Rabu, 21 November 2012

Peradilan Islam Pada Masa Khulafa al-Rasyidin


A.       Pengertian dan Kewenangan Khulafa al-Rasyidin
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perjuangan Rasulullah SAW diteruskan oleh khulafâ’ al-râsyidîn, yaitu Abu Bakar al-Shiddîq RA, Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib RA.
Adapun yang dimaksud dengan khulafâ’ al-râsyidîn merupakan padanan kata khulâfâ’ berasal yang berarti pengganti. Sedangkan râsyidûn berarti yang mendapatkan petunjuk. Jadi khulafâ’ al-râsyidîn adalah khalifah-kahlifah (pengganti-pengganti) Rasulullah SAW yang berarti mendapat bimbingan yang benar, karena mereka melakasanakan tugas sebagai pengganti Rasulullah SAW menjadi kepala negara Madinah dan sebagai pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola Negara.[1] Dalam hal ini, khalifah bertindak sebagai pengganti Rasulullah mempunyai dua tugas utama, yaitu:
1.      Mensyiarkan agama Islam dan menjaga dari penyelewengan.
2.      Mengantur segala aspek kehidupan kaum Muslimin.[2]
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik pemahaman bahwa khalifah sebagai pengganti Nabi SAW. tidak hanya mengantikan posisi Nabi dalam hal keagamaan semata, tetapi juga mengantikan dalam masalah kenegaraan. Oleh karena itu, sebagai khalifah dalam sejarahnya mereka banyak mengeluarkan regulasi-regulasi terkait dengan berbagai masalah kenegaraan, baik dalam bidang eksekutif, legislatif, maupun yudisial.
Selanjutnya dalam menjalankan tugasnya sebagai pengganti Rasulullah SAW.  hulafâ’ al-râsyidîn telah melakukan banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan perjuangan Islam. Salah satunya adalah peradilan (yudisial). Ini dikarenakan peradilan adalah sangat penting bagi pembangunan umat Islam itu sendiri, melihat Nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT sudah tidak ada lagi. Maka dari itu, konsep peradilan yang merupakan salah satu bentuk kebijakan yang di konsepkan oleh khulafâ’ al-râsyidîn sangatlah penting dalam sejarah pembentukan ‘Peradilan Islam’.
B.       Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Nama lengkap abu bakar adalah Abdullah Bin Abi Quhafah At-Tamimi[3], mendapat gelar julukan Abu Bakar atau pelopor pagi hari, karena ia masuk islam sejak awal sekali. Sebelum masuk islam bernama Abdul Ka’bah.  Masa pemerintahan Abu bakar sebagai pemimpin umat islam sangat singkat sekitar tahun 632-634 M.[4]
Dalam sejarah pemerintahan khalifah Abu Bakar as-Shidiq, sebelum beliau diangkat menjadi khalifah telah terjadi pergolagakan politik dan keagamaan dalam dunia Islam. Pergolakan politik antar umat Islam ini berkaitan dengan kekosongan kepala pemerintah selepas wafanya Rasulullah dan siapakah yang pantas menjadi pengganti Rasulullah untuk memimpin umat Islam. Dalam hal ini perlu diketahui, dalam menetapkan siapakah pengganti dari Nabi Muhammad SAW , kaum anshar yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj telah berinisatif untuk memilih pengganti Nabi, golongan Khazraj telah terlebih dahulu mencalonkan Saad bin Ubadah sebagai khalifahm, namun hal ini tidak disetujui oleh golongan Aus, peristiwa ini berlangsung di tempat yang dinamakan Tsaqifah Bani Saidah. Setelah melalui perdebatan panjang antar ke dua suku anshar tersebut, datanglah Abu Bakar bersama dengan umar untuk mengatasi masalah tersebut , setelah suasana menjadi tenang mereka kembali bermusyawarah untuk menentukan pengganti Nabi SAW. yang akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah. Peristiwa ini tekenal dengan sebutan Baiat Tsaqifah.[5]
Dalam hubungan ini D.B Macdonal berkomentar bahwa forum musyawarah tersebut dapat disebut sebagai “ forum politik di mana didalamnya terjadi diskusi dan dialog yang sesuai dengan cara-cara modern.”[6]
Selanjutnya dalam tahun pertama jabatan Abu Bakar, kepemimpinannya langsung diuji, yaitu menghadapi ancaman yang timbul dari kalangan umat Islam sendiri. Ancaman tersebutdapat menghancurkan struktur dan tatanan kehidupan umat Islam yang telah dibangun Rasululllah SAW., sebab tidak lama setelah beliau wafat dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, muncul kelompok-kelompok Islam di berbagai daerah yang menentang kepemimpinannya. Yaitu mereka yang murtad dari agama Islam, golongan yang ingkar membayar zakat, muncul nabi orang yang mengaku sebagai nabi, dan beberapa kabilah yang memberontak.
Oleh karena itu, dalam pemeritahannya yang berlangsung selama 3 tahun tersebut Abu Bakar as-Shiqiq disibukkan untuk memberantas golongan-golongan sebagaimana disebutkan di atas dan juga untuk mengatasi ancaman dari luar, seperti Kaisar Romawi, Heraclius, yang menguasai Syiria dan Palestina, dan Kisra Kerajaan Persia yang menguasai Irak[7].
Sebagai akibat dari pergolakan politik serta keagamaan yang terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, tidak tampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan pada masa itu. Hal ini berarti bahwa dalam sistem peradilan pada masa Abu Bakar masih sama dengan sistem peradilan pada masa Rasulullah SAW.. yakni bila pada masa Rasulullah beliau sendiri yang memutuskan hukum, maka pada masa Abu Bakar ia sendirilah yang bentindak sebagai hakim di antara umat Islam di Madinah.
Adapun urusan pemerintahan di luar kota Madinah, Khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekausaan hukum Negara Madinah menjadi beberapa propinsi, dan setiap propinsi ia menugaskan seorang amir atau wali (semacam jabatan gubernur). Amir-amir tersebut antara lain, 1) Itab bin Asid di Makkah, 2) Usman bin Abi al-Ash di Thaif, 3) Al-Muhajjir bin Abi Umayyah di San’a, 4) Ziad bin Labid di Hadramaut, 5) Ya’la bin Umayyah di Khaulah, 6) Abu Musa al-Asy’ari di Zubaid dan Rima’. 7) Muaz bin Jabbal di al-janad, 8) Jarir bin Abdullah di Najran, 9) Abdullah bin Tsur di Jaraasy, 10) Al-Ula bin Hadrami di Bahrain, dan untuk Irak dan Syam dipercayakan kepada para pemimpin militer sebagai wulat al-amri. Para amir tersebut juga bertugas sebagai pemimpin agama, menetapkan hukum dan melaksanakan undang-undang. Artinya seorang amir disamping sebagai pemimpin agama, sebagai hakim dan pelakasana tugas kepolisian.[8]
Adapun sumber hukum yang dijadikan rujukan pada masa Abu Bakar adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad setelah pengkajian dan musyawarah dengan para sahabat. Sebagai contoh, masalah pertama yang dibicarakan oleh Abu Bakar bersama dengan para sahabat setelah beliau diangkat menjadi khalifah adalah masalah tentara yang berkekuatan 700 orang di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Pasukan ini merupakan pasukan yang disiapkan Nabi di akhir hayatnya untuk dikirim ke Syria menghadapi tentara Romawi. Para pemuka sahabat menyampaikan usul kepada Khalifah Abu Bakar agar pasukan tersebut ditangguhkan pengirimannya. Keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk  mendampingi umat Islam di Madinah mengingat munculnya kelompok-kelompok pemberontak. Usul kedua datang pula dari sebagian umat Islam melalui Umar bin Khattab agar pimpinan pasukan diganti dengan orang yang lebih tua dari Usamah, kedua usulan tersebut ditolak oleh Abu Bakar dengan pertimbangan bahwa beliau tidak berani membatalkan apa-apa yang telah dilakukan Rasulullah.[9]
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa Abu Bakar ada tiga kekuatan, pertama, quwwat al-Syariah (legislatif). Kedua, quwwat al-Qadihiyah (yudikatif), dan ketiga, quwwat, quwwat al-tanfiziyah (eksekutif).[10]
            Selanjutnya, menurut riwayat yang ada, pada masa Abu Bakar, urusan peradilan diserahkan kepada Umar bin Khattab selama dua tahun. Namun, selama Umar menjabat tidak pernah terjadi adanya sengketa yang perlu dihadapakan ke muka pengadilan, hal ini karena dikenalnya Umar sebagai orang yang sangat keras dan juga karena faktor-faktor pribadi umat Muslim pada masa itu yang dikenal sangat soleh dan toleran terhadap sesama Muslim, sehingga faktor inilah yang sangat membantu tidak terwujudnya selisih sengketa antar mereka.[11] Selama dua tahun, tercatat hanya dua orang yang berselisih yang mengadukan perkaranya kepada Umar. Perlu diketahui[12], meskipun Umar bin Khattab mempunyai wewenang dalam peradilan tidak berarti beliau adalah seorang hakim, berkaitan dengan ini Dr. Athiyah berpendapat:
Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim, bahkan kadang-kadang Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.[13]
Diberitahukan oleh al-Baghawy bin Mihram, katanya : “ Adalah Abu bakar apabila menghadapi suatu perkara dan apabila datang suatu pengaduan kepadanya, memerhatikan kandungan Al-Qur’an. Jika ada dalam Al-Qur’an hukum perkara yang telah timbul itu, beliau menghukumkan perkara itu dengan ketetapan yang ada  dalam Al-Qur’an. Jika tidak mendapatkan hukumnya dalam Al-Qur’an, beliau memerhatikan Sunnah dalam mengetahuinya. Jika beliau memperoleh Sunnah dalam perkara itu, beliau pun memutuskan menurut ketetapan Sunnah. Apabila tidak juga beliau menemukan suatu ketetapan dalam Sunnah, pergilah beliau menanyakan hadis-hadis Nabi tentang itu kepda para sahabat beliau lalu beliau memutuska menurut hadis yang di dapatkan dari orang yang beliau percaya. Jika tidak ada hadis yang dapat diriwayatkan kepadanya sesudah beliau menanyakan kesana kemari, beliau mengumpulkan ahli-ahli ilmu dan orang-orang yang terkemuka dari para sahabat untuk berunding. Maka apa yang disepakati oleh ahli perundingan itu, itulah yang beliau gunakan untuk menetapkan hukum dan menyelesaikan perkara serta memutuskan pertikaian”. Demikian sikap Abu Bakar dalam memutuskan hukum.[14]
Ringkasnya, langkah-langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam menetapkan hukum adalah sebagai berikut:
1.      Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Apabila ditemukan di dalamnya, maka ia memberi keputusan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an.
2.      Apabila tidak menemukan dalam Al-Qur;an, ia mencari ketentuan hukum dalam Sunnah dan memutuskan dengan ketetapan Sunnah apabila ditemukan hukum di dalamnya.
3.      Apabila tidak menemukan dalam Sunnah, ia menanyakan kepada sahabat lain apakah Rasulullah SAW. telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya.
4.      Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi.[15]
C.       Peradilan Pada Masa Umar bin Khattab
Berbeda dengan proses pengangkatan Abu Bakar yang harus melalui proses musyawarah yang cukup lama, proses pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah ini adalah atas penunjukan langsung dari Abu Bakar dan lansung disetujui oleh kaum muslimin di muka umum.
Khalifah Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun dari tahun 634 sampai 644 (13-23 H). Pada masa Khalifah Umar kekuasaan Negara Madinah makin menjadi luas meliputi semenanjung Arabia, Palestina, Suria, Irak, Persia dan Mesir. Umar dikenal sebagai seorang negarawan, admininstator yang terampil dan pandai, dan seorang pembaharu yang membuat kebijakan mengenai pengelolaan wilayah kekuasaan yanng luas itu. Ia menata struktur kekuasaan dan administrasi pemerintahan Negara Madinah. Kekuasaan tertinggi yang bertugas membuat keputusan atas masalah-masalah umum kenegaraan yang dihadapi Khalifah adalah Majelis Permusyawaratan, yang dibentuk oleh Khalifah Umar. Anggota Majelis ini terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar (suku Khazraj dan Aus). Nama-nama yang tercatat menjadi anggota majelis ini antara lain Usman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin jabbal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tasabit dan lain-lain. Dari sudut ketatanegaraan majelis ini dapat disebut sebagai pemegang kekuasaan legislative, sekalipun penentu keputusan akhir adalah Khalifah sendiri.
Adapun kekuasaan eksekutif di pegang oleh Umar bin Khattab dalam kedudukannya sebagai Khalifah atau Kepala Negara. Untuk menunjang kelancaran administrasi dan operasionala tugas eksekutif, Umar melengkapinya dengan beberapa jawatan. 1) Diwan al-Kharaj (Jawatan pajak) yang mengelola pajak-pajak tanah di daerah-daerah yang telah ditaklukkan. 2) Diwan al-Ahdast (Jawatan Kepolisian) yang bertugas memelihara ketertiban dan menindak pelanggaran-pelanggaran hukum yang kemudian di adili oleh qadhi atau hakim. 3) Nazarat al-Nafi’at (Jawatan Pekerjaan Umum) yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pemeliharaan saluran-saluran irigasi, jalan-jalan, jembatan-jembatan, rumah sakit, gedung-gedung pemerintahan dan sebagainya. 4) Diwan al-Jund (Jawatan Militer) yang berkewajiban menginventaris dan mengelola administrasi ketentaraan. Dewan ini didampingi oleh satu dewan yang bertugas mencatat nama-nama tentara yang dikelompokkan berdasarkan asal suku dan ketetapan gaji tentatara yang disebut (Diwan Umar). 5) Baitul Mal yaitu Lembaga Perbendaharaan Negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan.
Pranata Sosial lain yang dibangun oleh Khalifah Umar adalah pelaksanaan administrasi pemerintah di daerah dengan menerapkan sistem desentralisasi. Yaitu pemlimpahan wewenang dan otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Wilayah kekuasaan Negara Madinah yang luas di bagi ke dalam delapan propinsi, yaitu Madinah, Mekkah, Syria, Jazirah, Bashrah , Kufah, Mesir, dan Palestina. Untuk setiap propinsi Umar mengangkat seorang gubernur yang disebut wali atau amir yang berkedudukan sebagai pembantu atau wakil Khalifah di daerah. Tugas- tugas penting seorang gubernur selain sebagai kepala pemerintahan daerah, juga sebagai pemimpin agama, memelihara keamanan dan ketertiban daerah, memimpin ekspedisi militer dan mengawasi pelaksanaan pemunguntan pajak. Setiap gubernur dalam menjalankan tugasnya didampingi pembantu-pembantu, yaitu sekretaris, pejabat pajak, pejabat kepolisian, pejabat keuangan, dan hakim. Akan tetapi, pada saat itu hanya beberapa propinsi yang memiliki pejabat hakim, yaitu Syarih bin al-Haris di Kufah, Abu Musa al-Asy’ary di Basrah, Qaid bin Abi al-Ash di Mesir, Abi al-Darda’ di Madinah. Dengan demikian untuk beberapa propinsi Khalifah Umar telah memisahkan jabatan peradilan dari jabatan eksekutif. Hakim diberikan wewenag sepenuhnya untuk melaksanakan peradilan yang bebas, dan bebas dari pengaruh dan pengawasan gubernur bahkan Khalifah sekalipun.
Sehubungan dengan itu, Umar membuat beberapa diktum peraturan yang berkaitan dengan peradilan, yaitu hakim harus berlaku adil dalam memutus perkara siapapun, bebas dari rasa takut dan tidak memihak siapapun, memperlakukan semua orang sama dihadapan hukum, si penggugat harus menunjukkan bukti yang akurat, si tertuduh harus disumpah jika menyangkal, penyelesaian perselisihan secara damai boleh selama tidak bertentangan dengan hukum, keputusan yang telah mempunyai kepastian hukum tidak boleh diubah bila kemudian terbukti salah, keputusan harus berdasarkan al-Quran dan Sunnah, analogi atas kasus-kasus sejenis yang telah diputuskan hukumnya atas dasar ijtihad, jika tidak ada bukti maka perkara gugur, setiap muslim dapat dihadirkan menjadi saksi kecuali yang pernah dihukum atau pernah memberikan kesaksian palsu.
Para hakim pada masa Umar bin Khattab merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sesuatu di dalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin, apakah di antara mereka terdapat seorang yang mengetahui sesuatu dalam Sunnah mengenai perkara-perkara yang dihadapi. Jika tidak didapatkan suatu ketetapan dengan jalan tersebut, maka mereka berijtihad secara kolektif jikadalam  topic permasalahan terdapat dasar-dasar yang bersifat universal, dan berijtihad secara individu dalam masalah-masalah sektoral yang khusus menyangkut individu.
Untuk lebih dijelasnya berikut ini dipaparkan beberapa contoh terkait dengan kasus peradilan yang terjadi pada masa Umar bin Khattab, sebagaimana dikutip dari beberapa referensi:
1.      Masalah nasab
Seorang anak mengaku di depan Umar bahwa seorang wanita adalah ibunya. Maka, wanita tersebut datang dengan beberapa orang yang bersaksi bahwa dia belum menikah dan anak tersebut telah berbohong. Umar pun memerintahkan untuk menghukum anak itu dengan had qadaf (tuduhan zina). Lali, hal tersebut terdengar oleh Ali, maka dia mengintervensi perkara ini dan menawarkan kepada  anak tersebut agar menikahi wanita yang diakui sebagai ibunya. Wanita itu pun berteriak “ Allah, Allah, itu neraka, Demi Allah, dia adalah anakku”. Kemudian dia mengakui bahwa keluarganya telah menikahinya dengan seseorang tanpa kerelaannya, lalu ia mengandung anak ini darinya, dan suaminya pergi berperang lalu terbunuh. Kemudian dia mengirimkan anaknya kepada kaum yang bersedia merawatnya, dan dia tidak mengakuinya sebagai anak. Maka, Ali menetapkan bahwa nasab anak tersebut dengan wanita yang ditunjuknya”.[16]
2.      Masalah makar perempuan
Seorang perempuan sangat tertarik kepada seorang pemuda, maka dia menuangkan zat putih di bajunya dan di antara dua pahanya. Lalu perempuan itu mengadu kepada Umar bin Khattab dengan mengatakan bahwa pemuda tersebut telah memperkosanya seraya mengisyaratkan bekas-bekas yang dibuatnya. Pemuda itu pun menolak dakwaan tersebut, dan Umar mengalihkan perkara ini kepada Imam Ali, Ali memrintahkan untuk mengambil air panas lalu dituangkan pada baju, dan mengeraslah zat putih tersebut. Sehingga tampak jelas kebenaran sebab kecerdasan Ali dan kecermatan pandangannya. Demikianlah bentuk penyelesaian kimiawi. Akhirnya, Imam Ali bertanya kepada wanita itu dan dia mengakui rekayasanya dan tuduhannya di tolak”.[17]
D.      Peradilan Pada Masa Usman bin Affan
Pemerintahan Utsman bin Affan berlangsung dari tahun 644-656 M. ketika dipilih, Utsman telah berusia 70 tahun. Di masa pemerintahanya perluasan daerah islam diteruskan ke Barat sampai ke Maroko, ke Timur menuju India, dan ke Utara bergerak menuju Konstantinopel.
Usman bin Affan adalah orang pertama yang mengkhususkan kantor untuk peradilan, sedangkan peradilan pada masa dua khalifah sebelumnya dilaksanakan di masjid. Peradilan pada masa Usman sama seperti peradilan di masa dua sahabat sesudahnya. Usman mengutus petugas-petugas sebagai penghambil pajak dan penjaga batas-batas wilayah untuk menyeruh amar ma’ruf nahi mungkar, dan terhadap masyarakat yang bukan muslim (ahli dzimmah) berlaku kasih sayang dan lebah lembut serta berlaku adil terhadap mereka. Ustman memberi hukuman cambuk terhadap orang yang biasa minum arak, dan pengancam setiap orang yang berbuat bid’ah dikeluarkan dari kota Madinah, dengan demikian keadaan masyarakat selalu dalam kebenaran.[18]
Ustman bin Affan tidak mengangkat hakim di Madinah hingga dia meninggal dunia karena terbunuh. Usman pernah menawarkan jabatan peradilan kepada Abdullah bin Umar, namun ditolak meskipun Usman medesak, dan Abdullah bin Umar berkata kepadanya, “ Apakah kamu tidak mendengar Rasulullah bersabda, “ Barangsiapa yang memohon perlindungan kepada Allah, maka lindungilah dia, dan saya berlindung kepada Allah jika saya menjabat dalam peradilan.”[19]
 Salah satu kasus yang langsung diselesaikan oleh ustman, yaitu Ali bin Abi Thalib pada masa Umar telah membangun pematang untuk menutup aliran air antara tanahnya dan tanah Thalhah bib Abdillah, lalu keduanya mengadukan perkara tersebut kepada Utsman bin Affan, maka Ustman pergi bersama kedua belah pihak ke tempat pematang hingga dia melihatnya. Kemudia dia berkata:”Saya melihat tidak ada bahaya yang disebabkan pematang ini, dab dia juga sudah ada sejak masa Umar. Sebab jika pematang ini sebagai kezaliman niscaya Umar tidak akan membiarkannya”. Tindakan yang dilakukan oleh Ustman ini serupa pada masa kita ini dengan pembuktian materi yang dilakukan oleh hakim dengan melihat langsung tempat kejadian perkara.[20] 
E.       Peradilan Pada Masa Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib memerintah dari tahun 656-662 M. sejak kecil ia dididik dan diasuh oleh Nabi Muhammad Saw. Ali seringkali di tunjuk oleh Nabi menggantikan beliau menyelesaikan masalah-masalah penting. Semasa pemerintahannya Ali tidak banyak dapat berbuat untuk mengembangkan hokum islam, karena keadaan Negara tidak stabil. Disana-sini terdapat timbul bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat islam.[21] 
Nabi Muhammad telah bersaksi bahwa peradilan sebagaimana yang diputuskan Ali atau umatku yang baik peradilannya adalah Ali, atau yang baik peradilannya diantara kamu adalah Ali.[22]
Ali menetapkan hukum diantara manusia selama di Madinah. Ketika keluar ke Basrah dia mengangkat Abdullah bi Abbas sebagai gantinya di Madinah, dan mengangkat Abu Aswad al-Du’ali dalam masalah pemerintahan di Bashrah dan sekaligus dalam peradilan. Namun kemudian, dia dipecat setelah beberapa waktu karena banyaknya dia berbicara. Sebab pembicaranya melebihi pembicaraan dua pihak yang berseteru (penggugat dan tergugat). Ali mengangkat al-Nakha’I sebagai Gubernur di Ustur. Ali berpesan agar al-Nakha’I bertakwa kepada Allah Swt, agar hatinya diliputi rasa kasih saying dan kecintaan kepada rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih penasehat-penasehat. Ali juga menjelaskan tentang siasat pemerintahan. Ia berkata (memesan) tentang khusus urusan qadhi:”di antara rakyatmu yang engkau pandang mampu yang tidak disibukkan tentang urusan-urusan lain dan anjurkanlah agar mereka bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang sebenarnya.[23]
Berikut sebagian contoh kasus yang terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Seorang pemuda mengaku di depan imam Ali bahwa bapaknya pergi bersama beberapa orang dalam bepergian. Ketika pulang, mereka mendalihkan bahwa bapaknya telah meninggal dan tidak meninggalkan harta apapun, Maka. Amir al-Mukminin memerintahkan dua polisi untuk masing-masing tertuduh dengan cermat tentang kapan kepergian mereka, dan bagaimana didapatkan hartanya. Juga tentang bagaimana dia dimakamkan, dimana tempat-tempatnya, dan pertanyaan yang mendetail seperti itu. Namunternyata jawaban masing-masing itu berbeda dengan yang lain. Dia memerintahkan untuk menahan mereka, dan masing-masing mengira bahwa kawannya telah mengaku. Ketika itulah mereka mengakui masalah yang sebenarnya. Akhirnya, Imam Ali menetapkan denda kepada mereka dan hukuman mati dengan qishash. Peristiwa ini menetapkan tentang bolehnya memisahkan para terdakwa untuk mencermati permasalahan yang sebenarnya, dan bahwa pengakuan yang muncul akibat tersebut dinilai benar dan tidak ada unsur paksaan.
Contoh lain, kasus peradilan yang terjadi pada masa Ali peristiwa baju besi. Ali pernah di ajukan ke pengadilan atas tuntutan seorang Yahudi yang menuntut baju besi Khalifah. Si penuntut membawa beberapa saksi untuk memperkuat tuntutannya. Pengadilan yang dipimpin oleh qadhi Madinah bertanya kepada Khalifah Ali apakah ia ingin menyampaikan sesuatu untuk membela diri. Ali menjawab “Tidak”. Setelah mendengarkan kedua pihak, kadhi memutuskan orang Yahudi sebagai pihak yang menang dalam perkara. Karena itu Ali harus menyerahkan baju besi kepada orang Yahudi. Tetapi Yahudi terkejut dengan keputusan hakim yang tidak memihak itu. Rupanya, ia menggugat untuk menguji kebesaran Khalifah yang tahan uji. Lalu si Yahudi, mengikuti hati nuraninya, mengembalikan baju besi itu kepada khalifah sambil mengakui bahwa ia menjualnya kepada Ali. Peristiwa ini mengambarkan bahwa terdapat prinsip persamaan semua lapisan sosial dan etnik di depan hukum, dan peradilan bebas diteruskan oleh Ali sebagaimana pada masa-masa Rasulullah.[24]
Pada masa khalifah al-rasyidin ini terkenal seorang qadhi yang amat bijaksana yang bernama Syuraih, yang mana Syuraih menjabat sebagai hakim di tengah kaum muslimin sekitar enam puluh tahun berturut-turut tanpa putus. 





[1] Taufiqurrahman, Sejarah Politik Umat Islam, (Jakarta: Pustaka Islamika, 2003),h.60
[2] Wahyudin, Yahya dan Ahmad Jelani, Sejarah Islam, (Malaysia: Fajar Bakti, 1995), h.125.
[3]Aroisi, Abdurrahman, Islam Sejarah dan Perkembangan, (Jakarta: CV. Samudra, 1987),h.166.
[4] K. Hitti, Philip, Hostory of Arabic, ( Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002),h. 218.
[5] J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994),h.102-106.
[6] D.B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Juriprudence, dan Constitusional, (New York, 1903),h.13. Dikutip dari Pulungan, J. Suyuti, Fiqh Siyasah….., Ibid., h. 106.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid. h. 110
[10] Alaidin Kotto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 60.
[11] Muhammad Sallam Madzkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Imron AM., (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), cet IV, h. 41.
[12] Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 297.
[13] Athiyyah Mushthofâ Musyrafah, al-Qadlâ’ fî al-`Islâm (t.t.: Syarikat al-Syarq al-Ausath, 1966),h. 93.
[14] T.M Hasbie ash-Shiddiqy, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 20.
[15][15] Jaid Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2003), Cet III.
[16] Samir Aliyah, Op.,Cit.
[17] Ibid..
[18] Alaidin Kotto.,Op.Cit.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah., Op.Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar