Sabtu, 28 April 2012

Kedudukan Hukum Islam Dalam Hukum Nasional


A. Wacana Pembaharuan Hukum Islam
            Kata “ pembaruan” menyiratkan makna “perubahan”. Menyangkut hukum Islam, adanya “perubahan” ini dapat dipastikan dari adanya perbedaan di dunia Islam. Sitem-sistem hukum di dunia Islam sekarang, menurut Anderson, secara garis besar bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, sistem yang masih mengakui syari’ah sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih menerapkan secara utuh, sepeti Arab Saudi. Kedua, sistem yang meninggalkan syari’ah dan mengantikannya dengan hukum sekuler. Ketiga, sistem yang mengkrompomikan kedua sistem di atas.[1] Indonesia termasuk model ketiga ini. Penyebabnya adalah karena di Indinedisia dianut berbagai agama.
            Terkait dengan perubahan hukum Sayeed Khalid Nasr menyatakan, hukum Tuhan bersifat permanen, tetapi prinsip dan tujuan hukum tersebut dapat diaplikasikan pada situasi dan kondisi baru. Pengaplikasian prinsip dan tujuan hukum Islam di Indonesia di dasari oleh Masyarkat, yang menjadi tempat berlakunya hukum, selalu berubah. Padahal, hukum hanya bisa berjalan baik jika sesuai dengan kesadarn hukum masyarakat yang dibentuk oleh lingkungan dan kebudayaan setempat. Misalnya, perbedaan fatwa imam Syafi’I ketika masih berada di irak (qaul qadim) dengan fatwanya setelah berada di Mesir (qaul jadid) karena perbedaan linkungan dan adat-istiadat dengan Mesir.[2]
            Praktek perubahan hukum dalam Islam juga pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab, yaitu dalam surat beliau yang ditujukan kepada Abu Musa al-Asy’ari. Adapun isi surat tersebut antara lain adalah sebagai berikut[3]:
Janganlah kamu sekali-kali merasa terhalangi oleh keputusan yang kamu tetapkan hari ini, kamu dapat merevisi keputusan yang telah kamu ambil, apabila kamu mendapat petunjuk (baru) yang dapat membawamu kepada kebenaran. Karena, sesungguhnya kebenaran itu harus didahulukan, dan ia tidak dapat dibatalkan oleh apapun, sebab kembali kepada kebenaran itu adalah lebih baik daripada terjatuh terus-menerus bergemilang dalam kebatilan (kesesatan).
            Dalam komentarnya terhadap isi surat tersebut Ibnu Qayyim meyatakan bahwa maksudnya adalah: ijtihad yang pernah dilakukan untuk menetapkan hukum suatu kasus tidak menghalangi dilakukannya ijtihad kembali untuk kasus yang sama.[4]
            Pernyataan Ibnu Qayyim tersebut didukung oleh ulama Muslim terkemuka sesudahnya. Muhammad Abduh, salah satu tokoh pembaharu Islam terkemuka menyatakan,”pemikiran Islam akan menjadi salah manakala dipisahkan dari kehidupan kedisinian dan kekinian” karena masalah orang di zaman klasik berbeda dengan masalah yang muncul di zaman modern. Abduh menolak bahwa ajaran Islam yang ditetapkan oleh ulama terdahulu berlaku abadi. Menurut Abduh, umat Islam kontemporer harus memformulasikan hukum dan ajaran agama sesuai dengan tuntutan masa dan linkungannya, dengan tetap didasarkan pada syari’at.
            Di Indonesia, gagasan pembaharuan hukum Islam didukung, baik oleh kalangan tradisionalis (“trademark” NU) maupun moderenis (“trademark” Muhammadiyah) meskipun dalam wujud dan tekanan yang tidak sama. Dikalangan NU, gagasan pembaruan Islam sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia mengejawantahkan, misalnya, dalam gagasan pribumisasi Islam yang dikemukakan oleh Gus Dur. Di kalangan Muhammadiyah, gagasan serupa dikemukakan oleh Hazairin[5].
            Berkaitan dengan pembaharuan ini, menurut Rifyal Ka’bah masalah dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, masalah yang murni agama. Kedua, masalah yang sebenarnya bukan agama, melainkan memerlukan hubungan agama dan dalam masalah ini berlaku sabda Nabi,” Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu”.[6]
            Sasaran perjuangan kaum pembaru berisi ganda yakni: ke dalam, menyuntikan semangat baru bagi umat Islam dengan memahami agama yang di interpretasikan sesuai dengan tantangan-tantangan dan kebutuhan masa kini, dan ke luar, berusaha memberikan jawaban Islalm terhadap serangan kritikan dari Barat. Pembaruan disebut juga tajdid. [7]
            Menurut Amin Rais, sekurang-kurangnya ada tiga strategi kebangkitan Islam. Pertama, strategi moderinisme, yaitu meniru Barat dan mengikuti jalan yang ditempuh oleh modernisasi Barat. Kelemahanya, nilai-nilai Islam cepat atau lambat akan tinggal menjadi bayang-bayang belaka, disubordinasikan di bawah nilai-nilai asing. Islam akan mejadi sekedar legitimasi bagi program pembangunan yang sesungguhnya sangat sekularistik. Kedua, strategi tradisionalisme, yang bersikap konservatif dan isolatif dan berusaha mengawetkan warisan Islam seperti karya fikih dan menganggapnya sebagai prestasi puncak yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Strategi ini akan mandul menghadapi  hegemoni peradaban dan budaya Barat yang justru seharusnya diterobos. Ketiga, strategi tajdidisme, yang merupakan strategi terbaik, yaitu memelihara nilai-nilai dan warisan Islam sekaligus menghadapi dominasi atau hegemoni budaya dan peradaban Barat, melakukan penafsiran yang positif dan kreatif terhadap ajaran Islam menurut konteks perubahan zaman yang multidimensional.[8]
            Dalam upaya pengaplikasian tajdidisme Islam, menurut Nououzzaman Shidiqi, ada empat hal yang harus dilakukan, yaitu:
1)      Menyusun kembali kitab-kitab fikih lama dalam bentuk da sistematika yang sesuai dengan kemajuan zaman.
2)      Menyusun kitab fiqhal-hadist yang memuat fikih di segala bidang.
3)      Membahas masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan dan perkembangan masyarakat, dan
4)      Melakukan kajian perbandingan antara fikih dan hukum positif.[9]
Dalam ilmu fikih, ada metode perbandingan (fiqh al-muqaran), yang oleh Habsi didefinisikan:
Suatu ilmu yang menerangkan hukum syara’ dengan mengemukakan pendapat yang berbeda terhadap suatu masalah dan dalil-dalil dari masing-masing pendapat itu, kaidah-kaidah yang dipergunakan serta membanding  yang satu dengan yang lain, kemudian mengambil mana yang lebih dekat kepada kebenaran dan di samping itu membandingkannya dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Metode ini berguna untuk mengetahui pendapat-pendapat yang disepakati dan yang diperselisihkan, sebab-sebab timbulnya perselisihan dengan mengetahui metode yang digunakan , serta mengetahui  sumber pengambilan hukum. Kajian perbanigan hukum diperlukan untuk melacak hukum yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini dilakukan, antara lain oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad Abduh.[10] Menurut Najib Mahfudz, sebagimana dikutip John J. Donohue dan John L. Espito, keinginan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum Islam harus dilakukan dengan cara:
1)      Melakukan penafsiran secara menyeluruh tentang bagaimana ajaran-ajaran ini seharusnya dipahami pada saat sekarang.
2)      Menampilkan penafsiran yang tepat yang membantu kita untuk memahami secara sempurna kenyataan dalam kehidupan kita; dan
3)      Menyatakan rasa hormat yang tulus kepada asas-asas yang merupakan tali pengikat dari organisasi-organisasi politik kita, yaitu asas-asas yang telah jelas tentang pemecahan masalah sosial, perdamaian sosial, dan juga kesatuan sosial.
B. Persinggungan dan Persaingan (Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Barat)
            Di Indonesia ada bermacam-macam hukum. Salah satunya adalah hukum Islam. Menurut M.A. Japsan, pada tahun 1960-an, di Indonesia ada tiga atau empat aliran utama teori hukum: adat, Islam, positif (Barat) dan “ sosialis Indonesia”. Membangun hukum nasional, dengan demikian, bukan pekerjaan mudah. Dalam ungkapan M.A. Japson, filasafat sinkretis tentang hukum yang didasarkan pada keanekaragaman tradisi dan ideologi yang sudah disesuaikan tidak mudah diciptakan.[11]
Interkasi antara bermacam-macam hukum itu mengakibatkan adanya persinggungan dan persaingan satu sama lain. Hukum Islam pada dasarnya bersifat terbuka terhadap unsur-unsur dari luar. Islam sendiri sebagaimana dikutip oleh Khalil Abdul Karim, mengakomodasi banyak warisan pra-Islam, baik dalam ritus peradaban, ketentuan hukum, maupun politik.[12]
Menurut Hasyim Muzadi, kaidah al-‘adat al-Muhakkamah (adat-istiadat berkekuatan hukum) memberi peluang besar pada tradisi apa pun untuk dikonversi menjadi bagian dari hukum Islam. Ungkapan “ memelihara tradisi lama yang baik, dan menagambil hal baru yang lebih baik” juga menunjukkan keterbukaan hukum Islam. Menurut Nurcholish Madjid, ungkapan tersebut ada kaitanya dengan perumpamaan “ kalimat yang baik laksana pohon yang baik, akarnya teguh ke bumi dan cabangnya (menjulang) ke langit”. Dalam firman Allah
öNs9r& ts? y#øx. z>uŽŸÑ ª!$# WxsWtB ZpyJÎ=x. Zpt6ÍhŠsÛ ;otyft±x. Bpt7ÍhsÛ $ygè=ô¹r& ×MÎ/$rO $ygããösùur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇËÍÈ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”.
Akarnya teguh ke bumi adalah “ memelihara tradisi lama yang baik” dan cabanngya yang menjulang ke langit adalah “ mengambil hal-hal baru yang lebih baik” . Maksudnya, di samping harus berpegang teguh pada agama, kita pun harus mengembangkan tradisi intelektual yang otentik dan intensif.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan kompleksitas permasalahan, kesadaran hukum masyarakat juga mengalami perkembangan. Salah satu wujudnya adalah: bisa terjadi pengaruh-mempengaruhi antar satu aliran atau mazhab hukum Islam. Sebagai contoh, konsep “ kesetaraan” dalam perkawinan dilahirkan oleh kesadaran kelas pada masyarakat kuffah yang beragam. Konsep tersebut tidak dikenal di masyarakat Madinah pertama yang tidak merasakan perbedaan kelas, tetapi dalam perkembangannya konsep tersebut diikuti oleh madzhab Maliki. Lebih dari itu hukum Islam bersikap terbuka terhadap unsur-unsur dari luar, baik berupa unsur asing (Barat) maupun adat-istiadat setempat, selama tidak bertentangan dengan Syariat. Dengan begitu, kaum Muslimin tidak harus mengesampingkan aspek positif kebudayaan Barat. Hal itu dibuktikan oleh, corak hukum Islam kontemporer yang banyak menyerap konsep yang berasal dari Barat. [13]
Antara Islam dan adat-istiadat setempat saling mempengaruhi. Salah satu bukti pengaruh Islam di Indonesia adalah pengalihan sistem penanggalan tahun Saka yang berdasarkan solar sistem, kepada lunar sistem (penanggalan Hijriah) yang dilakukan oleh Sultan Agung. Pengaruh Islam terhadap adat ditentukan oleh tingkat pembaurannya dengan kebudayaan dan sejarah daerah yang bersangkutan, di mana antar satu derah dengan lainya tidak sama. Demikian sebaliknya, adat juga memilik pengaruh terhadap hukum Islam. Coulson menyebut pengaruh tersebut sebagai “ penggabungan antara hukum syaria’ah dan hukum adat”. Pengaruh ini tergambar dalam kaidah-kaidah al-adat al-muhakkamah . Namun, harus diingat bahw adat ada yang dianggap shahih (sah, benar) dan ada kalanya fasid (rusak, tidak berlaku). Adat yang mempunyai kekuatan hukum hanya yang tidak berlawanan dengan syari’at.[14]
Di Indonesia, hukum adat menghargai hukum Islam. Adat menempatkan hukum Islam di atas hukum adat itu sendiri, seperti tampak dalam ungkapan Minangkabau: “Syara’ disunggi, adat dipangku”. Di aceh, Minangkabau, Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung ada kepercayaan bahwa adat mereka dapat dijalankan dengan aman kalau dilindungi oleh-dan tidak bertentangan dengan agama Islam. Menurut Seminar Hukum Adat di Yogyakarta pada tahun 1975, pengertian hukum adat adalah:
Hukum Asli Indonesia yang tidak tertulis/ tertuang di dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia dan di sana sini mengandung unsur agama”.
Persaingan dan bahkan konflik antara hukum Islam dan hukum adat serta antara hukum Islam dan hukum Barat, salah satu penyebabnya adalah campur tangan penjajah, yang untuk melihat kesinambungan kenyataan dan pemikiran yang berkembang tentangnya, pembahasan ini harus juga memperhatikan dan tidak boleh mengabaikan kebijakan sejak masa penjajahan. Dalam hal ini, penjajah Belanda dan Jepang sama-sama mengeksploitasi Islam untuk mereka. Akan tetapi, Belanda hanya menyisakan ruang yang sangat kecil bagi kegiatan politik Islam. Sedangkan Jepang membuka pintu bagi umat Islam untuk berpengalaman dan turut serta dalam politik dan latihan militer. Hukum Islam yang akan dibahas di sini hanya pada masa penjajahan Belanda karena Belanda menjajah Indonesia dalam waktu lama dan banyak mengeluarkan peraturan menyangkut hukum Islam, sementara penjajah Jepang cukup singkat dan lebih banyak disibukkan oelh persoalan politik dan militer mereka sendiri. [15]


C.  Teori-teori dan Periodeisasi Penerimaan Hukum Islam di Indonesia
1. Teori-teori Penerimaan Hukum Islam di Indonesia
a.       Teori Receptie (Resepsi)
Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) kemudian dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Haar. Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum Adat. Hukum Islam berlaku kalau norma Hukum Islam telah diterima oleh masyarakat sebagai Hukum Adat.[16]
Teori Receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran islam dan Hukum Islam, tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Oleh karena itu ia memberi nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mengurus Islam di Indonesia dengan berusaha menarik rakyat pribumi agar lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda. Digariskan berbagai kebijaksanaan sebagai berikut:
1)      Dalam kegiatan agama dalam arti sebenarnya (agama dalm arti sempit), pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang-orang Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya.
2)      Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat-istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku dengan membuka jaln yang dapat menuntut taraf hidup rakyat jajahan kepada suatu kemajuan yang tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia Belanda dengan memberikan bantuan kepada mereka yang menempuh jalan ini.
3)      Di bidang ketatanegaraan mencegah tujuan yang dapat membawa atau menghubungkan gerakan Pan Islamisme yang mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan menghadapi pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat bangsa Timur.[17]
Eksistensi teori Receptie ini kemudian dikokohkan melalui pasal 134 I.S. yang menyatakan bahwa bagi orang pribumi kalau hukum mereka menghendaki, diberlakukan Hukum Islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat Hukum Adat. Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda selanjutnya adalah berusaha melumpuhkan dan menghambat pelaksanaan Hukum Islam dengan cara sebagai berikut:
1)      Sama sekali tidak memasukkan masalah hudud dan qishash dalam bidang Hukum Pidana. Hukum Pidana yang diberlakukan diambil langsung dari Wetboek van Strafrecht dari Nederland yang diberlakukan sejak Januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732).
2)      Di bidang tata Negara, ajaran Islam yang mengenai hal tersebut dihancurkan sama sekali. Pengajian ayat-ayat suci Al- Qur’an yang memberikan pelajaran agama dan penguraian hadits dalam bidang politik tentang kenegaraan atau ketatanegaraan dilarang.
3)      Mempersempit berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Khusus untuk hukum kewarisan Islam diusahakan tidak berlaku. Sehubungan dengan hal itu diambil langkah-langkah:
a)      Menanggalkan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, serta Kalimantan Selatan untuk mengadili perkara waris.
b)      Memberi wewenang memeriksa perkara waris kepada Landraad.
c)      Memberi penyelesaian dengan Hukum Islam jika di tempat adanya perkara tidak diketahui bagaimana bunyi Hukum Adat.[18]
Sebagai tindak lanjut dari Islam Policy tersebut, sejak tahun 1922 mulai dirumuskan reorganisasi badan-badan peradilan yang telah ada dengan terlebih dahulu mengubah pasal-pasal I.S pada tahun 1922 dibentuk sebuah komisi peremajaan kekuasaan peradilan agama yang diketahui Ter Haar, yang menghasilkan Staatsblad 1937 No. 116, 610, 638, dan 639. Dalam Staatsblad tersebut peradilan agama dikurangi wewenangnya dalam menyelesaikan perkara waris. Berdasarkan Staatsblad tersebut sejak 1 April 1937 secara yuridis formal Pengadilan Agama dilarang memutuskan perkara waris, dan kewenangannya dialihkan menjadi kewenangan Landraad.
Menurut Alfian, teori Receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa kalau orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat denagan kebudayaan Eropa maka penjajahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul goncangan-goncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.[19] Oleh karena itu pemerintah Belanda harus mendekati golkongan-golongan yang akan menghidupkan Hukum Adat, memberikan dorongan-dorongan kepada mereka untuk mendekatkan golongan Hukum Adat kepada pemerintah Hindia Belanda.
b.      Teori Receptie In Complexu
Teori ini digagas oleh Salomon Keyzer yang belakangan dikiatkan oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1854-1927). Maksud teori ini, hukum mengikat agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam, hokum Islamlah yang berlaku baginya. Dengan kata lain teori ini menyebut bagi rakyat pribumi yang beraku bagi mereka adalah hokum agamanya. Namun penting untuk dicatat, hokum Islam yang berlaku tetap saja dalam masalah hokum keluarga, perkawinan dan warisan.[20]
Jadi teori ini bagi orang Islam sebab mereka telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.[21]
Teori ini diangkat dari kenyataan yang menunjukkan bahwa sebelum VOC berkuasa di Indonesia bnyak kerajaan-kerajaan tersebut diterapkan norma-norma Hukum Islam. Kerajaan-kerajaan yang memberlakukan Hukum Islam antara lain kerajaan Samudra Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Cirebon, Banten, Ternate, Kesultanan Buton, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, Surakarta, dan Palembang. Di Wilayah kerajaan tersebut diberlakukan Hukum Islam dan ada lembaga peradilan agama.
Menurut Hukum Islam, pengamalan Hukum dan adanya peradilan agama merupakan kewajiban yang bersifat fardhu kifayah; artinya merupakan tugas kewajiban bersama. Jadi apabila ada yang melaksanakan, maka kewajiban social telah dipeuhi dan orang muslim secara individual tidak berkewajiban melakukannya. Di kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan tersebut dibentuk badan-badan peradilan dengan menerapkan hukum acara peradilan Islam. Hukum kewarisan dan hukum perkawinan telah mejadi hukum yang hidup dan menjadi budaya hukum Indonesia. Badan peradilan agama telah secara tetap dan mantap menyelesaikan perkara-perkara perkawinan dan warisan orang Islam.
Teori Receptio in Complexu ini muncul sebagai rumusan dari keadaan hukum yang ada dan bersumber dari prinsip hukum Islam bahwa bagi orang Islam berlaku Hukum Islam. Van de Berg meng-konsepkan Staatsblad 1882 Nomor 152 yang berisi ketentuan bahwa bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum agamanya yang berada didalam lingkungan hidupnya. Jadi yang berlaku untuk rakyat jajahan yang beragam islam di Indonesia adalah Hukum Islam. Karena yang berlaku ketentuan hukum Islam atau Norma Hukum Islam maka badan peradilan agama yang pada waktu pemerintahan Hindia Belanda datang ke Indonesia sudah ada dilanjutkan dan diakui kewenangan hukumnya. Berdasarkan teori ReceptioinCmplexu ini mak hukum yang berlaku bagi suatu kasus adalah hukum agama yang berada di Negara tersebut.
Peraturan perundangan yang terkait pada masa itu antara lain Reglement ophet Beleidder Regeeringvan NederlandschIndie (RR) Staatsblad 1885 No. 2, yang dalmn kaitannya dengan Hukum Islam diatur melalui Pasl 75 dan Pasl 78. Pasal 75 ayat (3) menentukan: “Oleh hakim Indonesia hendaklah diberlakukan undang-undang agama (godsdientigewetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia. “Pasal 75 ayat (4 menentukan Undang-undang Agama, intelling, dan kebiasaan itu jugalah yang dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa untuk pengadilan yang lebih tinggi andaikata terjadi hoge beroep atau permintaan banding. Pasal 78 ayat (2) menentukan bahwa: “dalam hal terjadi perkara perdata di antara sesame orang Indonesia atau dengan mereka yang dipersamakan maka mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.[22]       
c.       Teori Receptie Exit
Teori ini dikemukakan oleh Hazairin, yang berpendirian bahwa setelah Indonesia merdeka, setelah proklamasi, dan setelah UUD 1945 dijadiakn UUD Negara, maka walaupun Aturan Peralihan menyatakan hukum yang lama masih berlaku lagi, karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie harus exit karena bertentangan dengan Al Qur’an dan Al Sunnah Rasul. Ia berpendirian, bahwa kemerdekaan Indonesia mempunyai arti besar terhadap berlakunya ajaran hukum yang harus ditaati di Indonesia. Bahakan Hazairin menyebut bahwa teori Receptie adalah teori Iblis.[23]
Setelah proklamasi, UUD 1945 dinyatakan berlaku yang didalamnya ada semangat merdeka di bidang hukum. Adanya Aturan Peradilan dimaksudkan guna menghindari kevakuman hukum, oleh karena itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan keinginan-keinginan hukum yang ada, selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Hazairin masih banyak aturan pemerintah Hinda Belanda yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar terutama yang merupakan produk dari teori Receptie.[24]
Hazairin melandasi pemikirannya itu dengan menggunakan pembukaan UUD 1945, alenia III, yang menyatakan: “atas berkata rahmad Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan untuk hidup bebas maka dengan ini bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan.” Pada alenia IV UUD 1945. Menyatakan: “Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada ayat (2) menyatakan bahwa Negara menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaan itu. Menurut Hazairin, pasal 29 ayat (1) mempunyai fungsi besar dalam tata hukum Indonesia, karena dalam kehidupan bernegara Indonesia tidak boleh ada aturan hukum yang bertentangan dengan ajaran atau aturan Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Hazairin, memperlakukan atau melanjutkan teori Receptie bertentangan dengan niat membentuk Negara Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, dan juga bertentangan BAB XI UUD 1945. Memahami Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 haruslah dengan jiwa besar, jiwa merdeka dari penjajahan Belanda di bidang hukum.[25] Berdasarkan teori Hazairin ini dapat dinyatakan:
1)      Teori Receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata Negara Indonesia sejak tahun 1945 dengan kemerdekaan Bangsa Indonesia dan mulai berlakunya UUD 1945 dan dasar Negara Indonesia. Demikian pula keadaan ini setelah adanya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945.
2)      Sesuai dengan pasal 29 ayat (1) UUD 1945, Negara Republik Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional Indonesia yang bahannya adalah hukum agama.
3)      Hukum agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia itu bukan hanya Huykum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain tersebut. Hukum agama di bidang Hukum Perdata dan Hukum Pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia. Itulah Hukum baru Indonesia dengan dasar Pancasila.[26]
c.      Teori  Receptio a Cotrario
Teori ini dikembangkan oleh seorang pengajar utama di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yaitu H. Sayuti Thalib. Ia menulis dalam bukunya  Receptio a Contrario:”Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam”.[27]H. Sayuti Thalib dalam bukunya diatas mengungkapkan Hukum Islam dari segi politik hukum, terkait juga denga politik hukum penjajah belanda selama di Indonesia hingga melahirkan teori ”Receptio in Complexu” dan juga teori “Receptie”; perubahan dan perkembangan hukum Islam dalam prakti; sekaligus juga membahas teori Receptio a Contrario yang juga merupakan sebagai pemikirannya. Lahirnya teori ini dilatari oleh hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat itu, dengan mengmukakan sebagai berikut:
1)      Bagi orang Islam berlaku hulum Islam
2)      Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita huku, cita-cita batin dan cita-cita moralnya.
3)      Hukum adat berlaku bagi orang Islam Jika tidak bertentangan dengan agama  Islam dan huku Islam.
Teori ini disebut dengan teori “Receptio a Contrario” karena substansinya memuat teori kebalikan (Contra)  dari teori Receptio. Sayuti Thalib berpendirian bahwa di negara Indonesia hukumnya berdasarkan pada Pancasila dan UUD1945, semestinya orang yang beragama menaati hukum agamanya. Sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, berisi dan berisi maksud dan tujuan tersebut. Disamping itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bersama Fakultas Hukum UI, IAIN, Antasari Banjarmasin, dan lporan penelitian Direktorat Pembinaan Administrasi Ditjen Pembinaan Badan dan Peradilan Departemen Kehakiman, menghasilkan gambaran bahwa cita-cita moral, cita-cita batin dan kesadaran hukum untuk berhukum dengan hukum nasional Indonesia harus tidak bertentangan dengan cita-cita hukum Islam sehingga akan berkembang keinginan batin bagi orang-orang Islam menaati hukum Islam.[28]
Pembuktian yang dilakukan oleh Sayuti Thalib dan badan-badan penelitian agama menemukan, bahwa di dalam masyarakat Islam Indonesia ada cita-cita moral atau keinginan untuk berhukum dengan hukum agamanya. Di antaranya penelitian dengan hukum waris di DKI Jawa, yaitu perbandingan perkara-perkara waris yang masuk ke pengadilan negeri dan pengadilan agama, ternyata keinginan orang Islam untuk berhukum dengan dengan hukum Islam dipengadilan agama lebih besar daripada keinginan orang Islam berhukum dengan adat dipengadilan negeri, perbandingannya: 1034 berbanding 47.[29]
Penelitian-penelitian terhadap masyarakat Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Sumbawa Besar dab Buton (Sulawesi Tenggara) terdeskripsikan bahwa dalam masyarakat tersebut telah ada kaidah-kaidah hukum yang merupakan pedoman dari masyarakat untuk mencari garis-garis hukum yang menyangkut hubungan antara hukum adat dan Islam. Misalnya, di Sumatera Barat ada semboyan dan pedoman yang menyatakan “adat basandi syarak, syarak basandi pada kitabullah”. Dari pedoman itu maka tergambarlah bahwa adat Sumatera Barat berdasarkan Al-Qur an, tidak ada dalam idenya adat yang bertentangan dengan Al-Qur an. Jika ada norma adat atau kebiasaan bertentangan dengan syarak atau Al-Qur an, maka norma adat itu tidak dibenarkan.[30]
Sayuti Thalib dalam menemukan dan mengemukakan rumusan teori receptio a contrario mendasarkan pada kaidah-kaidah sebagai berikut:
1)      Pada perinsipnya dalam kaitan dengan perintah Tuhan dan rosu-Nya, kalau diformulasikan, perintah itu berarti wajib.
2)      Larangan pada dasarnya adalah ketidak bolehanuntuk dikerjakan (haram).
3)      Adat kebiasaan (Urf) dapat dijadikan hukumselama tidak bertentangan dengan hukum Islam (Al-‘Adah Muhakkamah).[31]
Hampir dari sama antara teori resepsi kontra dengan resepsi exit  yang dikemukakan oleh Hazairin. Namun, sebenarnya terdapat perbedaan antara arah berpikir Hazairin dan Thalib dalam mengemukakan teori pemberlakuan hukum Islam ini. Pangkal tolak antara teori resepsi exit dan teori resepsi kontra juga berbeda. Jika Prof. Hazairin menyebutkan teori resepsi exit, pangkal tolak pemikirannya adalah bahwa sejak kemerdekaan bangsa Indonesia dan berlakunya UUD 1945, maka teori resepsi dianggap tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan, landasan berpikir Sayuti Thalib mengemukakan teori respsi kontra didasarkan pada pemikiran bahwa dinegara republik Indonesia yang merdeka, sesuai dengan cita-cita batin, cita-cita moral,  dan kesadaran hukum kemerdekaan, berarti ada keleluasaan untuk mengamalkan ajaran agama dan hukum agama. Hal tersebut dibuktikan dengan kegiatan-kegiatan penelitian yang menghasilkan suatu prinsip bahwa bagi orang Islam kalau hukum adat itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam.
d.      Teori Eksistensi
Teori Eksisitensi ini dikemkakan oleh seorang dosen pengajar mata kuliah kapita selekta Hukum Islam dan Sejarah Hukum Islamdi Fakultas Pascaserjana di Universitas Indonesia (UI), yaitu H,Ichtijanto S.A..[32] Ia berpendapat, bahwa teori eksistensi dalam keterkaitannya dengan hukum Isalam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam di dalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan bentuk eksistensinya hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional, bunyi dari teori ini adalah sebagai berikut :
1)      Hukum Islam merupakan integral dari hukum nasional Indonesia.
2)      Keberadaaan, kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta serta diberi status sebagai hukum nasional.
3)      Norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia.
4)      Sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Menurut Ichtijanto, perjuangan dalam memformulasikan hukum dan perundang-undangan Indonesia yang telah dipengaruhi oleh ajaran islam tentang teori-teori penataan hukum, diantaranya teori penerimaan otoritas hukum, teori resepsi komplek, teori resepsi exit, teori resepsi kontra, merupakan suatu bukti bahwa hukum tertulis Indonesia banyak dipengaruhi dan mengambil ajaran hukum Islam. Oleh karenanya, hukum islam itu ada (exist) didalam hukum nasional Indonesia. Hal ini diperkuat dengan berdirinya Departement Agama pada tanggal 13 Januari 1946. Kenyataan ini mendorong ditemukannya teori hubungan antara hukum Islam dan hukum nasional. Sehingga hukum Islam yang hidup di Indonesia bisa menjadi sumber bagi hukum positif untuk perkembangan dan kemajuan hukum nasional pada masa mendatang.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenaan dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hibah, baitul-mal, hari-hari raya besar islam, dan do’a pada hari-hari raya nasional selalu ditaati dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional, maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum islam telah exist dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.
Kenyataan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia ini menggambarkan bahwa setelah Indonesia merdeka, kemudian didorong oleh kesadaran hukum akibat ketertindasan selama masa penjajahan dan selama masa revolusi, maka diperjuangkan perwujudan hukum Islam itu agar exist dalam tata hukum nasional. Eksistensi hukum islam dalam tata hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga telah ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam hukum nasional. Untuk memperkuat teori pemikirannya ini, Ichtijanto merujuk beberapa hukum tertulis berupa peraturan dan perundang-undangan yang mengandung unsur-unsur Islam.
Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum Islam ada didalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti undang-undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syariah. Demikian juga, dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui secara ritual kenegaraan dan keagamaan, seperti doa dalam kenegaraan, isra mikraj, nuzulul quran, maulid Nabi Muhammad saw, dan acara adat lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Praktik-praktik seperti inilah yang disebut oleh Ichtijanto sebagai teori eksistensi.[33]
e.       Teori Nomokrasi
Dalam konteks hukum tata negara, Istilah Nomokrasi (nomocracy: Inggris) berasal dari bahasa latin „nomos‟ yang berarti norma dan „cratos‟ yang berarti kekuasaan, yang jika digabungkan berarti faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum[34],  karena itu istilah ini sangat erat dengan gagasan kedaulatan hukum sebagai kekuasaa tertinggi[35].
Jika istilah ini dikaitkan dengan Islam sebagai suatu komunitas baik agama maupun negara, maka makna yang muncul adalah kedaulatan hukum Islam sebagai penguasa tertinggi, atau yang lebih dikenal dengan supremasi Syari‟ah. Islam padahakekatnyamemilikikebajikan-kebajikandankualitas-kualitas yang dapat memenuhi aspirasi-aspirasi spiritual dan material manusia.Islam memberikan sebuah hukum yang komprehensif untuk membimbing ummat manusia  hukum ini pada saat ini masih memberikan bimbingan kepada lebih dari 600 juta penduduk dunia.
Perbedaan konsep spiritual dan keduniawian sebagaimana dikenal dalam agama Kristen tidak terdapat dalam Islam. Islam tidak menghendaki adanya penginstitusian agama sebagai otoritas mutlak sebagaimana institusi gereja dalam agama kristen. Islam tidak menghendaki berlakunya dua macam hukum di dalam masyarakat. Islam hanya memiliki satu hukum, yaitu hukum Syari‟ah yang serba mencakup, membimbing, dan mengontrol seluruh kehidupan orang-orang yang beriman. Kepala negara dalam islam merupakan pemimpin agama dan politik sehingga pertentangan di antara kekuatan agama dan kekuatan politik tidak mungkin terjadi, demikian idealnya, namun dalam prakteknya kekuatan politik kadang-kadang terpisah dan menyimpang dari kekuatan agama walaupun tidak pernah menentang atau menghapuskan Syari‟ah. Adalah suatu kenyataan bahwa di luar masalah-masalah konstitusional, hukum Syari‟ah hampir merupakan kekuatan tertinggi di negara-negara Islam di sepanjang sejarah.[36]
Terpecah-pecahnya dunia Islam secara geografis adalah sebuah kenyataan; setiap bagian telah menjadi sebuah entitas politik yang berdiri sendiri.Teori klasik mengenai kekhalifahan yang universal tidak dapat menerima dan menghilangkan kenyataan ini dan supremasi Syari‟ah pun mengalami babak baru, zaman modern.
2. Periodesasi Penerimaan Hukum Islam di Indonesia
Apabila disimak sejarah hukum sejak zaman Hindia Belanda hingga zaman kemerdekaan, dapat dibuat periodesasi sebagai berikut[37]:
a.       Zaman Hindia Belanda
1)      Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya
Periode ini ditandai dengan munculnya teori receptive in compelxu, yaitu periode berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam karena mereka memeluk agama Islam. Apa yang telah berlaku sejak adanya kerajaan Islam di Nusantara hingga zaman VOC, hukum keluarga Islam-khususnya hukum perkawinan dan waris-tetap diakui belanda. Bahkan VOC mengakuinya dalam bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760 yang kemudian oleh belanda diberi dasar hukum dalam Regering Reglemen (RR) tahun 1885.
2)      Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat
Periode ini ditandai dengan munculnya toeri receptie. Teori ini mengandung pengertian bahwa hukum Islam itu berlaku apabila diterima atau dikehendaki oleh hukum adat. Teori ini diberi dasar hukum dalam undang-undang dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti RR, yaitu Wet op de Staatsinrichtining van Nederlans Indie (IS). Oleh karena itu, tahun 1929 melalui IS yang diundangkan dalam Stbl. No. 212 hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Belanda ingin menguatkan kekuasaannya di bumi Nusantara ini serta berusaha menjauhkan hukum Islam dari masyarakat Islam dengan dasar teori tersebut.
b.      Zaman Kemerdekaan
1)      Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif
Sumber persuasif dalam hukum konstitusi adalah sumber hukum yang baru diterima orang apabila ia telah diyakini. Dalam konteks hukum Islam, Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil siding BPUPKI merupakan sumber persuasif bagi grondwert-interpretatie dari UUD 1945 selama empat belas tahun. (Sejak tanggal 22 Juni 1945 ketika ditandatangi gentlemen agreement antara pemimpin nasionalis islami dengan nasionalis ‘ sekuler’ sampai 5 Juli 1959-sebelum Dekrti Presiden RI diundangkan.
2)      Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoratif
Sumber autoratif dalam kontitusi adalah sumber hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum. Sebuah. Hukum Islam menjadi sumber persuasive dalam hukum tata negara ketika ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrti Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana dapat disimak dalam konsideran Dekrit tersebut berikut ini:
“Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tentanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945  dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam Konstitusi tersebut”.
Kata “menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat aturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Secara positif berarti bahwa pemeluk Islam diwajibkan menjalankan syaiat Islam. Oleh karena itu, harus dibuat undang-undang yang akan memberlakukan hukum Islam dalam hukum nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana Menteri Juanda tahun 1959 yang berbunyi “ Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadpaz Undang-Undang Dasar 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.
D. Sistem Hukum Nasional
            Sistem hukum nasional terbentuk dari dua istilah, sitem dan hukum nasional. Sistem diadaptasi dari bahasa Yunani systema yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian. Dalam bahasa inggris system mengandung arti susunan atau jaringan. Jadi, dengan kata lain istilah sistem itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.[38]
            Adapun hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun atas kreativitas atau aktivitas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu, hukum nasional sebenarnya tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang. Dengan kata lain, hukum nasional merupakan sistem hukum yang timbul sebagai sebuah usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkauan nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia.[39]
            Perlu dijelaskan di sini bahwa pengertian seperti itu tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah. Sebagaimana diketahui, setelah merdeka bangsa Indonesia belum memilki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri tetapi masih memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Kebdati memang, atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme peraturan perundang-undangan itu mengalami proses nasionalisasi, seperti penggantian nama: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi dari weetboek van Straafrechts, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dari burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dari weetboek van Koophandel, dan lain-lain. Selain penggantian nama, beberapa pasal yang tidak sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan religious turut pula diganti dan ditambahkan yang baru.[40]
            Atas dasar pertimbangan tidak boleh ada kekosongan hukum, Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa “ Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Ketentuan ini memberika legitimasi konstitusional bagi peraturan perundang-undangan warisan colonial untuk tetap berlaku. Namun, fenomena itu tentu saja tidak boleh berlaku selamanya karena ternyata visi dan misi yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan warisan kolonial itu banyak bertentangan dengan tradisi dan agama masyrakat.
            Bila merujuk penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sistem hukum nasional adalah sebuah sistem hukum (meliputi materiil dan formil; pokok dan sektoral)[41] yang dibangun berdasarkan ideology negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berlaku di seluruh Indonesia.[42]
            Dalam rangka membangun hukum nasional itu pemerintah menetapkan kebijakan untuk memanfaatkan tiga sistem hukum yang eksis (living law) di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, Islam dan Barat (Belanda) sebagai bahan bakunya.[43] Pada era kolonial ketiga sistem hukum itu kerap kali diperhadapkan sebagai sistem-sitem hukum yang saling bermusuhan. Kondisi konflik itu tidak terjadi secara alami, tetapi sengaja diciptakan oleh penjajah. Menurut Bustanul Arifin, kalau ada pertemuan antara dua atau lebih sistem nilai yang asing bagi suatu masyarakat, akan selalu selesai dengan wajar. Karena setiap masyarakat mempunyai daya serap dan daya penyesuaian terhadap konflik-konflik sistem niali tersebut. Namun, kalau konflik-konflik sistem nilai ditimbulkan dengan sengaja dan kadang-kadang secara artifisial sesuai denga kebutuhan politik colonial waktu itu, sullitlah menghapuskan konflik-konflik itu secara memuaskan.[44]
            Dari penjelasan di atas, terungkap bahwa kita belum memilki sistem hukum nasional yang representatife.  Namun, itu bukan berarti pula bahwa idealitas tentang “sistem hukum nasional yang dikehendaki” itu tidak turut didiskusikan. Tentang hal ini, sebenarnya tidak kurang pemerintah dan pihak kampus mengadakan ragam pertemuan ilmiah yang berskala local dan nasional guna merumuskannya atau bahkan para ahli hukum sendiri. Dalam hal ini, Arief Sidharta mengusulkan, tatanan hukum nasional Indonesia harus menganding ciri[45]:
1)      Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara;
2)      Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan;
3)      Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
4)      Bersifat nasional yang mencangkup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkhied), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
5)      Aturan procedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
6)      Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Senada usulan di atas adalah hasil seminar tentang hukum nasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, yang setelah dibukukan menjadi Identitas Hukum Nasional merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun haruslah[46]:
1)      Berlandaskan Pancasila (filosofis) dan UUD 1945 (konstitusional);
2)      Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan, dan mengamankan hasil-hasil pembangunan.
Selanjutnya menurut Mahfud M.D Pengakuan akan kedaulatan Tuhan disebut Religious Nations State. Secara konkrit Prof. Hazairin menafsirkan UUD/konstitusi pasal 29 ayat 1 berdasarkan teori Resepsi exit prof. Hazairin  Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 “ Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, itu  hanya terdapat enam penafsiran. Tiga diantaranya yaitu:
1)      Dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi Umat Islam;
2)      Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam;
3)      Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara, setiap pemeluknya wajib menjalankan sendiri.
E. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya  terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.
Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional kita. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya.[47] Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu sebagai perbenturan antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi,[48] seperti terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukurn Islam.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:[49]
a.       Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Otonomi Khusus nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b.      Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
c.       Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.
d.      Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya.
Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh Hukum Islam:
a.       Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun '1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
b.      Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006. tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah.
Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi tersebut. Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.
c.       Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasarn dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH]. Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik.
d.      Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
e.       Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3893).
f.       Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4134).
g.      Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
h.      Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang
mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
i.        Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at Islam.
j.         Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad  yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sejarah perbankan secara faktual telah mencatat bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1992 hingga Mei 2004 telah berkembang pesat perbankan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU No. 21 Tahun 2008) tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.  Akad-akad dimaksud antara lain adalah : wadi'ah, mudharabah, musyarakah, ijarah, ijarah muntahiya bit-tamlik, murabahah, salam, istishna'I, qardh, wakalah, atau akad lain yang sesuai dengan prinsip syariah.


























KESIMPULAN
            Pembaharuan (tajdidisme) hukum Islam adalah suatu yang mutlak dilakukan sebagaimana pernyataan Muhammad Abduh “pemikiran Islam akan menjadi salah manakala dipisahkan dari kehidupan kedisinian dan kekinian” karena masalah orang di zaman klasik berbeda dengan masalah yang muncul di zaman modern”. Adapun sasaran utama dari tajdidisme ini adalah ke dalam, menyuntikan semangat baru bagi umat Islam dengan memahami agama yang di interpretasikan sesuai dengan tantangan-tantangan dan kebutuhan masa kini, dan ke luar, berusaha memberikan jawaban Islalm terhadap serangan kritikan dari Barat. Dalam upaya pengaplikasian tajdidisme Islam, menurut Nououzzaman Shidiqi, ada empat hal yang harus dilakukan, yaitu:
5)      Menyusun kembali kitab-kitab fikih lama dalam bentuk dan sistematika yang sesuai dengan kemajuan zaman.
6)      Menyusun kitab fiqhal-hadist yang memuat fikih di segala bidang.
7)      Membahas masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan dan perkembangan masyarakat, dan
8)      Melakukan kajian perbandingan antara fikih dan hukum positif.
Selanjutnya dalam upaya pembaharuan hukum Islam di Indonesia, perlu diketahui bahwa di Indonesia ada tiga atau empat aliran utama teori hukum: adat, Islam, positif (Barat) dan “ sosialis Indonesia”. Membangun hukum nasional, dengan demikian, bukan pekerjaan mudah. Dalam ungkapan M.A. Japson, filasafat sinkretis tentang hukum yang didasarkan pada keanekaragaman tradisi dan ideologi yang sudah disesuaikan tidak mudah diciptakan. Persaingan dan bahkan konflik antara hukum Islam dan hukum adat serta antara hukum Islam dan hukum Barat, salah satu penyebabnya adalah campur tangan penjajah, yang untuk melihat kesinambungan kenyataan dan pemikiran yang berkembang tentangnya, pembahasan ini harus juga memperhatikan dan tidak boleh mengabaikan kebijakan sejak masa penjajahan.
Terkait dengan pemberlakuan hukum di Indonesia. Dalam hal ini terdapat bebarap teori antara lain:
1)      Toeri Receptie
2)      Teori Receptie in complexeu
3)      Teori Receptie exit
4)      Teori Eksistensi
5)      Teori Nomokrasi
Secara keseluruhan, pada dasarnya antar satu toeri dengan toeri lain adalah saling menguatkan, kecuali teori receptie  yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) yang bertujuan untuk  melemahkan orang-orang pribumi rakyat jajahan yang memegang kuat ajaran Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran islam dan Hukum Islam, tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Dan toeri receptie exit oleh Hazairin yang merupakan counter terhadap teori receptive tersebut.
Mengacu pada nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan berkembang sekarang dan aspek kesejarahan yang ada. disimpulkan bahwa sistem hukum nasional adalah sebuah sistem hukum (meliputi materiil dan formil; pokok dan sektoral) yang dibangun berdasarkan ideologi negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berlaku di seluruh Indonesia.
 Sebagimana usulan Arief Sidharta yang menyatakan bahwa tatanan hukum nasional Indonesia harus menganding ciri:
7)      Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara;
8)      Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan;
9)      Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
10)  Bersifat nasional yang mencangkup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkhied), rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
11)  Aturan procedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
12)  Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Untuk itulah, sebagai upaya pembaharuan hukum Islam di Indonesia hal-hal di atas haruslah menjadi pokok pertimbangan utama, setelah Al-Qur’an dan al-Hadist serta sumber hukum di bawahnya.
Berdasar pada penjelasan di atas, maka secara keseluruhan kesimpulan dari isi makalah ini penulis menyatakan bahwa dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukurn Islam.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu, dalam tingkat kedudukan sebagai hukum nasional, hukum Islam menduduki tingkatan pertama dalam tatanan hukum yang ada.






[1] J.N.D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern (Islamic Law in the Modern World), diterjemahkan oleh Machnun Husein,Cet I, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,1994,h.100-109.
[2] Jazuni,Legislasi Hukum Nasional di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2005.h.176-177.
[3] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam (I’lam al-Muwaqqin ‘an Rabb al-‘Alamin), diterjemahka oleh Asep Saefullah F.M dan Kamaluddin Sa’diyatulharamain, Cet I, Jakarta: Pustaka Azzam,2000.h.473.
[4] Al Jauziyah,op.cit.,h.105-106.
[5] Jazuni,Legislasi Hukum Islam,Op.Cit.,h.184-189.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Nourouzzaman Shiddiqi,Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Cet I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997.h.229.
[10] Ibid.,h.70-71.
[11] M.A. Japsan, “ Mencari Hukum Baru Sinkretisme Hukum di Indonesia yang Membingunkan” dalam Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut (ed.), Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, Cet I, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988,h.269.
[12] Khalil Abdul Karim, Syariah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan ( al-Judzur al-Takhiyah li asy-Syariah al-Islamiyah), diterjemahkan oleh Kamran As’ad, Cet I, Yogyakarta: LKiS, 2003,h.5-18.
[13] Jazuni,Op.Cit.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16]Ichtjanto, Op. cit., hal. 122.
[17]Abu Bakar Aceh, Islam Sumber Jihad dan Ijtihad, U.I.D., hal 23.
[18]Ichtijanto, S.A., S.H., Op. cit., hal. 125.
[19]Alfian, ed. 1977. Segi-segi Budaya Masyarakat Aceh, Jakarta: LP3ES, hal. 207-209.
[20]Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: studi kritis perkembangan hokum islam dari fiqih, UU No.1/1974 sampai KHI.(Jakarta: Kencana, 2006) hal. 10-11
[21]Ichtijanto, SA., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Eddi Rudiana Arief dkk, Hukum Islam di Indonesia, Remadja Rosdakarya, 1994, hal. 117.
[22]Sajuti Thalib, S.H., 1980. Receptio A Contrario, Bina Aksara, hal 17-18.
[23]Ichtijanto, SA, Op. cit., hal. 128.
[24]ibid
[25]Ibid., hal. 129.
[26]Ibid., hal. 131.
[27]H. Sayuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, Jakarta, PT Bina Aksara,  hal. 15
[28]Ibid, hal. 69
[29]Ibid, hal. 74.
[30]Ibid, hal.68.
[31]H.Ichtijanto S.A., Op. Cit, hal.135.
[32]H.Ichtijanto S.A., Op. Cit, hal.137.
[33]A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad. hal. 89.
[34]Bisa dibandingkan dengan asal kata demokrasi, „demos‟ yang artinya rakyat dan „cratos‟ yang berarti kekuasaan di tangan rakyat
[35]Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah ada sejak lama dikembangkan sejak zaman Yunani. Lihat Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004.           
[36]Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa menegakkan negara merupakan keharusan doctrinal dan praktis, dan sesuai dengan pandangan klasik dari al-Asy‟ari beserta tokoh-tokoh lainnya. Menurutnya Allah telah membuat manfaat-manfaat agama dan manfaat dunia tergantung kepada para pemimpin, tidak perduli apakah Negara tersebut merupakan salah satu asas agama atau bukan. Ia tidak tertarik dengan institusi imamah (teokratis); ia hanya menginginkan supremasi agama. Baginya bentuk dan struktur pemerintahan tidak penting atau paling-paling merupakan hal yang sekunder baginya, yang terpenting adalah pelaksanaan syari‟ah.Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, Pen: Anas Mahyuddin, Cet II, Pustaka, Bandung, 1995, Hlm.63-64.
[37] Ibid.
[38] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari,Dasar-Dasar Politik Hukum,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006.h.59.
[39] Ibid.
[40] M. A Japsan.,Op.Cit.,h.250-251.
[41] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari.,Op.Cit.,h.65.
[42] Ibid.
[43] Sunaryati Hartono, mantan Kepala BPBN, mengatakan bahwa sebenarnya bangsa Indonesia belum mempunyai hukum nasional, dan yang paling banyaknya baru hukum di Indonesia. John Ball, Guru Besar di Sidney University, menyebut keadaan hukum di Indonesia sebagai "The struggle for a national law." Lev mengatakan ada pertentangan-pertentang kepentingan antara golongan-golongan ideologi dalam hukum (Barat, Adat, dan Islam) sehingga hukum lama masih tetap juga dipakai dan belum ada konsensus untuk menggantinya. (Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 5 dan 11).
[44] Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), h.34.
[45] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari.,Op.Cit.
[46] Ibid.
[47] Untuk lebih lengkap baca Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal .9-22.
[48] Bustanul Arifin.,Op.Cit.,h.11-12.
[49] Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal. 17-18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar