PENDAHULUAN
Dalam literatur sejarah, dijelaskan bahwa Hukum Islam berkembang
sejalan dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam serta hubungan dengan
budaya dan umat lain. Perkembangan itu tampak sekali pada awal periode Empat
Khalifah pertama yang disebut al-khulafa al-Rasyidin (11-41 H). Pada
zaman ini wahyu telah terhenti sementara berabagai peristiwa hukum bermunculan
di sana-sini sehingga memerlukan penyelasian hukum. Mulailah usaha
menganalogikan hukum baru tersebut kepada peristiwa hukum baru tersebut kepada
peristiwa hukum yang secara tekstual dinyatakan kedudukan hukumnya, baik dalam
al-Qur’an maupun Sunnah, berdasarkan alasan hukum (‘illlatul hukm) yang
sama di antara keduanya. Penyelasian kasus hukum tersebut di kemudian hari
dikenal dengan metode qiyas.
Ketika kekhalifahan memasuki era
kemapanan yang ditopang oleh stabilitas di bidang politik, fiqh sangat
diperlukan. Fiqh yang diperlukan itu bukan semata-mata untuk mengatur ibadat,
melainkan juga meliputi bidang-bidang kehidupan lainya seperti hubungan
antarnegara, hukum ketatanegaraan dan adaministrasi pemerintah, hukum pidana,
dan peradilan. Terdorong oleh kebutuhan akan aturan hukum yang sesuai dengan
perkembagan masyarakat itulah mulai dilakukan kodifikasi hadis yang disusul
lahirnya ilmu-ilmu hadis dan ilmu-ilmu tafsir yang menjadi landasan utama bagi
tumbuhnya ilmu fiqh sehingga muncullah imam-imam madzhab besar. Itulah yang
menjadi sebab penggambaran Islam sebagai “ pengetahuan tentang semua hal, baik
yang bersifat manusiawi maupun ketuhanan”. Kedudukan hukum Islam menjadi amat
penting dan menentukan hidup serta tingkah laku para pemeluk agama Islam,
bahkan menjadi penentu utama pandangan hidupnya itu. Faktor-faktor lain,
seperti gerakan tasawuf, pada tingkat tertentu memang merupakan penentu
pula. Akan tetapi, gerakan ini baru mempunyai arti jika telah diberi legitimasi
oleh hukum Islam. Banyak sekali aspek kehidupan yang disaring, ditolak, dan
kemudian dihancurkan oleh hukum Islam dalam sejarahnya yang panjang. Hal ini
merupakakn bukti betapa pentingnya kedudukan hukum Islam sebagai pemberi
legitimasi dan dasar keabsahan setiap tindakan.
Betatapun pentingnya kedudukan dan
peran hukum Islam dalam sejarahnya, kini sebagaian besar merupakan proyeksi
teoritis dan pengkajian lebih bersifat “ pertahanan” dari kemusnahan.[1]
Bekas-bekas dan pengaruhnya memang tampak di sana-sini, namun terdapat proses
yang mengharuskan penilaian ulang serta pengkajian yang mendalam kembali agar
hukum Islam itu tidak kehilangan relevansinya dengan kehidupan yang terus
menerus berkembang. Munculnya imam-imam madzhab tidaklah dengan sendirinya
dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Islam. Bahkan karena tingkat
toleransi di antara madzhab itu sedemikian besar, hampir tidak ditemukan
kodifikasi hukum Islam yang seragam untuk semua negeri Islam.
Keadaaan seperti di atas lebih
memungkinkan variasi praktek hukum Islam di negeri-negeri Muslim, terutama
pasca-Perang Dunia II manakala Mustafa Kemal Attarturk “ menghapuskan”
institusi khilafah.[2]
Ketidaan institusi khilafah, sebagai
symbol polity umat Islam sedunia yang dibarengi dengan semangat
nasionalisme dan semangat kemerdekaan negeri-negeri Muslim yang melahirkan
negara-negara nasional, semakin medorong tumbuhnya hukum Islam yang sesuai
dengan aspek-aspek kultural dan struktural setiap negeri Muslim. Dengan
demikian, kajian hukum Islam yang paling relevan kiranya ialah kajian politik
di negeri-negeri Muslim.
Berangkat dari latar belakang
sebagaimana dijelaskan di atas, Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya
adalah Muslim. Kendatipun Indonesia merupakan negara nasional yang bersifat
majemuk, baik aspek keagamaan maupun budayanya. Akan tetapi, melihat
aspek-aspek sejarah, kultural dan struktural di negara Indonesia, dapat dikatakan
bahwa hukum Islam sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran ketatanegaraan
yang ada. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan penjelasan
terkait dengan “ kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional ” yakni
Indonesia.
[1]
Eddi Rudiana Arief,dkk.,Hukum Islam di Indoensia (Pemikiran dan Praktik),
Remaja Rosdakarya Of Iset: Bandung,Cet II,1994.h.vii.
[2]
Attarurk menghapuskan intitusi khilafah tersebut pada tahun 1924 dan menyatakan
berdirinya negara Republik Turki yang merupakan negara republic pertama di
dunia Islam.
A. Wacana
Pembaharuan Hukum Islam
Kata “ pembaruan” menyiratkan makna
“perubahan”. Menyangkut hukum Islam, adanya “perubahan” ini dapat dipastikan
dari adanya perbedaan di dunia Islam. Sitem-sistem hukum di dunia Islam
sekarang, menurut Anderson, secara garis besar bisa dibagi menjadi tiga. Pertama,
sistem yang masih mengakui syari’ah sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya
masih menerapkan secara utuh, sepeti Arab Saudi. Kedua, sistem yang
meninggalkan syari’ah dan mengantikannya dengan hukum sekuler. Ketiga,
sistem yang mengkrompomikan kedua sistem di atas.[1]
Indonesia termasuk model ketiga ini. Penyebabnya adalah karena di Indinedisia
dianut berbagai agama.
Terkait dengan perubahan hukum
Sayeed Khalid Nasr menyatakan, hukum Tuhan bersifat permanen, tetapi prinsip
dan tujuan hukum tersebut dapat diaplikasikan pada situasi dan kondisi baru.
Pengaplikasian prinsip dan tujuan hukum Islam di Indonesia di dasari oleh
Masyarkat, yang menjadi tempat berlakunya hukum, selalu berubah. Padahal, hukum
hanya bisa berjalan baik jika sesuai dengan kesadarn hukum masyarakat yang
dibentuk oleh lingkungan dan kebudayaan setempat. Misalnya, perbedaan fatwa
imam Syafi’I ketika masih berada di irak (qaul qadim) dengan fatwanya
setelah berada di Mesir (qaul jadid) karena perbedaan linkungan dan
adat-istiadat dengan Mesir.[2]
Praktek perubahan hukum dalam Islam
juga pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab, yaitu dalam surat
beliau yang ditujukan kepada Abu Musa al-Asy’ari. Adapun isi surat tersebut
antara lain adalah sebagai berikut[3]:
Janganlah kamu sekali-kali merasa terhalangi oleh keputusan yang
kamu tetapkan hari ini, kamu dapat merevisi keputusan yang telah kamu ambil,
apabila kamu mendapat petunjuk (baru) yang dapat membawamu kepada kebenaran.
Karena, sesungguhnya kebenaran itu harus didahulukan, dan ia tidak dapat
dibatalkan oleh apapun, sebab kembali kepada kebenaran itu adalah lebih baik
daripada terjatuh terus-menerus bergemilang dalam kebatilan (kesesatan).
Dalam komentarnya terhadap isi surat
tersebut Ibnu Qayyim meyatakan bahwa maksudnya adalah: ijtihad yang pernah
dilakukan untuk menetapkan hukum suatu kasus tidak menghalangi dilakukannya
ijtihad kembali untuk kasus yang sama.[4]
Pernyataan Ibnu Qayyim tersebut
didukung oleh ulama Muslim terkemuka sesudahnya. Muhammad Abduh, salah satu
tokoh pembaharu Islam terkemuka menyatakan,”pemikiran Islam akan menjadi salah
manakala dipisahkan dari kehidupan kedisinian dan kekinian” karena masalah
orang di zaman klasik berbeda dengan masalah yang muncul di zaman modern. Abduh
menolak bahwa ajaran Islam yang ditetapkan oleh ulama terdahulu berlaku abadi.
Menurut Abduh, umat Islam kontemporer harus memformulasikan hukum dan ajaran
agama sesuai dengan tuntutan masa dan linkungannya, dengan tetap didasarkan
pada syari’at.
Di Indonesia, gagasan pembaharuan
hukum Islam didukung, baik oleh kalangan tradisionalis (“trademark” NU) maupun
moderenis (“trademark” Muhammadiyah) meskipun dalam wujud dan tekanan yang
tidak sama. Dikalangan NU, gagasan pembaruan Islam sesuai dengan situasi dan
kondisi Indonesia mengejawantahkan, misalnya, dalam gagasan pribumisasi Islam
yang dikemukakan oleh Gus Dur. Di kalangan Muhammadiyah, gagasan serupa
dikemukakan oleh Hazairin[5].
Berkaitan dengan pembaharuan ini, menurut
Rifyal Ka’bah masalah dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, masalah yang
murni agama. Kedua, masalah yang sebenarnya bukan agama, melainkan memerlukan
hubungan agama dan dalam masalah ini berlaku sabda Nabi,” Kamu lebih mengetahui
tentang urusan duniamu”.[6]
Sasaran perjuangan kaum pembaru
berisi ganda yakni: ke dalam, menyuntikan semangat baru bagi umat Islam
dengan memahami agama yang di interpretasikan sesuai dengan tantangan-tantangan
dan kebutuhan masa kini, dan ke luar, berusaha memberikan jawaban Islalm
terhadap serangan kritikan dari Barat. Pembaruan disebut juga tajdid. [7]
Menurut Amin Rais,
sekurang-kurangnya ada tiga strategi kebangkitan Islam. Pertama,
strategi moderinisme, yaitu meniru Barat dan mengikuti jalan yang ditempuh oleh
modernisasi Barat. Kelemahanya, nilai-nilai Islam cepat atau lambat akan
tinggal menjadi bayang-bayang belaka, disubordinasikan di bawah nilai-nilai
asing. Islam akan mejadi sekedar legitimasi bagi program pembangunan yang
sesungguhnya sangat sekularistik. Kedua, strategi tradisionalisme, yang
bersikap konservatif dan isolatif dan berusaha mengawetkan warisan Islam
seperti karya fikih dan menganggapnya sebagai prestasi puncak yang tidak dapat
diganggu gugat lagi. Strategi ini akan mandul menghadapi hegemoni peradaban dan budaya Barat yang
justru seharusnya diterobos. Ketiga, strategi tajdidisme, yang merupakan
strategi terbaik, yaitu memelihara nilai-nilai dan warisan Islam sekaligus
menghadapi dominasi atau hegemoni budaya dan peradaban Barat, melakukan
penafsiran yang positif dan kreatif terhadap ajaran Islam menurut konteks
perubahan zaman yang multidimensional.[8]
Dalam upaya pengaplikasian
tajdidisme Islam, menurut Nououzzaman Shidiqi, ada empat hal yang harus
dilakukan, yaitu:
1)
Menyusun
kembali kitab-kitab fikih lama dalam bentuk da sistematika yang sesuai dengan
kemajuan zaman.
2)
Menyusun
kitab fiqhal-hadist yang memuat fikih di segala bidang.
3)
Membahas
masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan dan perkembangan
masyarakat, dan
4)
Melakukan
kajian perbandingan antara fikih dan hukum positif.[9]
Dalam ilmu fikih, ada metode perbandingan (fiqh al-muqaran),
yang oleh Habsi didefinisikan:
Suatu ilmu yang menerangkan hukum syara’ dengan mengemukakan
pendapat yang berbeda terhadap suatu masalah dan dalil-dalil dari masing-masing
pendapat itu, kaidah-kaidah yang dipergunakan serta membanding yang satu dengan yang lain, kemudian
mengambil mana yang lebih dekat kepada kebenaran dan di samping itu
membandingkannya dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Metode ini berguna untuk mengetahui pendapat-pendapat yang
disepakati dan yang diperselisihkan, sebab-sebab timbulnya perselisihan dengan
mengetahui metode yang digunakan , serta mengetahui sumber pengambilan hukum. Kajian perbanigan
hukum diperlukan untuk melacak hukum yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi
masyarakat. Hal ini dilakukan, antara lain oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad Abduh.[10]
Menurut Najib Mahfudz, sebagimana dikutip John J. Donohue dan John L. Espito,
keinginan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum Islam harus dilakukan
dengan cara:
1)
Melakukan
penafsiran secara menyeluruh tentang bagaimana ajaran-ajaran ini seharusnya
dipahami pada saat sekarang.
2)
Menampilkan
penafsiran yang tepat yang membantu kita untuk memahami secara sempurna
kenyataan dalam kehidupan kita; dan
3)
Menyatakan
rasa hormat yang tulus kepada asas-asas yang merupakan tali pengikat dari
organisasi-organisasi politik kita, yaitu asas-asas yang telah jelas tentang
pemecahan masalah sosial, perdamaian sosial, dan juga kesatuan sosial.
B. Persinggungan
dan Persaingan (Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Barat)
Di Indonesia ada bermacam-macam
hukum. Salah satunya adalah hukum Islam. Menurut M.A. Japsan, pada tahun
1960-an, di Indonesia ada tiga atau empat aliran utama teori hukum: adat,
Islam, positif (Barat) dan “ sosialis Indonesia”. Membangun hukum nasional,
dengan demikian, bukan pekerjaan mudah. Dalam ungkapan M.A. Japson, filasafat
sinkretis tentang hukum yang didasarkan pada keanekaragaman tradisi dan
ideologi yang sudah disesuaikan tidak mudah diciptakan.[11]
Interkasi antara bermacam-macam hukum itu mengakibatkan adanya
persinggungan dan persaingan satu sama lain. Hukum Islam pada dasarnya bersifat
terbuka terhadap unsur-unsur dari luar. Islam sendiri sebagaimana dikutip oleh
Khalil Abdul Karim, mengakomodasi banyak warisan pra-Islam, baik dalam ritus
peradaban, ketentuan hukum, maupun politik.[12]
Menurut Hasyim Muzadi, kaidah al-‘adat al-Muhakkamah (adat-istiadat
berkekuatan hukum) memberi peluang besar pada tradisi apa pun untuk dikonversi
menjadi bagian dari hukum Islam. Ungkapan “ memelihara tradisi lama yang baik,
dan menagambil hal baru yang lebih baik” juga menunjukkan keterbukaan hukum
Islam. Menurut Nurcholish Madjid, ungkapan tersebut ada kaitanya dengan
perumpamaan “ kalimat yang baik laksana pohon yang baik, akarnya teguh ke bumi
dan cabangnya (menjulang) ke langit”. Dalam firman Allah
öNs9r& ts? y#øx. z>uÑ ª!$# WxsWtB ZpyJÎ=x. Zpt6ÍhsÛ ;otyft±x. Bpt7ÍhsÛ $ygè=ô¹r& ×MÎ/$rO $ygããösùur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇËÍÈ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah
Telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”.
Akarnya teguh ke bumi adalah “ memelihara tradisi lama yang baik”
dan cabanngya yang menjulang ke langit adalah “ mengambil hal-hal baru yang
lebih baik” . Maksudnya, di samping harus berpegang teguh pada agama, kita pun
harus mengembangkan tradisi intelektual yang otentik dan intensif.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan kompleksitas permasalahan,
kesadaran hukum masyarakat juga mengalami perkembangan. Salah satu wujudnya
adalah: bisa terjadi pengaruh-mempengaruhi antar satu aliran atau mazhab hukum
Islam. Sebagai contoh, konsep “ kesetaraan” dalam perkawinan dilahirkan oleh
kesadaran kelas pada masyarakat kuffah yang beragam. Konsep tersebut tidak
dikenal di masyarakat Madinah pertama yang tidak merasakan perbedaan kelas,
tetapi dalam perkembangannya konsep tersebut diikuti oleh madzhab Maliki. Lebih
dari itu hukum Islam bersikap terbuka terhadap unsur-unsur dari luar, baik
berupa unsur asing (Barat) maupun adat-istiadat setempat, selama tidak
bertentangan dengan Syariat. Dengan begitu, kaum Muslimin tidak harus
mengesampingkan aspek positif kebudayaan Barat. Hal itu dibuktikan oleh, corak
hukum Islam kontemporer yang banyak menyerap konsep yang berasal dari Barat. [13]
Antara Islam dan adat-istiadat setempat saling mempengaruhi. Salah
satu bukti pengaruh Islam di Indonesia adalah pengalihan sistem penanggalan
tahun Saka yang berdasarkan solar sistem, kepada lunar sistem (penanggalan
Hijriah) yang dilakukan oleh Sultan Agung. Pengaruh Islam terhadap adat
ditentukan oleh tingkat pembaurannya dengan kebudayaan dan sejarah daerah yang
bersangkutan, di mana antar satu derah dengan lainya tidak sama. Demikian
sebaliknya, adat juga memilik pengaruh terhadap hukum Islam. Coulson menyebut
pengaruh tersebut sebagai “ penggabungan antara hukum syaria’ah dan hukum
adat”. Pengaruh ini tergambar dalam kaidah-kaidah al-adat al-muhakkamah .
Namun, harus diingat bahw adat ada yang dianggap shahih (sah, benar) dan
ada kalanya fasid (rusak, tidak berlaku). Adat yang mempunyai kekuatan
hukum hanya yang tidak berlawanan dengan syari’at.[14]
Di Indonesia, hukum adat menghargai hukum Islam. Adat menempatkan
hukum Islam di atas hukum adat itu sendiri, seperti tampak dalam ungkapan
Minangkabau: “Syara’ disunggi, adat dipangku”. Di aceh, Minangkabau, Riau,
Jambi, Palembang, Bengkulu, dan Lampung ada kepercayaan bahwa adat mereka dapat
dijalankan dengan aman kalau dilindungi oleh-dan tidak bertentangan dengan
agama Islam. Menurut Seminar Hukum Adat di Yogyakarta pada tahun 1975,
pengertian hukum adat adalah:
“Hukum
Asli Indonesia yang tidak tertulis/ tertuang di dalam bentuk perundang-undangan
Republik Indonesia dan di sana sini mengandung unsur agama”.
Persaingan dan bahkan konflik antara hukum Islam dan hukum adat
serta antara hukum Islam dan hukum Barat, salah satu penyebabnya adalah campur
tangan penjajah, yang untuk melihat kesinambungan kenyataan dan pemikiran yang
berkembang tentangnya, pembahasan ini harus juga memperhatikan dan tidak boleh
mengabaikan kebijakan sejak masa penjajahan. Dalam hal ini, penjajah Belanda
dan Jepang sama-sama mengeksploitasi Islam untuk mereka. Akan tetapi, Belanda
hanya menyisakan ruang yang sangat kecil bagi kegiatan politik Islam. Sedangkan
Jepang membuka pintu bagi umat Islam untuk berpengalaman dan turut serta dalam
politik dan latihan militer. Hukum Islam yang akan dibahas di sini hanya pada
masa penjajahan Belanda karena Belanda menjajah Indonesia dalam waktu lama dan
banyak mengeluarkan peraturan menyangkut hukum Islam, sementara penjajah Jepang
cukup singkat dan lebih banyak disibukkan oelh persoalan politik dan militer
mereka sendiri. [15]
C. Teori-teori dan Periodeisasi Penerimaan Hukum
Islam di Indonesia
1. Teori-teori
Penerimaan Hukum Islam di Indonesia
a.
Teori
Receptie (Resepsi)
Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936)
kemudian dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Haar. Teori Receptie
menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum Adat. Hukum
Islam berlaku kalau norma Hukum Islam telah diterima oleh masyarakat sebagai
Hukum Adat.[16]
Teori Receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar
orang-orang pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam,
sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran islam dan Hukum Islam,
tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Oleh karena itu ia memberi
nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mengurus Islam di Indonesia
dengan berusaha menarik rakyat pribumi agar lebih mendekat kepada kebudayaan
Eropa dan pemerintah Hindia Belanda. Digariskan berbagai kebijaksanaan sebagai
berikut:
1) Dalam kegiatan agama dalam arti sebenarnya (agama dalm arti sempit),
pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan
secara penuh tanpa syarat bagi orang-orang Islam untuk melaksanakan ajaran
agamanya.
2) Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia Belanda hendaknya
menghormati adat-istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku dengan membuka jaln
yang dapat menuntut taraf hidup rakyat jajahan kepada suatu kemajuan yang
tenang ke arah mendekati pemerintah Hindia Belanda dengan memberikan bantuan
kepada mereka yang menempuh jalan ini.
3) Di bidang ketatanegaraan mencegah tujuan yang dapat membawa atau
menghubungkan gerakan Pan Islamisme yang mempunyai tujuan untuk mencari
kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan menghadapi pemerintah Hindia Belanda
terhadap rakyat bangsa Timur.[17]
Eksistensi teori Receptie ini kemudian dikokohkan melalui pasal 134 I.S.
yang menyatakan bahwa bagi orang pribumi kalau hukum mereka menghendaki,
diberlakukan Hukum Islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat Hukum
Adat. Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda selanjutnya adalah berusaha
melumpuhkan dan menghambat pelaksanaan Hukum Islam dengan cara sebagai berikut:
1)
Sama
sekali tidak memasukkan masalah hudud dan qishash dalam bidang Hukum Pidana.
Hukum Pidana yang diberlakukan diambil langsung dari Wetboek van Strafrecht
dari Nederland yang diberlakukan sejak Januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732).
2)
Di
bidang tata Negara, ajaran Islam yang mengenai hal tersebut dihancurkan sama
sekali. Pengajian ayat-ayat suci Al- Qur’an yang memberikan pelajaran agama dan
penguraian hadits dalam bidang politik tentang kenegaraan atau ketatanegaraan
dilarang.
3)
Mempersempit
berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan.
Khusus untuk hukum kewarisan Islam diusahakan tidak berlaku. Sehubungan dengan
hal itu diambil langkah-langkah:
a)
Menanggalkan
wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, serta Kalimantan Selatan untuk
mengadili perkara waris.
b)
Memberi
wewenang memeriksa perkara waris kepada Landraad.
c)
Memberi
penyelesaian dengan Hukum Islam jika di tempat adanya perkara tidak diketahui
bagaimana bunyi Hukum Adat.[18]
Sebagai tindak lanjut dari Islam Policy tersebut, sejak tahun 1922
mulai dirumuskan reorganisasi badan-badan peradilan yang telah ada dengan
terlebih dahulu mengubah pasal-pasal I.S pada tahun 1922 dibentuk sebuah komisi
peremajaan kekuasaan peradilan agama yang diketahui Ter Haar, yang menghasilkan
Staatsblad 1937 No. 116, 610, 638, dan 639. Dalam Staatsblad tersebut peradilan
agama dikurangi wewenangnya dalam menyelesaikan perkara waris. Berdasarkan
Staatsblad tersebut sejak 1 April 1937 secara yuridis formal Pengadilan Agama
dilarang memutuskan perkara waris, dan kewenangannya dialihkan menjadi
kewenangan Landraad.
Menurut Alfian, teori Receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa
kalau orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat denagan
kebudayaan Eropa maka penjajahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan
tidak akan timbul goncangan-goncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia
Belanda.[19]
Oleh karena itu pemerintah Belanda harus mendekati golkongan-golongan yang akan
menghidupkan Hukum Adat, memberikan dorongan-dorongan kepada mereka untuk
mendekatkan golongan Hukum Adat kepada pemerintah Hindia Belanda.
b. Teori Receptie In Complexu
Teori ini digagas oleh Salomon Keyzer yang belakangan dikiatkan
oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1854-1927). Maksud teori ini,
hukum mengikat agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama Islam,
hokum Islamlah yang berlaku baginya. Dengan kata lain teori ini menyebut bagi
rakyat pribumi yang beraku bagi mereka adalah hokum agamanya. Namun penting
untuk dicatat, hokum Islam yang berlaku tetap saja dalam masalah hokum
keluarga, perkawinan dan warisan.[20]
Jadi teori ini bagi orang Islam sebab mereka telah memeluk agama
Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.[21]
Teori ini diangkat dari kenyataan yang menunjukkan bahwa sebelum
VOC berkuasa di Indonesia bnyak kerajaan-kerajaan tersebut diterapkan
norma-norma Hukum Islam. Kerajaan-kerajaan yang memberlakukan Hukum Islam
antara lain kerajaan Samudra Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram,
Cirebon, Banten, Ternate, Kesultanan Buton, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai,
Pontianak, Surakarta, dan Palembang. Di Wilayah kerajaan tersebut diberlakukan
Hukum Islam dan ada lembaga peradilan agama.
Menurut Hukum Islam, pengamalan Hukum dan adanya peradilan agama
merupakan kewajiban yang bersifat fardhu kifayah; artinya merupakan tugas
kewajiban bersama. Jadi apabila ada yang melaksanakan, maka kewajiban social
telah dipeuhi dan orang muslim secara individual tidak berkewajiban
melakukannya. Di kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan tersebut dibentuk
badan-badan peradilan dengan menerapkan hukum acara peradilan Islam. Hukum
kewarisan dan hukum perkawinan telah mejadi hukum yang hidup dan menjadi budaya
hukum Indonesia. Badan peradilan agama telah secara tetap dan mantap
menyelesaikan perkara-perkara perkawinan dan warisan orang Islam.
Teori Receptio in Complexu ini muncul sebagai rumusan dari keadaan
hukum yang ada dan bersumber dari prinsip hukum Islam bahwa bagi orang Islam
berlaku Hukum Islam. Van de Berg meng-konsepkan Staatsblad 1882 Nomor
152 yang berisi ketentuan bahwa bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku
hukum agamanya yang berada didalam lingkungan hidupnya. Jadi yang berlaku untuk
rakyat jajahan yang beragam islam di Indonesia adalah Hukum Islam. Karena yang
berlaku ketentuan hukum Islam atau Norma Hukum Islam maka badan peradilan agama
yang pada waktu pemerintahan Hindia Belanda datang ke Indonesia sudah ada
dilanjutkan dan diakui kewenangan hukumnya. Berdasarkan teori ReceptioinCmplexu
ini mak hukum yang berlaku bagi suatu kasus adalah hukum agama yang berada di
Negara tersebut.
Peraturan perundangan yang terkait pada masa itu antara lain Reglement
ophet Beleidder Regeeringvan NederlandschIndie (RR) Staatsblad 1885
No. 2, yang dalmn kaitannya dengan Hukum Islam diatur melalui Pasl 75 dan Pasl
78. Pasal 75 ayat (3) menentukan: “Oleh hakim Indonesia hendaklah diberlakukan
undang-undang agama (godsdientigewetten) dan kebiasaan penduduk
Indonesia. “Pasal 75 ayat (4 menentukan Undang-undang Agama, intelling, dan
kebiasaan itu jugalah yang dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa untuk
pengadilan yang lebih tinggi andaikata terjadi hoge beroep atau permintaan
banding. Pasal 78 ayat (2) menentukan bahwa: “dalam hal terjadi perkara perdata
di antara sesame orang Indonesia atau dengan mereka yang dipersamakan maka
mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut
undang-undang agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.[22]
c. Teori Receptie Exit
Teori ini dikemukakan oleh Hazairin, yang berpendirian bahwa setelah
Indonesia merdeka, setelah proklamasi, dan setelah UUD 1945 dijadiakn UUD
Negara, maka walaupun Aturan Peralihan menyatakan hukum yang lama masih berlaku
lagi, karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie harus exit karena bertentangan dengan Al Qur’an dan
Al Sunnah Rasul. Ia berpendirian, bahwa kemerdekaan Indonesia mempunyai arti
besar terhadap berlakunya ajaran hukum yang harus ditaati di Indonesia. Bahakan
Hazairin menyebut bahwa teori Receptie adalah teori Iblis.[23]
Setelah proklamasi, UUD 1945 dinyatakan berlaku yang didalamnya ada
semangat merdeka di bidang hukum. Adanya Aturan Peradilan dimaksudkan guna
menghindari kevakuman hukum, oleh karena itu masih diperlakukan
ketentuan-ketentuan hukum dan keinginan-keinginan hukum yang ada, selama
jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Hazairin masih banyak
aturan pemerintah Hinda Belanda yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar
terutama yang merupakan produk dari teori Receptie.[24]
Hazairin melandasi pemikirannya itu dengan menggunakan pembukaan
UUD 1945, alenia III, yang menyatakan: “atas berkata rahmad Allah Yang Maha
Kuasa dan didorong oleh keinginan untuk hidup bebas maka dengan ini bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaan.” Pada alenia IV UUD 1945. Menyatakan: “Negara
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada ayat (2) menyatakan bahwa Negara menjamin
kebebasan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaan itu.
Menurut Hazairin, pasal 29 ayat (1) mempunyai fungsi besar dalam tata hukum
Indonesia, karena dalam kehidupan bernegara Indonesia tidak boleh ada aturan
hukum yang bertentangan dengan ajaran atau aturan Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Hazairin, memperlakukan atau melanjutkan teori Receptie
bertentangan dengan niat membentuk Negara Republik Indonesia sebagaimana
tertuang dalam pembukaan UUD 1945, dan juga bertentangan BAB XI UUD 1945.
Memahami Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 haruslah dengan jiwa besar, jiwa
merdeka dari penjajahan Belanda di bidang hukum.[25]
Berdasarkan teori Hazairin ini dapat dinyatakan:
1)
Teori
Receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata Negara Indonesia sejak
tahun 1945 dengan kemerdekaan Bangsa Indonesia dan mulai berlakunya UUD 1945
dan dasar Negara Indonesia. Demikian pula keadaan ini setelah adanya Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945.
2)
Sesuai
dengan pasal 29 ayat (1) UUD 1945, Negara Republik Indonesia berkewajiban
membentuk hukum nasional Indonesia yang bahannya adalah hukum agama.
3)
Hukum
agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia itu bukan hanya Huykum
Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain tersebut.
Hukum agama di bidang Hukum Perdata dan Hukum Pidana diserap menjadi hukum
nasional Indonesia. Itulah Hukum baru Indonesia dengan dasar Pancasila.[26]
c.
Teori Receptio a Cotrario
Teori ini dikembangkan oleh seorang pengajar utama di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, yaitu H. Sayuti Thalib. Ia menulis dalam bukunya Receptio a Contrario:”Hubungan Hukum Adat
dengan Hukum Islam”.[27]H.
Sayuti Thalib dalam bukunya diatas mengungkapkan Hukum Islam dari segi politik
hukum, terkait juga denga politik hukum penjajah belanda selama di Indonesia
hingga melahirkan teori ”Receptio in Complexu” dan juga teori “Receptie”;
perubahan dan perkembangan hukum Islam dalam prakti; sekaligus juga membahas
teori Receptio a Contrario yang juga merupakan sebagai pemikirannya.
Lahirnya teori ini dilatari oleh hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan
kewarisan yang berlaku saat itu, dengan mengmukakan sebagai berikut:
1)
Bagi
orang Islam berlaku hulum Islam
2)
Hal
tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita huku, cita-cita batin dan
cita-cita moralnya.
3)
Hukum
adat berlaku bagi orang Islam Jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan huku Islam.
Teori ini disebut dengan teori “Receptio a Contrario” karena
substansinya memuat teori kebalikan (Contra)
dari teori Receptio. Sayuti Thalib berpendirian bahwa di negara
Indonesia hukumnya berdasarkan pada Pancasila dan UUD1945, semestinya orang
yang beragama menaati hukum agamanya. Sila pertama dari Pancasila, Ketuhanan
Yang Maha Esa, berisi dan berisi maksud dan tujuan tersebut. Disamping itu,
hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bersama
Fakultas Hukum UI, IAIN, Antasari Banjarmasin, dan lporan penelitian Direktorat
Pembinaan Administrasi Ditjen Pembinaan Badan dan Peradilan Departemen
Kehakiman, menghasilkan gambaran bahwa cita-cita moral, cita-cita batin dan
kesadaran hukum untuk berhukum dengan hukum nasional Indonesia harus tidak
bertentangan dengan cita-cita hukum Islam sehingga akan berkembang keinginan
batin bagi orang-orang Islam menaati hukum Islam.[28]
Pembuktian yang dilakukan oleh Sayuti Thalib dan badan-badan
penelitian agama menemukan, bahwa di dalam masyarakat Islam Indonesia ada
cita-cita moral atau keinginan untuk berhukum dengan hukum agamanya. Di
antaranya penelitian dengan hukum waris di DKI Jawa, yaitu perbandingan
perkara-perkara waris yang masuk ke pengadilan negeri dan pengadilan agama,
ternyata keinginan orang Islam untuk berhukum dengan dengan hukum Islam
dipengadilan agama lebih besar daripada keinginan orang Islam berhukum dengan
adat dipengadilan negeri, perbandingannya: 1034 berbanding 47.[29]
Penelitian-penelitian terhadap masyarakat Sumatera Barat, Aceh,
Kalimantan Selatan, Sumbawa Besar dab Buton (Sulawesi Tenggara) terdeskripsikan
bahwa dalam masyarakat tersebut telah ada kaidah-kaidah hukum yang merupakan pedoman
dari masyarakat untuk mencari garis-garis hukum yang menyangkut hubungan antara
hukum adat dan Islam. Misalnya, di Sumatera Barat ada semboyan dan pedoman yang
menyatakan “adat basandi syarak, syarak basandi pada kitabullah”. Dari
pedoman itu maka tergambarlah bahwa adat Sumatera Barat berdasarkan Al-Qur an,
tidak ada dalam idenya adat yang bertentangan dengan Al-Qur an. Jika ada norma
adat atau kebiasaan bertentangan dengan syarak atau Al-Qur an, maka norma adat
itu tidak dibenarkan.[30]
Sayuti Thalib dalam menemukan dan mengemukakan rumusan teori receptio
a contrario mendasarkan pada kaidah-kaidah sebagai berikut:
1)
Pada
perinsipnya dalam kaitan dengan perintah Tuhan dan rosu-Nya, kalau
diformulasikan, perintah itu berarti wajib.
2)
Larangan
pada dasarnya adalah ketidak bolehanuntuk dikerjakan (haram).
3)
Adat
kebiasaan (Urf) dapat dijadikan hukumselama tidak bertentangan dengan
hukum Islam (Al-‘Adah Muhakkamah).[31]
Hampir dari sama antara teori resepsi kontra dengan resepsi
exit yang dikemukakan oleh Hazairin.
Namun, sebenarnya terdapat perbedaan antara arah berpikir Hazairin dan Thalib
dalam mengemukakan teori pemberlakuan hukum Islam ini. Pangkal tolak antara
teori resepsi exit dan teori resepsi kontra juga berbeda. Jika Prof. Hazairin
menyebutkan teori resepsi exit, pangkal tolak pemikirannya adalah bahwa sejak
kemerdekaan bangsa Indonesia dan berlakunya UUD 1945, maka teori resepsi
dianggap tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan, landasan berpikir Sayuti Thalib mengemukakan teori respsi
kontra didasarkan pada pemikiran bahwa dinegara republik Indonesia yang
merdeka, sesuai dengan cita-cita batin, cita-cita moral, dan kesadaran hukum kemerdekaan, berarti ada
keleluasaan untuk mengamalkan ajaran agama dan hukum agama. Hal tersebut dibuktikan
dengan kegiatan-kegiatan penelitian yang menghasilkan suatu prinsip bahwa bagi
orang Islam kalau hukum adat itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum
Islam.
d. Teori Eksistensi
Teori Eksisitensi ini dikemkakan oleh seorang
dosen pengajar mata kuliah kapita selekta Hukum Islam dan Sejarah Hukum Islamdi
Fakultas Pascaserjana di Universitas Indonesia (UI), yaitu H,Ichtijanto S.A..[32] Ia
berpendapat, bahwa teori eksistensi dalam keterkaitannya dengan hukum Isalam
adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam di dalam hukum
nasional. Teori ini mengungkapkan bentuk eksistensinya hukum Islam sebagai
salah satu sumber hukum nasional, bunyi dari teori ini adalah sebagai berikut :
1)
Hukum
Islam merupakan integral dari hukum nasional Indonesia.
2)
Keberadaaan,
kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta serta
diberi status sebagai hukum nasional.
3)
Norma-norma
hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional
Indonesia.
4)
Sebagai
bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Menurut Ichtijanto, perjuangan dalam memformulasikan hukum dan
perundang-undangan Indonesia yang telah dipengaruhi oleh ajaran islam tentang
teori-teori penataan hukum, diantaranya teori penerimaan otoritas hukum, teori
resepsi komplek, teori resepsi exit, teori resepsi kontra, merupakan suatu
bukti bahwa hukum tertulis Indonesia banyak dipengaruhi dan mengambil ajaran
hukum Islam. Oleh karenanya, hukum islam itu ada (exist) didalam hukum nasional
Indonesia. Hal ini diperkuat dengan berdirinya Departement Agama pada tanggal
13 Januari 1946. Kenyataan ini mendorong ditemukannya teori hubungan antara
hukum Islam dan hukum nasional. Sehingga hukum Islam yang hidup di Indonesia
bisa menjadi sumber bagi hukum positif untuk perkembangan dan kemajuan hukum
nasional pada masa mendatang.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan
perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang yang
berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenaan
dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hibah, baitul-mal, hari-hari
raya besar islam, dan do’a pada hari-hari raya nasional selalu ditaati dalam
kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan yang sangat
sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional, maka dapat menjadi suatu
indikator bahwa hukum islam telah exist dan semestinya diakomodasi sebagai
sumber hukum nasional.
Kenyataan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia ini
menggambarkan bahwa setelah Indonesia merdeka, kemudian didorong oleh kesadaran
hukum akibat ketertindasan selama masa penjajahan dan selama masa revolusi,
maka diperjuangkan perwujudan hukum Islam itu agar exist dalam tata hukum
nasional. Eksistensi hukum islam dalam tata hukum nasional ini nampak melalui
berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Hukum Islam
tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga
telah ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam hukum nasional. Untuk
memperkuat teori pemikirannya ini, Ichtijanto merujuk beberapa hukum tertulis
berupa peraturan dan perundang-undangan yang mengandung unsur-unsur Islam.
Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum Islam ada
didalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum
Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara
tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti
undang-undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan
syariah. Demikian juga, dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis
itu ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui secara ritual
kenegaraan dan keagamaan, seperti doa dalam kenegaraan, isra mikraj, nuzulul
quran, maulid Nabi Muhammad saw, dan acara adat lainnya yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Praktik-praktik seperti inilah yang disebut oleh Ichtijanto
sebagai teori eksistensi.[33]
e. Teori Nomokrasi
Dalam konteks hukum tata negara, Istilah
Nomokrasi (nomocracy: Inggris) berasal dari bahasa latin „nomos‟ yang berarti norma
dan „cratos‟ yang berarti kekuasaan, yang jika digabungkan berarti faktor
penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum[34],
karena itu istilah ini sangat erat dengan gagasan kedaulatan hukum
sebagai kekuasaa tertinggi[35].
Jika istilah ini dikaitkan dengan Islam
sebagai suatu komunitas baik agama maupun negara, maka makna yang muncul adalah
kedaulatan hukum Islam sebagai penguasa tertinggi, atau yang lebih dikenal
dengan supremasi Syari‟ah. Islam padahakekatnyamemilikikebajikan-kebajikandankualitas-kualitas
yang dapat memenuhi aspirasi-aspirasi spiritual dan material manusia.Islam
memberikan sebuah hukum yang komprehensif untuk membimbing ummat manusia hukum ini pada saat ini masih memberikan
bimbingan kepada lebih dari 600 juta penduduk dunia.
Perbedaan konsep spiritual dan keduniawian sebagaimana dikenal
dalam agama Kristen tidak terdapat dalam Islam. Islam tidak menghendaki adanya
penginstitusian agama sebagai otoritas mutlak sebagaimana institusi gereja
dalam agama kristen. Islam tidak menghendaki berlakunya dua macam hukum di
dalam masyarakat. Islam hanya memiliki satu hukum, yaitu hukum Syari‟ah yang
serba mencakup, membimbing, dan mengontrol seluruh kehidupan orang-orang yang
beriman. Kepala negara dalam islam merupakan pemimpin agama dan politik
sehingga pertentangan di antara kekuatan agama dan kekuatan politik tidak
mungkin terjadi, demikian idealnya, namun dalam prakteknya kekuatan politik
kadang-kadang terpisah dan menyimpang dari kekuatan agama walaupun tidak pernah
menentang atau menghapuskan Syari‟ah. Adalah suatu kenyataan bahwa di luar
masalah-masalah konstitusional, hukum Syari‟ah hampir merupakan kekuatan
tertinggi di negara-negara Islam di sepanjang sejarah.[36]
Terpecah-pecahnya dunia Islam secara geografis
adalah sebuah kenyataan; setiap bagian telah menjadi sebuah entitas politik
yang berdiri sendiri.Teori klasik mengenai kekhalifahan yang universal tidak
dapat menerima dan menghilangkan kenyataan ini dan supremasi Syari‟ah pun
mengalami babak baru, zaman modern.
2.
Periodesasi Penerimaan Hukum Islam di Indonesia
Apabila disimak sejarah hukum sejak zaman Hindia Belanda hingga
zaman kemerdekaan, dapat dibuat periodesasi sebagai berikut[37]:
a.
Zaman
Hindia Belanda
1)
Periode
penerimaan hukum Islam sepenuhnya
Periode ini ditandai dengan munculnya teori receptive in
compelxu, yaitu periode berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam
karena mereka memeluk agama Islam. Apa yang telah berlaku sejak adanya kerajaan
Islam di Nusantara hingga zaman VOC, hukum keluarga Islam-khususnya hukum
perkawinan dan waris-tetap diakui belanda. Bahkan VOC mengakuinya dalam bentuk
peraturan Resolutie der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760 yang kemudian
oleh belanda diberi dasar hukum dalam Regering Reglemen (RR) tahun 1885.
2)
Periode
penerimaan hukum Islam oleh hukum adat
Periode ini ditandai dengan munculnya toeri receptie. Teori
ini mengandung pengertian bahwa hukum Islam itu berlaku apabila diterima atau
dikehendaki oleh hukum adat. Teori ini diberi dasar hukum dalam undang-undang
dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti RR, yaitu Wet op de
Staatsinrichtining van Nederlans Indie (IS). Oleh karena itu, tahun 1929
melalui IS yang diundangkan dalam Stbl. No. 212 hukum Islam dicabut dari
lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Belanda ingin menguatkan kekuasaannya di
bumi Nusantara ini serta berusaha menjauhkan hukum Islam dari masyarakat Islam
dengan dasar teori tersebut.
b.
Zaman
Kemerdekaan
1)
Periode
penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif
Sumber persuasif dalam hukum konstitusi adalah sumber hukum yang
baru diterima orang apabila ia telah diyakini. Dalam konteks hukum Islam,
Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil siding BPUPKI merupakan sumber
persuasif bagi grondwert-interpretatie dari UUD 1945 selama empat belas
tahun. (Sejak tanggal 22 Juni 1945 ketika ditandatangi gentlemen agreement antara
pemimpin nasionalis islami dengan nasionalis ‘ sekuler’ sampai 5 Juli
1959-sebelum Dekrti Presiden RI diundangkan.
2)
Periode
penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoratif
Sumber autoratif dalam kontitusi adalah sumber hukum yang telah
mempunyai kekuatan hukum. Sebuah. Hukum Islam menjadi sumber persuasive dalam
hukum tata negara ketika ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrti Presiden
tanggal 5 Juli 1959 sebagaimana dapat disimak dalam konsideran Dekrit tersebut
berikut ini:
“Bahwa
kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tentanggal 22 Juni 1945 menjiwai
Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam Konstitusi tersebut”.
Kata
“menjiwai” secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat aturan perundangan
dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Secara positif berarti bahwa pemeluk Islam diwajibkan menjalankan syaiat Islam.
Oleh karena itu, harus dibuat undang-undang yang akan memberlakukan hukum Islam
dalam hukum nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana Menteri
Juanda tahun 1959 yang berbunyi “ Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai
dokumen historis bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya
terhadpaz Undang-Undang Dasar 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD
1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang
keagamaan.
D. Sistem
Hukum Nasional
Sistem hukum nasional terbentuk dari
dua istilah, sitem dan hukum nasional. Sistem diadaptasi dari bahasa Yunani systema
yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian.
Dalam bahasa inggris system mengandung arti susunan atau jaringan. Jadi,
dengan kata lain istilah sistem itu mengandung arti sehimpunan bagian atau
komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu
keseluruhan.[38]
Adapun hukum nasional adalah hukum
atau peraturan perundang-undangan yang didasarkan kepada landasan ideologi dan
konstitusional negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 atau hukum yang dibangun
atas kreativitas atau aktivitas yang didasarkan atas cita rasa dan rekayasa
bangsa sendiri. Sehubungan dengan itu, hukum nasional sebenarnya tidak lain
adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa yang sudah
lama ada dan berkembang sekarang. Dengan kata lain, hukum nasional merupakan
sistem hukum yang timbul sebagai sebuah usaha budaya rakyat Indonesia yang berjangkauan
nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh rakyat sejauh batas-batas
nasional negara Indonesia.[39]
Perlu dijelaskan di sini bahwa
pengertian seperti itu tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah. Sebagaimana
diketahui, setelah merdeka bangsa Indonesia belum memilki hukum yang bersumber
dari tradisinya sendiri tetapi masih memanfaatkan peraturan perundang-undangan
peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Kebdati memang, atas dasar
pertimbangan politik dan nasionalisme peraturan perundang-undangan itu
mengalami proses nasionalisasi, seperti penggantian nama: Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi dari weetboek van Straafrechts,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dari burgerlijk Wetboek, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dari weetboek van Koophandel, dan lain-lain.
Selain penggantian nama, beberapa pasal yang tidak sesuai dengan kebutuhan
sebuah negara yang merdeka, berdaulat dan religious turut pula diganti dan
ditambahkan yang baru.[40]
Atas dasar pertimbangan tidak boleh
ada kekosongan hukum, Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa “
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Ketentuan ini memberika
legitimasi konstitusional bagi peraturan perundang-undangan warisan colonial
untuk tetap berlaku. Namun, fenomena itu tentu saja tidak boleh berlaku
selamanya karena ternyata visi dan misi yang terkandung dalam peraturan
perundang-undangan warisan kolonial itu banyak bertentangan dengan tradisi dan
agama masyrakat.
Bila merujuk penjelasan di atas,
kita dapat menarik kesimpulan bahwa sistem hukum nasional adalah sebuah sistem
hukum (meliputi materiil dan formil; pokok dan sektoral)[41]
yang dibangun berdasarkan ideology negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, serta berlaku di seluruh Indonesia.[42]
Dalam rangka membangun hukum
nasional itu pemerintah menetapkan kebijakan untuk memanfaatkan tiga sistem
hukum yang eksis (living law) di Indonesia, yaitu sistem hukum adat,
Islam dan Barat (Belanda) sebagai bahan bakunya.[43] Pada
era kolonial ketiga sistem hukum itu kerap kali diperhadapkan sebagai
sistem-sitem hukum yang saling bermusuhan. Kondisi konflik itu tidak terjadi
secara alami, tetapi sengaja diciptakan oleh penjajah. Menurut Bustanul Arifin,
kalau ada pertemuan antara dua atau lebih sistem nilai yang asing bagi suatu
masyarakat, akan selalu selesai dengan wajar. Karena setiap masyarakat
mempunyai daya serap dan daya penyesuaian terhadap konflik-konflik sistem niali
tersebut. Namun, kalau konflik-konflik sistem nilai ditimbulkan dengan sengaja
dan kadang-kadang secara artifisial sesuai denga kebutuhan politik colonial
waktu itu, sullitlah menghapuskan konflik-konflik itu secara memuaskan.[44]
Dari penjelasan di atas, terungkap
bahwa kita belum memilki sistem hukum nasional yang representatife. Namun, itu bukan berarti pula bahwa idealitas
tentang “sistem hukum nasional yang dikehendaki” itu tidak turut didiskusikan.
Tentang hal ini, sebenarnya tidak kurang pemerintah dan pihak kampus mengadakan
ragam pertemuan ilmiah yang berskala local dan nasional guna merumuskannya atau
bahkan para ahli hukum sendiri. Dalam hal ini, Arief Sidharta mengusulkan,
tatanan hukum nasional Indonesia harus menganding ciri[45]:
1)
Berwawasan
kebangsaan dan berwawasan nusantara;
2)
Mampu
mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan
keagamaan;
3)
Sejauh
mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
4)
Bersifat
nasional yang mencangkup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkhied),
rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
5)
Aturan
procedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional
terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
6)
Responsif
terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Senada usulan di atas adalah hasil seminar tentang hukum nasional
di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, yang setelah dibukukan menjadi Identitas
Hukum Nasional merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun
haruslah[46]:
1)
Berlandaskan
Pancasila (filosofis) dan UUD 1945 (konstitusional);
2)
Berfungsi
mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan,
dan mengamankan hasil-hasil pembangunan.
Selanjutnya menurut Mahfud M.D Pengakuan akan kedaulatan Tuhan
disebut Religious Nations State. Secara konkrit Prof. Hazairin
menafsirkan UUD/konstitusi pasal 29 ayat 1 berdasarkan teori Resepsi exit prof.
Hazairin Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 “
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, itu hanya terdapat enam penafsiran. Tiga
diantaranya yaitu:
1)
Dalam
Negara Republik Indonesia tidak boleh berlaku sesuatu yang bertentangan dengan
kaidah-kaidah Islam bagi Umat Islam;
2)
Negara
Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam;
3)
Syariat
yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara, setiap pemeluknya wajib menjalankan
sendiri.
E. Kontribusi
Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional
Sebagaimana
telah dijelaskan di atas, bahwa sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita
di Indonesia selama ini pada dasarnya
terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem
hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi
sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.
Sistem
Hukum Barat merupakan
warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia.
Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional kita.
Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasardasar alam pikiran
bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus
menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem hukum yang bersumber
pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan
hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya.[47]
Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu sebagai perbenturan
antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial Belanda
dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi,[48]
seperti terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
Dari
ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum
Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum
nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya
kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum barat/kolonial
sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat
juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum
nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah
sumbangsih hukurn Islam.
Hukum
Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum
nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi
rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:[49]
a.
Undang-undang
yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama,
UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Otonomi Khusus
nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang lainnya yang langsung
maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya.,
atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin memperluas
kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b.
Jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan
memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
c.
Kesadaran
umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan
masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka
menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.
d.
Politik
pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat
menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi
Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
Untuk
lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum nasional dapat
dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam hukum
nasional Indonesia. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya.
Bila
dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia nampaknya
eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat dalam
beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh Hukum
Islam:
a.
Undang-Undang
Perkawinan
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada
tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun '1974 No. Tambahan Lembaran
Negara Nomer 3019).
b.
Undang-Undang
Peradilan Agama
Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989
No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada
tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006. tentang Perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah
semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam
menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah.
Untuk
menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah Nasional
(DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan
ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa
tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi tersebut.
Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada pengadilan agama
sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara
hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh
dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah
(KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10
September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman
dan pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak
terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan penggalian hukum
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1)
Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.
c.
Undang-Undang
Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang
No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan
di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang
digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari
sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasarn dengan
dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam
UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
[BPIH]. Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah
haji lebih tertib dan lebih baik.
d.
Undang-Undang
Pengelolaan Zakat
Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
e.
Undang-Undang
Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang
No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No.3893).
f.
Undang-Undang
Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang
No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta pada
tanggal 9 Agustus 2001. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 114,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4134).
g.
Kompilasi
Hukum Islam
Perwujudan
hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang
berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan
para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan
bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi
Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama
para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama
tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya
KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1
Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
h.
Undang-undang
tentang Wakaf
Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada
tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15
Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan
pengaturan yang
mudah dipahami
masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang
mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai
kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
i.
Undang-Undang
Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas
penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam
undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha
(peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan
Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki
kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh.
Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam
dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata) tertentu, jinayah (hukum
pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at Islam.
j.
Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai
sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel
system banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan
piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Sejarah perbankan secara faktual telah mencatat bahwa dalam kurun waktu antara
tahun 1992 hingga Mei 2004 telah berkembang pesat perbankan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU No. 21 Tahun 2008)
tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala
sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Akad-akad dimaksud antara lain
adalah : wadi'ah, mudharabah, musyarakah, ijarah, ijarah muntahiya bit-tamlik,
murabahah, salam, istishna'I, qardh, wakalah, atau akad lain yang sesuai dengan
prinsip syariah.
KESIMPULAN
Pembaharuan (tajdidisme) hukum Islam
adalah suatu yang mutlak dilakukan sebagaimana pernyataan Muhammad Abduh
“pemikiran Islam akan menjadi salah manakala dipisahkan dari kehidupan
kedisinian dan kekinian” karena masalah orang di zaman klasik berbeda dengan
masalah yang muncul di zaman modern”. Adapun sasaran utama dari tajdidisme ini
adalah ke dalam, menyuntikan semangat baru bagi umat Islam dengan
memahami agama yang di interpretasikan sesuai dengan tantangan-tantangan dan
kebutuhan masa kini, dan ke luar, berusaha memberikan jawaban Islalm
terhadap serangan kritikan dari Barat. Dalam upaya pengaplikasian tajdidisme
Islam, menurut Nououzzaman Shidiqi, ada empat hal yang harus dilakukan, yaitu:
5)
Menyusun
kembali kitab-kitab fikih lama dalam bentuk dan sistematika yang sesuai dengan
kemajuan zaman.
6)
Menyusun
kitab fiqhal-hadist yang memuat fikih di segala bidang.
7)
Membahas
masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan dan perkembangan
masyarakat, dan
8)
Melakukan
kajian perbandingan antara fikih dan hukum positif.
Selanjutnya dalam upaya pembaharuan hukum Islam di Indonesia, perlu
diketahui bahwa di Indonesia ada tiga atau empat aliran utama teori hukum:
adat, Islam, positif (Barat) dan “ sosialis Indonesia”. Membangun hukum
nasional, dengan demikian, bukan pekerjaan mudah. Dalam ungkapan M.A. Japson,
filasafat sinkretis tentang hukum yang didasarkan pada keanekaragaman tradisi
dan ideologi yang sudah disesuaikan tidak mudah diciptakan. Persaingan dan
bahkan konflik antara hukum Islam dan hukum adat serta antara hukum Islam dan
hukum Barat, salah satu penyebabnya adalah campur tangan penjajah, yang untuk
melihat kesinambungan kenyataan dan pemikiran yang berkembang tentangnya,
pembahasan ini harus juga memperhatikan dan tidak boleh mengabaikan kebijakan sejak
masa penjajahan.
Terkait dengan pemberlakuan hukum di Indonesia. Dalam hal ini
terdapat bebarap teori antara lain:
1)
Toeri
Receptie
2)
Teori
Receptie in complexeu
3)
Teori
Receptie exit
4)
Teori
Eksistensi
5)
Teori
Nomokrasi
Secara keseluruhan, pada dasarnya antar satu toeri dengan toeri
lain adalah saling menguatkan, kecuali teori receptie yang dikemukakan oleh Christian Snouck
Hurgronje (1857-1936) yang bertujuan untuk
melemahkan orang-orang pribumi rakyat jajahan yang memegang kuat ajaran
Islam, sebab pada umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran islam dan Hukum
Islam, tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Dan toeri receptie exit
oleh Hazairin yang merupakan counter terhadap teori receptive tersebut.
Mengacu pada nilai-nilai budaya bangsa yang sudah lama ada dan
berkembang sekarang dan aspek kesejarahan yang ada. disimpulkan bahwa sistem
hukum nasional adalah sebuah sistem hukum (meliputi materiil dan formil; pokok
dan sektoral) yang dibangun berdasarkan ideologi negara Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, serta berlaku di seluruh Indonesia.
Sebagimana usulan Arief Sidharta yang
menyatakan bahwa tatanan hukum nasional Indonesia harus menganding ciri:
7)
Berwawasan
kebangsaan dan berwawasan nusantara;
8)
Mampu
mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan
keagamaan;
9)
Sejauh
mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
10)
Bersifat
nasional yang mencangkup rasionalitas efisiensi, rasionalitas kewajaran (redelijkhied),
rasionalitas kaidah, dan rasionalitas nilai;
11)
Aturan
procedural yang menjamin transparansi, yang memungkinkan kajian rasional
terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
12)
Responsif
terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Untuk itulah, sebagai upaya pembaharuan hukum Islam di Indonesia
hal-hal di atas haruslah menjadi pokok pertimbangan utama, setelah Al-Qur’an
dan al-Hadist serta sumber hukum di bawahnya.
Berdasar
pada penjelasan di atas, maka secara keseluruhan kesimpulan dari isi makalah
ini penulis menyatakan bahwa dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif
dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi
masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga
karena sistem hukum barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak
kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan
sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama
dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukurn Islam.
Hukum
Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum
nasional. Oleh karena itu, dalam tingkat kedudukan sebagai hukum nasional,
hukum Islam menduduki tingkatan pertama dalam tatanan hukum yang ada.
[1]
J.N.D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern (Islamic Law in the Modern
World), diterjemahkan oleh Machnun Husein,Cet I, Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya,1994,h.100-109.
[2]
Jazuni,Legislasi Hukum Nasional di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti,2005.h.176-177.
[3]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam (I’lam al-Muwaqqin ‘an Rabb
al-‘Alamin), diterjemahka oleh Asep Saefullah F.M dan Kamaluddin
Sa’diyatulharamain, Cet I, Jakarta: Pustaka Azzam,2000.h.473.
[4]
Al Jauziyah,op.cit.,h.105-106.
[5]
Jazuni,Legislasi Hukum Islam,Op.Cit.,h.184-189.
[6]
Ibid.
[7]
Ibid.
[8]
Ibid.
[9]
Nourouzzaman Shiddiqi,Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Cet I,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997.h.229.
[10]
Ibid.,h.70-71.
[11]
M.A. Japsan, “ Mencari Hukum Baru Sinkretisme Hukum di Indonesia yang
Membingunkan” dalam Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut (ed.), Hukum, Politik
dan Perubahan Sosial, Cet I, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia,
1988,h.269.
[12]
Khalil Abdul Karim, Syariah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan ( al-Judzur
al-Takhiyah li asy-Syariah al-Islamiyah), diterjemahkan oleh Kamran As’ad, Cet
I, Yogyakarta: LKiS, 2003,h.5-18.
[13]
Jazuni,Op.Cit.
[14]
Ibid.
[15]
Ibid.
[16]Ichtjanto,
Op. cit., hal. 122.
[17]Abu
Bakar Aceh, Islam Sumber Jihad dan Ijtihad, U.I.D., hal 23.
[18]Ichtijanto,
S.A., S.H., Op. cit., hal. 125.
[19]Alfian,
ed. 1977. Segi-segi Budaya Masyarakat Aceh, Jakarta: LP3ES, hal.
207-209.
[20]Amiur
Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: studi
kritis perkembangan hokum islam dari fiqih, UU No.1/1974 sampai KHI.(Jakarta:
Kencana, 2006) hal. 10-11
[21]Ichtijanto,
SA., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Eddi
Rudiana Arief dkk, Hukum Islam di Indonesia, Remadja Rosdakarya, 1994, hal.
117.
[22]Sajuti
Thalib, S.H., 1980. Receptio A Contrario, Bina Aksara, hal 17-18.
[23]Ichtijanto,
SA, Op. cit., hal. 128.
[24]ibid
[25]Ibid.,
hal. 129.
[26]Ibid.,
hal. 131.
[27]H.
Sayuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam,
Jakarta, PT Bina Aksara, hal. 15
[28]Ibid,
hal. 69
[29]Ibid,
hal. 74.
[30]Ibid,
hal.68.
[31]H.Ichtijanto
S.A., Op. Cit, hal.135.
[32]H.Ichtijanto
S.A., Op. Cit, hal.137.
[33]A.
Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad. hal. 89.
[34]Bisa
dibandingkan dengan asal kata demokrasi, „demos‟ yang artinya rakyat dan
„cratos‟ yang berarti kekuasaan di tangan rakyat
[35]Dalam
buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu
sesungguhnya telah ada sejak lama dikembangkan sejak zaman Yunani. Lihat Jimly
Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Simbur Cahaya No.
25 Tahun IX Mei 2004.
[36]Ibnu Taymiyyah
berpendapat bahwa menegakkan negara merupakan keharusan doctrinal dan praktis,
dan sesuai dengan pandangan klasik dari al-Asy‟ari beserta tokoh-tokoh lainnya.
Menurutnya Allah telah membuat manfaat-manfaat agama dan manfaat dunia
tergantung kepada para pemimpin, tidak perduli apakah Negara tersebut merupakan
salah satu asas agama atau bukan. Ia tidak tertarik dengan institusi imamah
(teokratis); ia hanya menginginkan supremasi agama. Baginya bentuk dan struktur
pemerintahan tidak penting atau paling-paling merupakan hal yang sekunder
baginya, yang terpenting adalah pelaksanaan syari‟ah.Qamaruddin Khan, Pemikiran
Politik Ibnu Taymiyyah, Pen: Anas Mahyuddin, Cet II, Pustaka, Bandung,
1995, Hlm.63-64.
[37]
Ibid.
[38]
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari,Dasar-Dasar Politik Hukum,Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,2006.h.59.
[39]
Ibid.
[40]
M. A Japsan.,Op.Cit.,h.250-251.
[41]
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari.,Op.Cit.,h.65.
[42]
Ibid.
[43]
Sunaryati Hartono, mantan Kepala BPBN, mengatakan bahwa sebenarnya
bangsa Indonesia belum mempunyai hukum nasional, dan yang paling banyaknya baru
hukum di Indonesia. John Ball, Guru Besar di Sidney University, menyebut
keadaan hukum di Indonesia sebagai "The struggle for a national
law." Lev mengatakan ada pertentangan-pertentang kepentingan antara
golongan-golongan ideologi dalam hukum (Barat, Adat, dan Islam) sehingga hukum
lama masih tetap juga dipakai dan belum ada konsensus untuk menggantinya.
(Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun
dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 5 dan
11).
[44]
Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional
(Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999),
h.34.
[45]
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari.,Op.Cit.
[46]
Ibid.
[47]
Untuk lebih lengkap baca Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta:
BP IBLAM, 2004, hal .9-22.
[48]
Bustanul Arifin.,Op.Cit.,h.11-12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar