Sabtu, 28 April 2012

Pendebatan Seputar Pembentukan Kontitusi (Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler)


A. Negara Islam dan Negara Sekuler
            Dalam proses perumusan dasar negara NKRI, terdapat dua kubu yang  memiliki pandangan yang bertentangan tentang bentuk dasar negara yangn akan diberlakukan di Indonesia. Kubu pertama diwakili oleh “ para nasionalis Islami” (Islamic Nasionalis) yang bersasaskan Islam dan berpandangann bahwa negara dan masyarakat harsu di atur oleh Islam sebagai agama dalam arti luas, yaitu agama yang mengatur tidak hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan antara sesama manusia serta sikap manusia terhadap lingkungannya. Selanjunya, kubu kedua diwakili oleh “para nasionalis sekuler” yang merupakan pribadi-pribadi yang beranggapan bahwa agama dan negara itu terpisah secara tegas.[1] Kompromi antara kedua kubu ini melahirkan modus vivendi, yakni rumusan untuk Preambule Undang-Undang Dasar yang dikenal dengan Piagam Jakarta yang ditandatangi oleh Sembilan anggota BPUPKI pada tanggal 22 Juni 1945. Dalam proses perumusan dasar-dasar negara lebih lanjut, yang dilakukan oleh wakil rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955, muncul tiga unsul tentang dasar negara: Pancasila, Islam, dan sosialis ekonomi. Namun, lembaga legislatif uang dikenal dengan de-Konstituante itu tidak berhasil memutuskan dasar negara hingga kemudia kelaur Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang meyatakan kembali kepada Undag-Undang Dasar tahun 1945, termasuk di dalamnya dasar negara Pancasila yang kemudian menimbulkan relasi fluktuatif antara agama dengan nasionalisme tentang model negara yang ingin dibentuk tentunya melalui dasar negara.
1.Konsep Negara Islam
            Islam adalah al-din (the religion). Istilah al-din hanya ada dalam al-Qur’an sebagaimana  pernyataan yang tercantum dalam surat Ali Imran/3:19 yang berbunyi :
¨bÎ) šúïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3     
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam

            Pernyataan yang sama tercantum  pula dalam surat al-Maidah./5:3 sebagai berikut:
ôÈ 4 tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4
Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu..
Pernyataan al-Din sebagaimana tercantum dalam dua ayat al-Qur’an tersebut di atas merupakan suatu konsep yang terdiri antara dua komponen pokok pengaturan, yaitu hablun min Allah wa hablun min al-nas (hubungan manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya).[2]
Jadi, istilah al-din dalam al-Qur’an mengandung konsep bidimensional yang mencangkup dua aspek kehidupan manusia yaitu aspek religius-spiritual dan aspek kemasyarakatan yang bertumpu pada ajaran tauhid (unitas). Di sinilah letak sifat khas Islam sebagai al-din. Kemudian untuk mengetahui suatu gambaran yang lebih detail tentang al-din al-Islami dapat dijelaskan melalui rumusan H.Moh. Daud Ali yang dikutip oleh Prof.Dr.H.Muhammad Thahir Azhary,SH. Sebagai berikut[3]:
“Agama Islam sebagai agama wahyu terakhir, mengandung ajaran yang merupakan sistem, terdiri dari akidah (iman,keyakinan), syariah (hukum) dan akhlaq (moral) yang mengatur segala tingkah laku manusia dalam berbagai hubungan, baik hubungan manusia dengan dirinya sendiri, masyarakat, benda atau makhluk lainya”.
            Dari kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa  Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) adalah pangkal tolak ajaran Islam. Meminjam dari konsep yang dirumuskan oleh Dani Muhtada yang dikutip oleh Dr. Muhammad Alim,SH.,M.Hum bahwasanya untuk memahami Islam sebagai suatu sistem  keyakinan yang utuh, kita perlu meninjau terlebih dahulu aspek ontology, epistemology, dan aksiologi. Di bawah ini disajikan sebuah bagan tentang ketiga aspek tersebut.[4]



ONTOLOGI
Tauhid

EPISTEMOLOGI
Syariah

AKSIOLOGI
            Selain itu, di dalam nomokrasi Islam, kekusaan itu adalah suatu anugerah Tuhan kepada manusia untuk dipelihara dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar di dalam al-Qur’an dan sunnah. Sebagai anugerah, kekuasaan itu kelak harus dipertanggungjawabkan kepada Allah Swt[5].
            Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, negara Islam merupakan negara yang di atur berdasarkan prinsip-prinsip al-din al-Islam yang merupakan sistem kenegaraan yang keseluruhan sistem kenegaraan  dalam Islam, baik sistem ketatanegaraan, hukum, sistem kemasyarakatan harus bertitik tolak terhadap konsep Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid). Hal ini berarti, bahwa agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan selamanya, dan inilah konsep negara yang di maksud dalam Islam.
2. Konsep Negara Sekuler
            Sebagaimana telah dijelaskan di atas  negara sekuler merupakan konsep negara yang berdasar pada anggapan bahwa antara agama dan negara itu terpisah secara tegas. Kemunculan konsep negara sekuler ini, dilatarbelakangi oleh adanya situasi dan kondisi-politik di mana pencetus konsep ini muncul.
            Adapun salah satu pencetus dari konsep ini adalah Nicollo Machiaveli (1469-1527) di lahirkan di Florence. Ajaranya tentang negara dan hukum ditulis dalam bukunya yang sangat terkenal yang diberi nama II Principle artinya Sang Raja atau Buku Pelajaran untuk Raja. Buku ini dimaksudkan untuk dijadikan pedoman bagi para raja, agar dapat memegang dan menjalankan pemerintahan dengan baik, untuk menyatukan negara Italia yang pada waktu itu mengalami kekacauan dan daerah negara terpecah-belah. Dalam buku tersebut juga menerangkan pendirian Machiaveli terhadap azas-azas moral dan kesusilaan dalam kesusunan ketatanegaraan.
            Ajaran Machiaveli yang menggantikan ajaran-ajaran dari jaman abad pertengahan yang bersifat teologis adalah suatu ajaran yang bersifat kosmis Naturalis, suatu realisme modern, yang berdasarkan atas ajaran-ajaran kuno, khususnya dari praktek pemerintahan bangsa Romawi. Dalam ajarannya tentang pemisahan antara negara dan hukum ia berpendapat bahwa orang-orang dalam lapangan ilmu kenegaraan tidak perlu menghiraukan atau memperhatikan azas-azas kesusilaan. Orang, bahkan negara akan rugi bila tidak melakukan hal tersebut.
            Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa konsep negara sekuler merupakan konsep yang menganggap bahwa nilai-nilai kesusilaan dan agama merupakan penghambat bagi negara untuk mencapai sebuah negara yang baik.
3. Konsep Negara Indonesia
            Dari adanya dua konsep di atas, disimpulkan bahwa negara yang mendasarkan  sistem ketatanegaraannya kepada konsep negara Islam, maka dasar negara yang dimiliki di dalamya akan terkandung nilai-nilai kesusilaan yang kesemuanya bermuara pada konsep ketuhanan. Sedangkan bagi negara yang mendasarkan sistem ketatanegaraanya kepada konsep negara sekuler, maka dasar negara yang dimiliki tentunya akan sarat dengan kedua nilai tersebut.
Sesuai dengan asas hukum  lex superior derogate lex inferiori (hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang dibawahnya)[6], yang mana dasar negara merupakan sumber hukum yang menjadi acuan dasar untuk menentukan produk hukum dibawahnya, timbul pertanyaan bagaimanakah dasar negara dan produk hukum yang ada di Indonesia? dan adakah nilai-niali ketuhanan dalam dasar negara di Indonesia ? yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Pertanyaan ini di ajukan penulis karena di anggap akan sangat mendukung dalam memahami kedudukan hukum Islam di Indonesia, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa konsep al-din al-Islami bukanlah merupakan konsep di mana produk hukum yang ada harus mengacu pada ketentuan-ketentuan fiqih, melainkan mengacu pada lingkaran konsentris antara Aqidah, Syariah, dan Akhlaq. Hal ini berarti , jika dalam dasar negara Indonesia ditemukan nilai-nilai kesusilaan yang bermuara pada ketuhanan, maka Indonesia  telah menganut konsep negara Islam tersebut.
            Selanjutnya, untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut di atas. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam falsafah negara Indonesia yakni Pancasila, sebagai berikut:
Setiap negara atas didirikan atas dasar falsafah tertentu. Falsafah itu merupakan perwujudan dari keinginan rakyatnya. Oleh karena itu, setiap negara mempunyai falsafah yang berbeda. Adapun falsafah negara Indonesia tercantum dalam Pejelasan UUD 1945 yang terdiri dari empat pokok pikiran, yaitu:
a.       Negara Ketuhanan
b.      Negara berkedaulatan rakyat
c.       Keadilan Sosial
d.      Negara Persatuan[7]
Dari ke-empat pokok pikiran tersebut, yang menjadi dasar dari seluruh pokok pikiran tersebut adalah Konsep Ketuhanan. Pendapat ini di ambil dari adanya sistem hierarki dalam tatanan hukum, yang mana tatanan hukum yang menempati urutan yang teratas menjadi dasar berlakunya tatanan hukum yang dibawahnya. Dengan logika tersebut, maka dari seluruh sila yang terdapat dalam Pancasila, sila Ketuhananlah yang berada pada urutan teratas sila-sila dari Pancasila.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep negara yang dianut di Indonesia adalah konsep negara Islam.
1. Perdebatan Seputar Pembentukan Kontitusi
            Perdebatan merupakan hal yang biasa terjadi dalam kehidupan Manusia sebagai mahluk yang bebas berpikir dan berpendapat. Perdebatan terjadi ketika terdapat pendapat yang berbeda antara pihak satu dengan lainnya. Pespektif-perspektif terhadap suatu objek akan menimbulkan perdebatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan objek itu sendiri.
            Demikian halnya perdebatan mengenai pembetukan konstitusi di Indonesia di mana Sejarah hukum Indonesia mencatat bahwa dalam proses perumusan dasar negara NKRI, terdapat dua kubu yang  memiliki pandangan yang bertentangan tentang bentuk dasar negara yang akan diberlakukan di Indonesia. Kubu pertama diwakili oleh “ para nasionalis Islami” (Islamic Nasionalis) yang bersasaskan Islam dan berpandangann bahwa negara dan masyarakat harus di atur oleh Islam sebagai agama dalam arti luas, yaitu agama yang mengatur tidak hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan antara sesama manusia serta sikap manusia terhadap lingkungannya. Selanjunya, kubu kedua diwakili oleh “para nasionalis sekuler” yang merupakan pribadi-pribadi yang beranggapan bahwa agama dan negara itu terpisah secara tegas.[1] Kompromi antara kedua kubu ini melahirkan modus vivendi, yakni rumusan untuk Preambule Undang-Undang Dasar yang dikenal dengan Piagam Jakarta yang ditandatangi oleh Sembilan anggota BPUPKI pada tanggal 22 Juni 1945. Dalam proses perumusan dasar-dasar negara lebih lanjut, yang dilakukan oleh wakil rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955, muncul tiga usul tentang dasar negara: Pancasila, Islam, dan sosialis ekonomi. Namun, lembaga legislatif uang dikenal dengan de-Konstituante itu tidak berhasil memutuskan dasar negara hingga kemudian keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang meyatakan kembali kepada Undag-Undang Dasar tahun 1945, termasuk di dalamnya dasar negara Pancasila.
Untuk memahami secara komprehensif perdebatan yang terjadi antara dua kubu di atas, perlu dikaji terlebih dahulu proses-proses perdebatan yang terjadi di dalamnya.  Adapun proses perdebatan itu terjadi, berawal dari Pemerintah Jepang yang mengumumkan janji untuk memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia tanggal 7 September 1944. Janji tersebut di ulangi pada tanggal 1 Maret 1945. Pernyataan pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 1 Maret 1945 diikuti dengan pembentukan panitia yang bertugas mempersiapkan (tepatnya membuat rancangan UUD). Panitia tersebut dikenal sebagai BPUPKI (Dokuritzu Zunbi Tjoosakai) yang beranggotakan 62 orang, diketuai oleh Rajdiman Wediodiningrat menurut Boland, panitia ini disebut comitte of 62”.[2] 
            BPUPKI dilantik pada 28 Mei 1945, Tugas pokok lembaga ini adalah untuk menyusun rancangan UUD, tetapi kemudian menghabiskan sebagian besar waktu siding-sidang pertamanya untuk memperdebatkan dasar negara. Jumlah anggota BPUPKI semula berjumlah berjumlah 60, kemudian ditambah 8, menjadi 68. Menurut Prawoto Mangkusasmito sebagamana yang dikutip oleh Mohammad Hatta, dilihat dari sudut kuantitas perimbangan ideologi politik, hanyalah sekitar 20% saja dari jumlah 68 anggota yang benar-benar mewakili aspirasi politik Islam. Selebihnya mewakili pandangan nasionalisme yang dalam hal ini tidak mau membawa agama ke dalam masalah kenegaraan. Yang dimaksud dengan aspirasi politik golongan Islam disini adalah diusulkannya Islam sebagai dasar filosofis negara yang hendak didirikan itu. Bagi mereka Islam adalah agama yang komprehensif dan universal, meliputi seluruh kehidupan manusia.[3]Sedangkan di lihat dari segi kualitas, menurut Prof. Deliar Noer sebagaimana dikutip oleh Drs. Abdul Aziz Thaba, mereka bukanlah tandingan Soekarno dkk, dalam berargumentasi secara filsafat. Kenyataan ini jelas suatu penurunan yang berarti. Deliar Noer menulis:
“Boleh dikatakan di dalam semua bidang, kepemimpinan kalangan Islam tidak berarti dibandingkan dengan kepemimpinan kalangan nasionalis yang netral agama ataupun yang tidak suka melihat Islam sebagai suatu kekuatan politik. Dipandang dari sudut ini, maka organisasi MIAI dan kemudian Masyumi di masa Jepang itu tidaklah mempunyai kedudukan sepenting yang disangka semula dalam rangka perjuangan politik secara nasional. Kesediaan kalangan Islam untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, apalagi masa-masa sulit, ataupun kesediaan mereka untuk tidak mempersulit keadaan seperti juga akan jelas terlihat dari usaha-usaha terakhir dalam menyusun kontitusi Republik Indonesia pada bulan Agustus 1945, memperlemah kedudukan mereka dengan golongan nasional”.[4]
Adapun wakil-wakil dari golongan islam antara lain: K.H.A Sanusi (PUI), Ki Bagus Hadikusumo, K.H Mas Masjkur, Abdul Kahar Muzzakir (Muhammadiyah), K.H.A Wahid Hasyim, K.H Masykur (NU), Sukiman Wirjosandjojo, (PII sebelum perang),Abikusno Tjokrosojoso (PSII), Agus Salim (Penyadar sebelum perang) dan K.H. Abdul Halim (PUI). Ketua PBUPKI adalah Dr. Rajdiman Wedyodiningrat, seorang mistik jawa, sekalipun ketua formalnya adalah seorang Jepang.[5] Sedangkan tokoh-tokoh terkemuka dari pihak nasionalis adalah Dr. Rajdiman, Sukarno, Mohammad Hatta, Prof. Suroso, dan Dr. Buntaran Martoatmojo. Semua tokoh ini adalah didikan Barat.[6]
            Dalam Pesidangan pertama yang diselenggarkan antara 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Selain pembahasan tentang dasar filsafat negara, BPUPKI tidak menemui kesulitan yang berarti dalam kerja konstusionalismenya, karena dipandang tidak menyentuh masalah ideology dasar yang biasa mengundang psiko-emosional itu. Tapi manakala dasar filsafat negara dibawa ke permukaan sidang, suasana jadi tegang, intens, dan sangat serius. Sebab masalah ini dipandang sebagai masalah yang sangat dasar. Menghadapi ini, iman kaum santri yang duduk dalam BPUPKI terpancing dengan tarikan yang teramat kuat, hingga kabarnya seorang tokoh umat memukul meja.
            Sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD, Radjiman ketika memulai sidang panitia tanggal 29 Mei 1945 meminta para anggota untuk membicarkan UUD. Dalam pidatonya di depan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 Soekarno mengatakan:
“Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada Sidang Dokuritzu Zunbi Tjootsaki untuk mengemukakan dasar Indonesia merdeka…. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda: Philosofiche gronslag daripada Indonesia Merdeka Philosofiche gronslag itulah pedoman, filasafat… di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal abadi.”
Dalam menanggapi usulan yang diajukan Dr. Rajdiman tentang “Philosofiche gronslag” tersebut. Golongan nasionalis sekuler yang paling siap dalam menanggapi pertanyaan tersebut adalah Soekarno dan Moehammad Yamin yang mengajukan Lima Prinsip Dasar yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Perlu dicatat bahwa dalam Pancasila Soekarno, Sila kettuhanan ditempatkan pada sila ke-lima. Dengan demikian soekarno tidak sila Ketuhahan sebagai sumber sila-sila yang lain. Lebih dari itu, bagi Soekarno dapat disarikan menjadi Trisila, yakni: 1. Sosio-Nasionalisme; 2. Sosio-demokrasi, 3. Ketuhanan. Bahkan sila yang tiga ini disedrhankan lagi menjadi Ekasila dalam bentuk Gotong Royong. Dalam perasaan terakhir ini, sila Ketuhanan telah menghilang. Sudah lazim apabila teori tipikal ini dipandang tidak masuk akal oleh setiap muslim yang sadar akan ajaran agamanya. Itulah yang menjadi sebab pihak nasionalis Islam untuk memodofikasi terhadap rumusan Pancasila Soekarno.[7]
 Sedangkan dari golongan Islam yang paling bersemangat menjawab pertanyaan tersebut ialah Ki Bagus Hadikusuma, seorang tokoh puncak Muhammadiyah, dengan mengajukan Islam sebagai dasar negara. Usul Ki Bagus merupakan anti-tesis terhadap usul Soekarno-Yamin. Adapun dalil yang dikemukakan oleh Ki Bagus sebagai berikut[8]:
“Seringkali terdengar suara yang mengatakan bahwa hukum Islam itu adalah peraturan yang sudah tua, tidak dapat lagi dilakukan di zaman sekarang ini, buktinya di Indonesia yang kebanyakan penduduknya beragama Islam, tetapi hukum Islam nyata tak dapat berjalan. Memang benar, tetapi tuan-tuan harus ingat juga apa yang menyebabkan hukum Islam tak dapat berjalan dengan sempurna di Indonesia ini. Sebabnya tiada lain ialah karena tipu-muslihat curang yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang senantiasa berusaha hendak melenyapkan agama Islam dari jajahannya oleh karena tahu bahwa selama bangsa Indonesia tetap teguh kepada agama Islam, tentu tidak akan menguntungkan dia. Oleh karena itu, hukum-hukum Islam yang berlaku di Indonesia demi sedikit hendak dihapuskan dan diganti dengan hukum lain yang dikehendakinya.
Hadikusumo kemudian mengingatkan BPUPKI akan apa yang terjadi terhadap hukum Islam tentang warisan pada 1922:
… saya masih ingat ketika pemerintah Hindia-Belanda berusaha hendak menghapuskan hukum Islam tentang urusan waris dan akan digantikan denga hukum adat (adatrecht). Terlebih dahulu urusan waris itu diambil dari raad agama dan dipindahkan kepada landraad. Ini kejadian dalam tahun 1922. Oleh pemerintah lalu dibentuk panitia yang kakatanya dari kaum muslimin, untuk merencanakan segaka peraturan yang berkaitan dengan hal itu. Panitia itu diketuai oleh Prof. Dr. Husein Djajadi Ningrat dan saya sendiri menjadi anggotanya. Di dalam rapatnya yang memakan waktu kurang lebih sepuluh hari, setelah diperdebatkan dengan hebat dan panjang lebar, maka mendapat keputusan yang banyak sekali bahwa hukum Islamlah  yang harus dipakai oleh landraad untuk memutuskan perkara-perkara yang mengenai atau bersangkutan denga hal-ihwal waris.
Tetapi apa lacur? Oleh karena putusan rapat itu dipandang oleh pemerintah tidak sesuai dengan kehendaknya, maka setelah rapat selesai. Putusan tersebut diubah, dicorat-coret dan ditambah, sehingga hukum adat yang tadinya telah tertolak mentah-mentah dan habis-habisan dapat dimasukkan lagi. Ya, karena memang itulah yang dikehendaki. Putusan yang telah diubah ini tidak lekas dijalankan tetapi diperam terlebih dahulu untuk menjaga jangan sampai Ummat Islam gusar dan menentang, di samping itu dilakukan propaganda adatrecht di seluruh tanah Jawa, di rapat-rapat orang-orang memang sudah dipandang tidak memperhatikan kepada agama Islam. Baru kemudian setelah umat Islam kelihatan lupa kepada perubahan hukum waris itu, lambat laun putusan yang telah diubah itu dijalanka, yaitu pada tahun 1934.
Selanjutnya Hadi Kusumo membenarkan hujjah  dari K.H. Hadi Kusumo yang mengatakan bahwa lebih dari 6000 ayat al-Qur’an, hanyalah sekitar 600 ayat saja yang membicarakan masalah-masalah kewajiban keagamaan dan urusan akhirat. Selebihnya berkaitan dengan masalah politik dan urusan dunia lainya.
Sebaliknya, walupun Supomo mengakui bahwa Islam merupakan agama yang komprehensif, dengan berdalih bahwa Indonesia mempunyai keistimewaan-keistimewaan khas, maka gagasan tentang negara Islam harus ditolak, Indonesia tidaklah sama dengan sama dengan Irak, Iran, Mesir atau Suriah yang jelas-jelas bercorak Islam (Corpus Islamicum). Selain itu, Supomo juga meragukan apakah syari’ah yang ada sekarang juga dapat memenuhi kebutuhan manusia modern. Tampaknya, argumen pertama yang diajukan oleh Supomo memang dapat dibenarkan meskipun perlu dikaji lebih lanjut, namun argumen kedua tersebut tampak bahwa paham sekuler memang menjadi konsep dari kaum nasionalis ini.
Salah satu kelemahan dari gagasan-gagasan tokoh Islam menjadikan Islam sebagai dasar negara adalah tidak dilengkapi dengan adanya argument empiris mengenai negara Islam “ yang dicita-citakan. Di pandang dari sudut ini, terlihat bahwa perjuangan sebenarnya dari wakil Islam dalam sidang BPUPKI bukanlah realisasi konsep negara Islam melainkan tuntutan terhadap adanya jaminan terhadap pelaksanaa syariat ajaran-ajaran Islam.
Dari pengambaran tentang diskusi yang terjadi antara kaum nasionalis sekuler dan nasionalis Islami di atas, jelas, bahwa soal dilematik belum terpecahkan. Pada satu pihak, terdapat kelompok sidang yang ingin melaksanakan seluruh syariah tanpa adanya re-formulasi ulang seperti saat ini. Sedangkan pihak lain, kaum nasionalis sekuler berusaha mengurung Islam dalam sebuah sangkar “urusan pribadi” seorang muslim. Perdebatan seperti ini, akhirnya mewarnai dunia Islam modern, dan tetap saja belum ditemukan penyelesaian mendasar yang mampu meredam gejolak-gejolak yang terjadi.
 Dengan munculnya dua usul yang berbeda itu, maka bermulalah pergumulan pertama antara Pancasila dan Islam dalam siding-sidang BPUPKI. Karena perdebatan tersebut, akhirnya sidanng 1 BPUPKI diakhiri dengan pembentukan panitia kecil, yaitu “Panitia Sembilan” yang terdiri dari: Soerkarno, Moehammad Hatta, A.A Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzzakir Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Moehammad Yamin. Di antara tokoh Sembilan tokoh ini terdapat tokoh Kristen moderat; A.A. Maramis, sedangkan delapan yang lain beragama Islam. Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, dan Yamin mewakili ideologi politik Islam. Dan yang mewakili golongan Islam adalah Abikusno dari SI, Kahar Muzzakir dari Muhammadiyah, Salim dari SI-Penyedar, dan Wahid Hasyim dari NU. Tugasnya mencari kesepakatan tentang dasar negara yang telah diperdebatkan selama empat hari sidang. Sukarno sebagai ketua panitia kecil mengharapkan agar semua pihak, khususnya wakil-wakil Kristen, menerima hasil kompromi di atas, sekalipun hal itu juga berarti pengorbanan yang besar bagi mereka, yaitu pengorbanan demi kemerdekaan Indonesia. Di sini, tampaknya timbul diskriminasi terhadap kelompok agama lain di mana hanya terdapat seorang perwakilan Kristen saja. Menurut penulis, yang menjadi alasan minimnya perwakilan Kristen dalam persidangan adalah karena hanya A.A Maramis lah yang di anggap sebagai seorang yang moderat untuk mewakili pihak Kristen, hal ini terliahat dari unsur psikologi dari bangsa Indonesia sendiri di mana agama Kristen merupakan agama yang di bawa penjajah kolonial.
            Panitia Sembilan berhasil mencapai kompromi tanggal 22 Juni 1945 denga menyetujui sebuah naskah “Mukaddimah” UUD yang dikenal dengan Piagam Jakarta atau “ The Jakarta Charter” . Pemberian nama itu untuk pertama kali digunakan oleh Yamin. Hasil kesepakatan atau modus vivendi Panitia Sembilan dinyatakan diterima dalam sidang II BPUPKI tanggal 11 Juni 1945. Dalam piagam ini Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila Ketuhanan disamping ditempatkan sabagai sila mahkota (pertama), juga juga diberi anak kalimat pengiring; “ dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut penulis tambahan ini tampaknya merupakan suatu upaya untuk meredam pertentangan dari pihak nasionalis Islam. Dengan adanya tambahan anak kalimat tersebur dapat dianggap bahwa perjuangan wakil Islam tersebut telah berhasil menyuarakan aspirasi rakyat Islam.
Selain terdapat dalam Piagam Jakarta, anak kalimat yang dinilai strategis ini juga terdapat dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang diusulkan itu. Bagi umat Islam, anak kalimat ini sangat penting, sebab dengan itu  tugas pelaksanaan syari’at secara konstitusional terbuka pada waktu yang akan datang. .
            Selanjutnya, untuk melanjutkan sidang BPUPKI, dibentuk PPKI. Pada tanggal 18 Agustus diadakan sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan jumlah anggota semula 21, kemudian atas usul Soekarno, ditambah menjadi 27. Dari jumlah ini hanya tiga anggota saja yang berasal dari organisasi Islam. Yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H A. Wahid Hasyim, dan Kasman Songidimedjo. Dengan fakta ini terlihat bahwa betapa kecilnya wakil Islam duduk dalam PPKI itu. Akan tetapi, dalam perjuangannya para wakil tersebut sangat gigih dalam merebut posisi penting. Salah satu alasan yang diberikan oleh Syafii Ma’arif terkait dengan jumlah kaum nasionalis yang dominan dalam keanggotaan PPKI adalah kerendahan hati para wakil golongan Islam untuk “berebut” dalam keanggotaan. Alasan tersebut masih kurang logis, dan tidak terdapat fakta sejarah yang membuktikan hal tersebut, oleh karena itu masih terdapat berbagai klaim yang mengatakan bahwa dalam sidang tersebut terdapat upaya politik kaum nasionalis dalam hali ini Soekarno untuk mendiskriminasi Islam.
            Dalam sidang ini, tuntutan golongan Islam sebelumnya semua dibatalkan. Bahkan, sehari setelah proklamasi, tujuh patah kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan, kata Allah dalam mukadimah diganti dengan Tuhan, dan kata mukaddimah diubah menjadi pembukaan.[9]
            Dalam sidang PPKI, wakil golongan Islam bersikap pasif, tidak memberikan tanggapan sedikit pun, apalagi memprotes. Adapun alasanya adalah sebagai berikut:
Pertama; Golongan Islam yang menerima penghapusan tujuh patah kata tersebut atas lobi Mohd. Hatta dalam pembicaraan mereka pada pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 menganggap menerimanya jika itu untuk keperluan persatuan bangsa. Lagi pula kata “Ketuhanan” ditambahkan “ Yang Maha Esa” . Menurut interpretasi golongan Islam, “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah nama lain dari tauhid dalam Islam. Sebab hanya Islamlah yang mengenal “ Keesaan Tuhan (tauhid).
Kedua; suhu politik sehari setelah proklamasi, terutama di Jakarta, sangat tinggi. Mareka tidak bermaksud untuk menciptakan  suasana ketidak tentraman lagi hanya karena perdebatan-perdebatan yang berkepanjangan, yang mungkin saja menyita waktu beberapa hari. Padahal negara yang baru lahir tesebut butuh kontitusi.
Ketiga; Golongan Islam berharap bahwa enam bulan setelah proklamasi akan diadakan pemilihan umum, di mana mereka akan ikut serta. Kalangan Islam saat itu sangat optimis bahwa proklamasi akan diikuti oleh stabilitas di mana pemilu akan segera dilangsungkan. Mereka yakin akan memenangkannya mengingat jumlah penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Soekarno sendiri mengatakan, “Nanti… dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu… dapat membuat UUD yang lebih lengkap, lebih sempurna.”
            Beberapa cendikiawan muslim mengangap bahwa diterimanya ideologi negara Pancasila dan dihapuskannya tujuh patah kata dalam Piagam Jakarta merupakan kekalahan politik Islam. Kenyataan pahit ini harus diterima.[10] Tetapi pada tahun 1978, Alamsyah Ratu Perwiranegara (Menteri Agama Waktu itu) menafsirkan peristiwa tanggal 18 Agustus itu sebagai hadiah umat Islam kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia, demi menjaga persatuan.[11]
            Selanjutnya, menurut menurut Syafi’i Ma’arif sebagai komentar terhadap pernyataan Alamsyah di atas menyatakan bahwa perkataan tersebut bila dibaca dalam konteks politik kontemporer Indonesia barangkali dapat diartikan sebagai usaha untuk meyakinkan pihak-pihak tertentu, bahwa loyalitas umat Islam kepada Pancasila tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan demikian tuduhan-tuduhan yang biasa dialamatkan kepada umat Islam sebagai anti Pancasila adalah lagu using yang tidak perlu diperputar lagi. Menurutnya Sila Ketuhahanan Yang Maha Esa diilhami sepenuhnya oleh konsep tauhid, yang merupakan urat nadi iman dalam sistem kepercayaan Islam. Dengan demikian setiap usahan dari manapun, yang mencoba memisahkan Pancasila dari intervensi wahyu adalah ahistoris, sebab Pancasila yang dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945 itu tidak sama dengan formulasi Pancasila yang dirumuskan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Atribut “Yang Maha Esa” setelah “Ketuhanan” dalam sila pertama jelas sekali menunjukkan bahwa konsep Ketuhanan dalam Pancasila bukanlah fenomena sosiologis, melainkan refleksi dari ajaran tauhid. Hal ini dapat diperkuat lagi dengan suatu pengandaian, yaitu: sekiranya mayoritas rakyat Indonesia bukan pemeluk Islam, maka dapatlah dipastikan bahwa Pancasila tidak akan mengenal sila Ketuhanan, apalagi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.[12] Walaupun begitu, hal ini tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama itu menurut agama mereka masing-masing. Di mata al-Qur’an, umat Islam dilarang memaksa orang lain mengikuti keyakinannya.


[1] Edi Rudiana Arif,dkk..,Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktik), Remaja Rosdakarya Of Iset: Bandung,Cet II,1994. h.ix.
[2] Moh. Mahfud MD,Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,2011.h.36.
[3] Syafii Ma’arif,Islam dan Masalah Kenegaraan (Studi Tentang Percaturan Politik dalam Konstituante), Jakarta: LP3ES,Cet I, 1985.h.102-109.
[4] Abdul Aziz Thaba,Islam dan Negara (Dalam Politik Orde Baru), Jakarta: Gema Insani Press,1966.h.154.
[5] Syafii Ma’arif.Op.,Cit.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Abdul Azis.Op.,Cit.h.156.
[10] Ibid.
[11] Syafii Ma’arif,Op.,Cit.h.109.
[12] Ibid.




[1] Edi Rudiana Arif,dkk..,Hukum Islam di Indonesia (Pemikiran dan Praktik), Remaja Rosdakarya Of Iset: Bandung,Cet II,1994. h.ix.
[2] Muhammad Thahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta: Kencana,2004.h.27.
[3] Ibid.
[4] Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern Dalam Islam, LKiS: Jogjakarta,2010.h.54.
[5] Ibid.
[6] Ni’matul Huda,Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers: Jakarta,Cet VI,2011.h.46.
[7] Pokok pikiran pertama  yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945  “ Negara” -begitu bunyinya- melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, selanjutnya pokok pikiran kedua berbunyi  “ dengan mewujudkankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” pokok pikiran ketiga berbunyi  “negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan” sedangkan pokok pikiran terakhir berbunyi “ berdasar atas Ketuhanan Yang  Maha Esa”. Lihat, Ni’matul Huda,Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers: Jakarta,Cet VI,2011.h.70.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar