmu dan orang-orang yang terkemuka dari para sahabat untuk
berunding. Maka apa yang disepakati oleh ahli perundingan itu, itulah yang
beliau gunakan untuk menetapkan hukum dan menyelesaikan perkara serta
memutuskan pertikaian”. Demikian sikap Abu Bakar dalam memutuskan hukum.[14]
Ringkasnya, langkah-langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam
menetapkan hukum adalah sebagai berikut:
1.
Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Apabila ditemukan
di dalamnya, maka ia memberi keputusan berdasarkan ketetapan yang ada dalam
Al-Qur’an.
2.
Apabila tidak menemukan dalam Al-Qur;an, ia mencari
ketentuan hukum dalam Sunnah dan memutuskan dengan ketetapan Sunnah apabila
ditemukan hukum di dalamnya.
3.
Apabila tidak menemukan dalam Sunnah, ia menanyakan kepada
sahabat lain apakah Rasulullah SAW. telah memutuskan persoalan yang sama pada
zamannya.
4.
Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia
mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan
persoalan yang dihadapi.[15]
C. Peradilan
Pada Masa Umar bin Khattab
Berbeda dengan proses pengangkatan Abu Bakar yang harus
melalui proses musyawarah yang cukup lama, proses pengangkatan Umar bin Khattab
sebagai khalifah ini adalah atas penunjukan langsung dari Abu Bakar dan lansung
disetujui oleh kaum muslimin di muka umum.
Khalifah Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah selama
10 tahun dari tahun 634 sampai 644 (13-23 H). Pada masa Khalifah Umar kekuasaan
Negara Madinah makin menjadi luas meliputi semenanjung Arabia, Palestina,
Suria, Irak, Persia dan Mesir. Umar dikenal sebagai seorang negarawan,
admininstator yang terampil dan pandai, dan seorang pembaharu yang membuat
kebijakan mengenai pengelolaan wilayah kekuasaan yanng luas itu. Ia menata
struktur kekuasaan dan administrasi pemerintahan Negara Madinah. Kekuasaan
tertinggi yang bertugas membuat keputusan atas masalah-masalah umum kenegaraan
yang dihadapi Khalifah adalah Majelis Permusyawaratan, yang dibentuk oleh
Khalifah Umar. Anggota Majelis ini terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar
(suku Khazraj dan Aus). Nama-nama yang tercatat menjadi anggota majelis ini
antara lain Usman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin jabbal, Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Tasabit dan lain-lain. Dari sudut ketatanegaraan majelis ini dapat
disebut sebagai pemegang kekuasaan legislative, sekalipun penentu keputusan
akhir adalah Khalifah sendiri.
Adapun kekuasaan eksekutif di pegang oleh Umar bin Khattab
dalam kedudukannya sebagai Khalifah atau Kepala Negara. Untuk menunjang
kelancaran administrasi dan operasionala tugas eksekutif, Umar melengkapinya
dengan beberapa jawatan. 1) Diwan al-Kharaj (Jawatan pajak) yang
mengelola pajak-pajak tanah di daerah-daerah yang telah ditaklukkan. 2) Diwan
al-Ahdast (Jawatan Kepolisian) yang bertugas memelihara ketertiban dan
menindak pelanggaran-pelanggaran hukum yang kemudian di adili oleh qadhi atau
hakim. 3) Nazarat al-Nafi’at (Jawatan Pekerjaan Umum) yang bertanggung
jawab atas pembangunan dan pemeliharaan saluran-saluran irigasi, jalan-jalan,
jembatan-jembatan, rumah sakit, gedung-gedung pemerintahan dan sebagainya. 4) Diwan
al-Jund (Jawatan Militer) yang berkewajiban menginventaris dan mengelola
administrasi ketentaraan. Dewan ini didampingi oleh satu dewan yang bertugas
mencatat nama-nama tentara yang dikelompokkan berdasarkan asal suku dan
ketetapan gaji tentatara yang disebut (Diwan Umar). 5) Baitul Mal yaitu
Lembaga Perbendaharaan Negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan.
Pranata Sosial lain yang dibangun oleh Khalifah Umar adalah
pelaksanaan administrasi pemerintah di daerah dengan menerapkan sistem
desentralisasi. Yaitu pemlimpahan wewenang dan otonomi seluas-luasnya kepada
pemerintah daerah. Wilayah kekuasaan Negara Madinah yang luas di bagi ke dalam
delapan propinsi, yaitu Madinah, Mekkah, Syria, Jazirah, Bashrah , Kufah,
Mesir, dan Palestina. Untuk setiap propinsi Umar mengangkat seorang gubernur
yang disebut wali atau amir yang berkedudukan sebagai pembantu
atau wakil Khalifah di daerah. Tugas- tugas penting seorang gubernur selain
sebagai kepala pemerintahan daerah, juga sebagai pemimpin agama, memelihara
keamanan dan ketertiban daerah, memimpin ekspedisi militer dan mengawasi
pelaksanaan pemunguntan pajak. Setiap gubernur dalam menjalankan tugasnya
didampingi pembantu-pembantu, yaitu sekretaris, pejabat pajak, pejabat
kepolisian, pejabat keuangan, dan hakim. Akan tetapi, pada saat itu hanya
beberapa propinsi yang memiliki pejabat hakim, yaitu Syarih bin al-Haris di
Kufah, Abu Musa al-Asy’ary di Basrah, Qaid bin Abi al-Ash di Mesir, Abi
al-Darda’ di Madinah. Dengan demikian untuk beberapa propinsi Khalifah Umar
telah memisahkan jabatan peradilan dari jabatan eksekutif. Hakim diberikan
wewenag sepenuhnya untuk melaksanakan peradilan yang bebas, dan bebas dari
pengaruh dan pengawasan gubernur bahkan Khalifah sekalipun.
Sehubungan dengan itu, Umar membuat beberapa diktum
peraturan yang berkaitan dengan peradilan, yaitu hakim harus berlaku adil dalam
memutus perkara siapapun, bebas dari rasa takut dan tidak memihak siapapun,
memperlakukan semua orang sama dihadapan hukum, si penggugat harus menunjukkan
bukti yang akurat, si tertuduh harus disumpah jika menyangkal, penyelesaian
perselisihan secara damai boleh selama tidak bertentangan dengan hukum,
keputusan yang telah mempunyai kepastian hukum tidak boleh diubah bila kemudian
terbukti salah, keputusan harus berdasarkan al-Quran dan Sunnah, analogi atas
kasus-kasus sejenis yang telah diputuskan hukumnya atas dasar ijtihad, jika
tidak ada bukti maka perkara gugur, setiap muslim dapat dihadirkan menjadi
saksi kecuali yang pernah dihukum atau pernah memberikan kesaksian palsu.
Para hakim pada masa Umar bin Khattab merujuk kepada
Al-Qur’an dan Sunnah. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sesuatu di dalamnya,
mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin, apakah di antara mereka terdapat
seorang yang mengetahui sesuatu dalam Sunnah mengenai perkara-perkara yang
dihadapi. Jika tidak didapatkan suatu ketetapan dengan jalan tersebut, maka
mereka berijtihad secara kolektif jikadalam
topic permasalahan terdapat dasar-dasar yang bersifat universal, dan
berijtihad secara individu dalam masalah-masalah sektoral yang khusus menyangkut
individu.
Untuk lebih dijelasnya berikut ini dipaparkan beberapa
contoh terkait dengan kasus peradilan yang terjadi pada masa Umar bin Khattab,
sebagaimana dikutip dari beberapa referensi:
1.
Masalah nasab
Seorang anak mengaku di depan Umar
bahwa seorang wanita adalah ibunya. Maka, wanita tersebut datang dengan
beberapa orang yang bersaksi bahwa dia belum menikah dan anak tersebut telah
berbohong. Umar pun memerintahkan untuk menghukum anak itu dengan had qadaf (tuduhan
zina). Lali, hal tersebut terdengar oleh Ali, maka dia mengintervensi perkara
ini dan menawarkan kepada anak tersebut
agar menikahi wanita yang diakui sebagai ibunya. Wanita itu pun berteriak “
Allah, Allah, itu neraka, Demi Allah, dia adalah anakku”. Kemudian dia mengakui
bahwa keluarganya telah menikahinya dengan seseorang tanpa kerelaannya, lalu ia
mengandung anak ini darinya, dan suaminya pergi berperang lalu terbunuh.
Kemudian dia mengirimkan anaknya kepada kaum yang bersedia merawatnya, dan dia
tidak mengakuinya sebagai anak. Maka, Ali menetapkan bahwa nasab anak tersebut
dengan wanita yang ditunjuknya”.[16]
2.
Masalah makar perempuan
Seorang perempuan sangat tertarik
kepada seorang pemuda, maka dia menuangkan zat putih di bajunya dan di antara
dua pahanya. Lalu perempuan itu mengadu kepada Umar bin Khattab dengan
mengatakan bahwa pemuda tersebut telah memperkosanya seraya mengisyaratkan
bekas-bekas yang dibuatnya. Pemuda itu pun menolak dakwaan tersebut, dan Umar
mengalihkan perkara ini kepada Imam Ali, Ali memrintahkan untuk mengambil air panas
lalu dituangkan pada baju, dan mengeraslah zat putih tersebut. Sehingga tampak
jelas kebenaran sebab kecerdasan Ali dan kecermatan pandangannya. Demikianlah
bentuk penyelesaian kimiawi. Akhirnya, Imam Ali bertanya kepada wanita itu dan
dia mengakui rekayasanya dan tuduhannya di tolak”.[17]
D. Peradilan
Pada Masa Usman bin Affan
Pemerintahan
Utsman bin Affan berlangsung dari tahun 644-656 M. ketika dipilih, Utsman telah
berusia 70 tahun. Di masa pemerintahanya perluasan daerah islam diteruskan ke
Barat sampai ke Maroko, ke Timur menuju India, dan ke Utara bergerak menuju
Konstantinopel.
Usman
bin Affan adalah orang pertama yang mengkhususkan kantor untuk peradilan,
sedangkan peradilan pada masa dua khalifah sebelumnya dilaksanakan di masjid.
Peradilan pada masa Usman sama seperti peradilan di masa dua sahabat
sesudahnya. Usman mengutus petugas-petugas sebagai penghambil pajak dan penjaga
batas-batas wilayah untuk menyeruh amar ma’ruf nahi mungkar, dan terhadap
masyarakat yang bukan muslim (ahli dzimmah) berlaku kasih sayang dan lebah
lembut serta berlaku adil terhadap mereka. Ustman memberi hukuman cambuk
terhadap orang yang biasa minum arak, dan pengancam setiap orang yang berbuat
bid’ah dikeluarkan dari kota Madinah, dengan demikian keadaan masyarakat selalu
dalam kebenaran.[18]
Ustman
bin Affan tidak mengangkat hakim di Madinah hingga dia meninggal dunia karena
terbunuh. Usman pernah menawarkan jabatan peradilan kepada Abdullah bin Umar,
namun ditolak meskipun Usman medesak, dan Abdullah bin Umar berkata kepadanya,
“ Apakah kamu tidak mendengar Rasulullah bersabda, “ Barangsiapa yang memohon perlindungan
kepada Allah, maka lindungilah dia, dan saya berlindung kepada Allah jika saya
menjabat dalam peradilan.”[19]
Salah satu kasus yang langsung diselesaikan
oleh ustman, yaitu Ali bin Abi Thalib pada masa Umar telah membangun pematang
untuk menutup aliran air antara tanahnya dan tanah Thalhah bib Abdillah, lalu
keduanya mengadukan perkara tersebut kepada Utsman bin Affan, maka Ustman pergi
bersama kedua belah pihak ke tempat pematang hingga dia melihatnya. Kemudia dia
berkata:”Saya melihat tidak ada bahaya yang disebabkan pematang ini, dab dia
juga sudah ada sejak masa Umar. Sebab jika pematang ini sebagai kezaliman niscaya
Umar tidak akan membiarkannya”. Tindakan yang dilakukan oleh Ustman ini serupa
pada masa kita ini dengan pembuktian materi yang dilakukan oleh hakim dengan
melihat langsung tempat kejadian perkara.[20]
E. Peradilan
Pada Masa Ali bin Abi Thalib
Ali
bin Abi Thalib memerintah dari tahun 656-662 M. sejak kecil ia dididik dan
diasuh oleh Nabi Muhammad Saw. Ali seringkali di tunjuk oleh Nabi menggantikan
beliau menyelesaikan masalah-masalah penting. Semasa pemerintahannya Ali tidak
banyak dapat berbuat untuk mengembangkan hokum islam, karena keadaan Negara
tidak stabil. Disana-sini terdapat timbul bibit perpecahan yang serius dalam
tubuh umat islam.[21]
Nabi
Muhammad telah bersaksi bahwa peradilan sebagaimana yang diputuskan Ali atau
umatku yang baik peradilannya adalah Ali, atau yang baik peradilannya diantara
kamu adalah Ali.[22]
Ali
menetapkan hukum diantara manusia selama di Madinah. Ketika keluar ke Basrah
dia mengangkat Abdullah bi Abbas sebagai gantinya di Madinah, dan mengangkat
Abu Aswad al-Du’ali dalam masalah pemerintahan di Bashrah dan sekaligus dalam
peradilan. Namun kemudian, dia dipecat setelah beberapa waktu karena banyaknya
dia berbicara. Sebab pembicaranya melebihi pembicaraan dua pihak yang berseteru
(penggugat dan tergugat). Ali mengangkat al-Nakha’I sebagai Gubernur di Ustur.
Ali berpesan agar al-Nakha’I bertakwa kepada Allah Swt, agar hatinya diliputi
rasa kasih saying dan kecintaan kepada rakyat, dan agar bermusyawarah dan
memilih penasehat-penasehat. Ali juga menjelaskan tentang siasat pemerintahan.
Ia berkata (memesan) tentang khusus urusan qadhi:”di antara rakyatmu yang
engkau pandang mampu yang tidak disibukkan tentang urusan-urusan lain dan
anjurkanlah agar mereka bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang
menyelimuti rahasia perkara yang sebenarnya.[23]
Berikut
sebagian contoh kasus yang terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Seorang
pemuda mengaku di depan imam Ali bahwa bapaknya pergi bersama beberapa orang
dalam bepergian. Ketika pulang, mereka mendalihkan bahwa bapaknya telah
meninggal dan tidak meninggalkan harta apapun, Maka. Amir al-Mukminin
memerintahkan dua polisi untuk masing-masing tertuduh dengan cermat tentang
kapan kepergian mereka, dan bagaimana didapatkan hartanya. Juga tentang
bagaimana dia dimakamkan, dimana tempat-tempatnya, dan pertanyaan yang
mendetail seperti itu. Namunternyata jawaban masing-masing itu berbeda dengan
yang lain. Dia memerintahkan untuk menahan mereka, dan masing-masing mengira
bahwa kawannya telah mengaku. Ketika itulah mereka mengakui masalah yang
sebenarnya. Akhirnya, Imam Ali menetapkan denda kepada mereka dan hukuman mati
dengan qishash. Peristiwa ini menetapkan tentang bolehnya memisahkan para
terdakwa untuk mencermati permasalahan yang sebenarnya, dan bahwa pengakuan
yang muncul akibat tersebut dinilai benar dan tidak ada unsur paksaan.
Contoh
lain, kasus peradilan yang terjadi pada masa Ali peristiwa baju besi. Ali
pernah di ajukan ke pengadilan atas tuntutan seorang Yahudi yang menuntut baju
besi Khalifah. Si penuntut membawa beberapa saksi untuk memperkuat tuntutannya.
Pengadilan yang dipimpin oleh qadhi Madinah bertanya kepada Khalifah Ali
apakah ia ingin menyampaikan sesuatu untuk membela diri. Ali menjawab “Tidak”.
Setelah mendengarkan kedua pihak, kadhi memutuskan orang Yahudi sebagai pihak
yang menang dalam perkara. Karena itu Ali harus menyerahkan baju besi kepada
orang Yahudi. Tetapi Yahudi terkejut dengan keputusan hakim yang tidak memihak
itu. Rupanya, ia menggugat untuk menguji kebesaran Khalifah yang tahan uji.
Lalu si Yahudi, mengikuti hati nuraninya, mengembalikan baju besi itu kepada
khalifah sambil mengakui bahwa ia menjualnya kepada Ali. Peristiwa ini
mengambarkan bahwa terdapat prinsip persamaan semua lapisan sosial dan etnik di
depan hukum, dan peradilan bebas diteruskan oleh Ali sebagaimana pada masa-masa
Rasulullah.[24]
Pada
masa khalifah al-rasyidin ini terkenal seorang qadhi yang amat bijaksana yang
bernama Syuraih, yang mana Syuraih menjabat sebagai hakim di tengah kaum
muslimin sekitar enam puluh tahun berturut-turut tanpa putus.
[1]
Taufiqurrahman, Sejarah Politik Umat Islam, (Jakarta: Pustaka Islamika,
2003),h.60
[2]
Wahyudin, Yahya dan Ahmad Jelani, Sejarah Islam, (Malaysia: Fajar Bakti,
1995), h.125.
[3]Aroisi,
Abdurrahman, Islam Sejarah dan Perkembangan, (Jakarta: CV. Samudra,
1987),h.166.
[4] K.
Hitti, Philip, Hostory of Arabic, ( Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2002),h. 218.
[5] J.
Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran), (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1994),h.102-106.
[6]
D.B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Juriprudence, dan
Constitusional, (New York, 1903),h.13. Dikutip dari Pulungan, J. Suyuti, Fiqh
Siyasah….., Ibid., h. 106.
[7]
Ibid.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid. h. 110
[10]
Alaidin Kotto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2011), h. 60.
[11]
Muhammad Sallam Madzkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Imron AM.,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), cet IV, h. 41.
[12]
Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan,
Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 297.
[13] Athiyyah Mushthofâ Musyrafah, al-Qadlâ’ fî
al-`Islâm (t.t.: Syarikat al-Syarq al-Ausath, 1966),h. 93.
[14]
T.M Hasbie ash-Shiddiqy, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970), h. 20.
[15][15]
Jaid Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2003), Cet III.
[16]
Samir Aliyah, Op.,Cit.
[17]
Ibid..
[18]
Alaidin Kotto.,Op.Cit.
[19]
Ibid.
[20]
Ibid.
[21]
Ibid.
[22]
Ibid.
[23]
Ibid.
[24] J.
Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah., Op.Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar