WAKAF
1.Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari kata waqf yang berarti radiah (terkembalikan),al-tahbis
(tertahan),al-tasbil (tertawan),dan al-man’u (mencegah).[1]
Kata al-waqf adalah bentuk masdar dari ungkapan waqfu
al-syai’,yang artinya berarti menahan sesuatu.Imam Antarah,dalam
syairnya,berkata : “untaku tertahan di suatu tempat,seolah-olah dia tahu
agar aku bisa berteduh di tempat itu.”
Dengan
demikian,penngertian wakaf,secara bahasa,adalah menyerahkan tanah kepada
orang-orang miskin-atau untuk orang-orang miskin-untuk ditahan.Diartikan
demikian karena,barang milik itu dipegang dan ditahan oleh orang lain,seperti
menahan hewan ternak,tanah dan segala sesuatu.[2]
Sedangkan menurut
istilah (syara’) yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana yang didefinisikan oleh
para ulama adalah sebagai berikut.
1.Sayid Sabiq dalam fiqh al-Sunnah berpendapat bahwa wakaf
adalah :
حبس
الاصل وتسبيل الثمرة.أي حبس المال وصرف منافعه في سبيل الله.
“menahan
yang asal dan memanfaatkan hasilnya,maksudnya menahan harta yang dapat diambil
manfaatnya,dan memanfaatkan hasilnya untuk mendapat ridha Allah.”[3]
Kata habs
berarti juga al-man’u i(mencegah),yang berkedudukan sebagai jenis
yang di dalamnya tercangkup semua bentuk habs (menahan),seperti rahn
(gadai) dan hajr (sita jaminan).
Kata al-Ashl
ini merupakan penjelas bahwa harta yang ditahan itu merupakan pokok harta
tersebut,bukan merupakan harta yang dihasilkan dari pokok harta tersebut.kata
ini memiliki maksud bahwa harta yang ditahan adalah bentuk harta yang
diwakafkan oleh waqif itu sendiri.
Kalimat
sharrafa mana’fiuhu fi sabilillah memberikan
pengertian bahwa harta wakaf itu hasilnya harus dimanfaatkan untuk kebaikan dan
mengecualikan pemanfaatkan di jalan yang tidak diridhai Allah swt..
2.Imam Taqiy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni
dalam Kifayat al-Akhyar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf
adalah :
ممنوع من التصرف في عينه وتصرف منافعه في البر تقربا ألي الله
“Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan
dengan kekalnya benda (zatnya),dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola
manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”[4]
Kata mamnu’ di sini merupakan persamaan kata
dari al-habs yang berarti menahan sebagaimana keterangan di atas.
Min
tasarrufin fi ‘ainihi memberikan bahwa zatnya harta yang diwakafkan itu
tidak dapat ditasarrufkan dan sifatnya harus kekal.
Taqarruban
ila Allah di sini memberikan pengertian bahwa tujuan utama dari wakaf ini
adalah agar seorang hamba lebih mendekatkan diri kepada Allah dan niatnya pun
harus bersih.Sebab jika niat berwakaf ini salah maka pahala dari wakaf itu
tidak akan mengalir.
Dari
dua definisi tersebut kiranya dapat diketahui bahwa wakaf adalah menahan suatu
benda yang kekal zatnya,dan memungkinkan untuk dimanfaatkan guna diberikan di
jalan kebaikan.
B.Dasar Hukum Wakaf
1.Al-Qur’an
Adapun
yang dinyatakan sebagai dasar hukum wakaf oleh para ulama,yaitu :
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãè2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3/u (#qè=yèøù$#ur uöyø9$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ
“ Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.”
Dalam
ayat lain surat al-‘imran :92,Allah berfirman :
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
“
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Ayat
tersebut mengisyaratkan anjuran bersedekah.Sedangkan wakaf adalah bentuk dari
sedekah.Karena itu,wakaf mengikuti hukum sedekah.yaitu sunnah.
2.Hadist
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { إذَا مَاتَ
ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ،
أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ } رَوَاهُ
مُسْلِمٌ
“Dari
Abu Huroirah R.a,Bahawasanya Rasulullah Saw.bersabda : Apabila telah mati
seorang manusia,maka terputuslah pahala darinya,keculai tiga perkara :(a)
Shadaq Jariyah,(b) ilmu yang bermanfaat,(c) anak yang shaleh yang mendoakan
orang tuanya.”[5]
Hadist
tersebut disebutkan dalam bab wakaf,karena para ahli tafsir menafsirkan bahwa
yang dimaksud sedekah jariyah dalam hadist tersebut adalah wakaf.Dengan
demikian pahala dari wakaf tidak akan terputus sepanjang pokok harta wakaf
masih ada.Dari statemen tersebut para ulama ,berpendapat bahwa harta wakaf
harus bersifat kekal,sehingga yang boleh diwakafkan adalah benda yang tidak
bergerak seperti tanah dan bangunan.
Sedekah
jariyah, seperti mewakafkan lahan untuk dimanfaatkan,hewan untuk dinaiki,
perkakas-perkakas yang dapat digunakan, buku, mushaf, masjid atau asrama
pelajar. Semua ini dan yang sejenisnya pahalanya mengalir kepada sang pewakaf
yang bermanfaat yang digunakan untuk mewujudkan dan untuk meningkatkan kebaikan
serta mendukung usaha-usaha kebaikan seperti keilmuan, jihad, ibadah dan lain
sebagainya.
Dari sini kita dapat
beragumen bahwa wakaf yang syar’i adalah wakaf untuk tujuan kebaikan kepada
kerabat, fakir miskin dan lembaga-lembaga sosial lainnya yang mendapatkan
manfaat.
Ilmu
yang tetap bermanfaat setelah wafatnya seperti murid-muridnya yang terus
menyebarkan ilmunya, buku-buku hasil karangan atau yang diterbitkan, dalam
hadist shahih dijelaskan.[6]
لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من حمر النعم
“Allah memberi
hidayah kepada satu orang melaluimu adalah lebiih baik bagimu dari pada
(mendapatkan) onta berwarna merah (harta berharga).
Anak yang shalih, baik anak kandung maupun cucu, baik
laki-laki maupun perempuan. Doa anak yang salih serta pahala kebaikan yang
dihadiahkan akan bermanfaat bagi kedua orangtuanya. Ketika beribadah
kepada Allah, maka orang tua atau kakeknya akan mempoeroleh manfaat atas amal
ibadahnya tersebut.
Ketiga
hal itu dapat saja ada dari satu orang. Contohnya orang yang berwakaf yang ilmu
atau buku karangannya dimanfaatkan oleh orang lain serta mempunyai keturunan
yang salih serta menghadiahkan amal kebaikan untuknya. Sungguh anugerah Allah
SWT begitu luas.
Ibnul Jauzi
berkata: “mereka yang menyadari bahwa dunia adalah arena perlombaan untuk
menghasilkan segala kebaikan dan menyadari bahwa setiap kali martabatnya secara
amal dan keilmuan naik maka bertambah pula martabatnya di akhirat, akan
berlomba dengan waktu dan tidak akan menyia-nyiakan waktunya sesaatpun serta
tidak akan menunggalkan kebaikan yang mampu dilakukan. Siapa yang diberi
kekuatan oleh Allah untuk melakukan hal
itu maka raihlah ilmu dan dimasa hidupanya dan bersabarlah atas setiap cobaan
dan kekurangan hingga dia dapat mewujudkan apa yang dia inginkan.[7]
Pendapat
bahwa yang dimaksud sadaqah jariyah adalah wakaf,diperkuat dengan hadist yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah .
وأخرج ابن ماجه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " إن مما
يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته: علما نشره أو ولدا صالحا تركه أو مصحفا
ورثه أو مسجدا بناه أو بيتا لابن السبيل بناه أو نهرا أجراه أو صدقة أخرجها من
ماله في صحته وحياته تلحقه من بعد موته ".
“Bahwasanya
Rasulullah Saw.bersabda : “ Sesungguhnya diantara perkara yang akan dijumpai
seorang mukmin dari amal dan kebaikannya setelah dia mati adalah : Ilmu yang
diajarkannya atau anak soleh yang ditinggalkanya atau al-Quran yang
diwariskannya atau masjid yang telah dibangunnya atau rumah yang dibangunnya
untuk Ibnu Sabil,sungai yang dialirkannya,atau sedekah yang dikeluarkan dari
harta di waktu sehat dan hidupnya,semua di jumpai pahalanya sesudah dia mati.”
Hadist
di atas juga memberikan pengertian bahwa terdapat beberapa jenis wakaf
sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadist tersebut.Selain itu terdapat
juga beberapa jenis wakaf yang merupakan tambahan dari jenis wakaf di
atas.Sebagaimana yang disajakkan oleh as-Suyuthi :
“Jika
anak adam telah mati,tiada pahal yang mengalir padanya,kecuali sepuluh
perkara,ilmu yang disebarkannya,doa anak yang dididiknya,pohon kurma yang
ditanamnya,sedekah yang diberikannya,mushaf yang diwariskannya,tempat
berlindung yang dibangunnya,sumur yang digalinya,sungai yang di
alirkannya,rumah persinggahan yang didirikannya,dan majelis dzikir yang dibangunkannya.”[8]
2.Praktek wakaf dizaman Rasulullah
عن أنس رضي الله عنه قال : لما قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم
المدينه و أمر ببناء المسجد قال : يا بني النجار: تأ منوني بحاطئكم هذا ؟ فقالوا :
والله لا نطلب ثمنه الا الى الله تعالى. أي فأ خذه فبناه مسجدا.
“Riwayat dari Anas r.a bahwa ketika Rasulullah
saw.datang di Madinah dan memerintahkan membangun masjid,beliau berkata,’Wahai
bani Najar,apakah engkau hendak menjual kebunmu ini ?’ Mereka menjawab,’Demi
Allah,kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah.” Maksudnya agar
Rasulullah mengambil dan menjadikannya sebagai masjid.”(HR Bukhari,Tirmidzi,dan Nasa’i)
وعن عثمان رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال: " من حفر بئر رومة فله الجنة. قال: فحفرتها " (4).وفي رواية
للبغوي: " أنها كانت لرجل من بني غفار عين يقال لها رومة، وكان يبيع منها
القربة بمد، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: تبيعنيها بعين في الجنة؟ فقال: يا
رسول الله، ليس لي ولا لعيالي غيرها. فبلغ ذلك عثمان. فاشتراها بخمسة وثلاثين ألف
درهم. ثم أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: أتجعل لي ما جعلت له؟ قال: نعم.قال:
قد جعلتها للمسلمين.
“Riwayat dari ustman r.a bahwa ia telah mendengar
Rasulullah saw.bersabda.’Barangsiapa menggali sumur Raumah,maka untuknya
surge.” Ustman berkata,’Sumur Raumah itu pun aku gali.” Dalam satu riwayat oleh
al-Baghawi disebutkan jika seorang laki-laki dari Bani Ghifar mempunyai sebuah
mata air bernama Raumah,sedang ia menjual satu kaleng dari airnya dengan harga
satu mud.Maka Rasulullah saw.berkata padanya,’Maukah engkau menjualnya padaku
dengan satu mata air sungai ? Orang itu menjawab,’Wahai Rasulullah aku dan
keluargaku tidak mempunyai apa-apa selain itu.’Berita itu pun sampailah kepada
Ustman.Lalu Utsman membelinya dengan harga tiga puluh lima ribu dirham.Kemudian
datanglah Utsman kepada Nabi saw.,Lalu ia berkata,’ Maukah engkau jadikan
bagiku seperti apa yang hendak engkau jadikan baginya (pemilik sumur itu)?”Beliau
menjawab,’Ya’.Utsman berkata,’Aku telah menjadikan sumur itu sebagai wakaf bagi
kaum muslimin.”
وعن سعد بن عبادة رضي الله عنه أنه قال: يا رسول الله إن أم سعد ماتت
فأي الصدفة أفضل (1)؟ قال: الماء. فحفر بئرا وقال: هذه لام سعد
“Dari
Sa’ad bin Ubadah r.a bahwa dia bertanya kepada Rasulullah saw.,Wahai
Rasulullah,sesungguhnya Ummu Sa’id telah mati,lalu apakah sedekah yang paling
baik pahalanya?’Rasulullah menjawab,’Air’Kemudian sa’ad menggali sumur, dan
berkata,’Sumur ini adalah untuk Ummu Sa’ad.’”
Dalam
hadist lain disebutkan sebagai berikut :
وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : { أَصَابَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَرْضًا بِخَيْبَرَ ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إنِّي أَصَبْت أَرْضًا
بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ قَالَ : إنْ
شِئْت حَبَسْت أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْت بِهَا قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ :
أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا ، وَلَا يُورَثُ ، وَلَا يُوهَبُ ، فَتَصَدَّقَ
بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ ، وَفِي الْقُرْبَى ، وَفِي الرِّقَابِ ، وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ ، وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَالضَّيْفِ ، لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا
أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، وَيُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ
مَالًا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ،وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ .وَفِي رِوَايَةِ
لِلْبُخَارِيِّ : { تَصَدَّقَ بِأَصْلِهَا : لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَكِنْ
يُنْفَقُ ثَمَرُهُ } .
“Dari
Ibnu Umar berkata : Umar memperoleh sebidang tanah di Khaibar,kemudian beliau
menghadap Nabi Saw,” Saya mempunyai sebidang tanah di Khaibar,saya belum pernah
mendapat harta yang paling saya kagumi seperti harta itu,maka apakah yang
engkau perintahkan ? “ Nabi menjawab : “Bila kamu suka,kamu tahan pokoknya;dan
kamu sedekahkan hasilnya.” Kemudian Umar bersedekah,tidak dijual,tidak
dihibahkan, dan tidak diwariskan.Umar bersedekah pada fakir,kerabat,budak
belian,sabillah,ibnu sabil,dan tamu dan tidak berdosa bagi orang yang memiliki
tanah itu memakan hasilnya dengan cara sepantasnya,dan memberikan makanan tanpa
menyimpan harta untuk dirinya sendiri.”[9]
Kosakata Hadist
Ardhan bi Khaibar : Nama lahan yang diperoleh Umar RA tersebut adalah Tsamgh,dengan
huruf tsa’ berharakat fathah,mim yang mati dan diakhiri
dengan huruf ghain.
Yasta’miruhu : Umar
mengajak Rasulullah bermusyawarah mengenai tanah itu.
Anfasu ‘Indi : Harta
terbaik dan paling mengagumkan yang ada padaku.
Al-Qurbaa : Kerabat
seseorang.Maksudnya mencakup saudara sebapak dan saudara seibu.Kerabat di sini
artinya kerabat pewakaf.
Ar-Riqaab :
Mereka adalah para budak yang melakukan transaksi mukaatabah dengan
tuannya yang tidak mempunyai harta untuk membayar kitaabah-nya (untuk
pembebasan dirinya dari perbudakan).
Fi Sabiil Lillaah :
Mereka adalah para pasukan; dan apa saja yang mendukung dakwah.
Ibnu As-Sabiil :
Musafir yang kehabisan bekal di luar daerahnya.Sabiil sendiri artinya
jalan.Mereka dinamakan sebagai Ibn as-sabiil karena mereka selalu berada
di jalan.
Adh-dhayf :
Orang yang singgah ditempat orang lain,baik diundang maupun tidak.Kata adh-dhayf
dapat diungkapkan untuk tunggal atau
jamak sebab pada asalnya ia adalah mashdar .Namun kadang-kadangg
dijamakkan menjadi adhyaaf dan dhuyuf.
La Junaha :
Maksudnya tidak berdosa jika orang yang mengurus tanah itu memakan sebagian
hasilnya dengan cara yang ma’ruuf (benar).
Ghaira Mutawwamil : Kedudukannya
secara I’raab menjadi haal dari kata man.Maksudnya,pengurus
tanah itu dapat memakan atau memberi makan hasilnya tanpa menjadikan harta
wakaf itu sebagai miliknya.Ia hanya berhak menginfakkan hasilnya tanpa melewati
batas kewajaran.
Hadist ini
menjelaskan bahwa wakaf adalah menahan asset (raqabah) wakaf dari segala
transaksi pemindahan milik atau dari segala yang menjadi penyebab pemindahan
milik dan penyerahan hasil aset.
Kalimat “dengan
syarat tidak dijual” menjelaskan hukum pengelolaan asset wakaf.Kalimat ini
menjelaskan bahwa pengelolaan asset wakaf tidak dillakukan melalui cara
pemindahan milik,seperti jual-beli dan hibah.Aset wakaf harus tetap dalam
kondisinya,hanya saja dikelola sesuai dengan syarat syar’I yang
ditentukan oleh wakaf.
Wakaf hanya bisa
berlaku untuk barang-barang yang bisa dimanfaatkan dan dalam waktu yang sama
subtansi barang-barang tidak berubah.Sedangkan untuk barang-barang yang habis
dengan dimanfaatkan disebut dengan sedekah,bukan wakaf.
Kalimat “hasil
tanah itu disedekahkan kepada orang-orang fakir” memberi petunjuk bahwa
penyaluran hasil wakaf itu adalah untuk kebaikan umum maupun khusus seperti
kerabat,fakir miskin,para pelajar,orang-orang yang berjihad dan lain sebagaianya.
Kalimat “ tidak
bermasalah atas orang yang mengurusnya…” menunjukkan esksistensi nadzir
(pengelola) yang melaksanakan syarat-syarat yang ditentukan oleh pewakaf,baik
pengelolaan asset dan penyalurannya kepada yang berhak.
Kalimat “ Untuk
memakan (hasil)nya dengan cara yang makruf (yang baik)” menjelaskan bahwa
pengelola dapat mengambil nafkah hidupnya dari hasil asset wakaf dengan cara
yang dibenarkan sebagai kompensasi keterikatan dirinya terhadap pengelolaan dan
pengawasanya terhadap aset wakaf.
Dari
hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa wakaf mempunyai kriteria tertentu,yaitu
pokok harta bersifat utuh,kekal dan atau tahan lama,dapat diambil
manfaatnya,dan mempunyai tujuan tertentu yakni untuk kebaikan umat Islam.[10]
C. Akad-akad wakaf
a.Dengan perbuatan : Seperti ketika seseorang membangun
sebuah masjid dan memberikan izin untuk sholat di dalamnya tanpa harus mencari
persetujuan hukum dari seorang hakim.Namun dalam hal ini para fuqaha berbeda
pendapat dalam menentukan sah tidaknya wakaf yang diberikan melalui
perbuatan.Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Pendapat Syafi’iyah
Pengikut
Syafi’iyah berpendapat bahwa wakaf tidak sah,kecuali dengan perkataan dari
orang yang sanggup mengucapkan dengan ucapan yang bisa dipahami. Masih menurut pendapat mereka bahwa,isyarat
dan tulisan orang bisu itu bisa disamakan dengan lafal.Sama halnya,dengan
tulisan orang yanag bisa bicara dibarengi dengan niat.Hanya saja,para pengikut
syafi’iah mengecualikan beberapa hal dari kaidah ini.Menurut mereka,jika ada
orang berniat membangun masjid di atas tanah kosong,dan pembangunan itu pun
dilaksanakan hingga masjid berdiri di tanah tersebut,maka tidak memerlukan
pelafalan lagi.Sebab,perbuatan nyata yang disertai niat sudah cukup jelas,meski
tidak disertai dengan niat.
2.Pendapat Malikiyah
Secara
eksplisit,fuqaha madzhab Maliki membolehkan wakaf dengan perbuatan,atau tanpa
lafal.Hanya saja,mereka tidak mengkhususkan pada wakaf masjid saja.Lebih dari
itu,mereka menyempurnakannya dengan wakaf atas segala sesuatu yang dimaksudkan
bagi kemaslahatan umum.Sebagaimana pendapat ulama Hanbaliah.
Al-Khurasyi
berkata,”Sesuatu yang dapat mewakili fungsi shigat (ucapan),bisa disebut
sebagai shigat (ucapan) itu sendiri.Demikian juga,dengan orang yang
membanngun masjid,kemudian mempersilahkan dirinya dan orang banyak untuk
melakukan shalat di dalamnya,tanpa membedakan dari daerah mana mereka berasal
dan shalat apa yang dilaksanakan.Kebiasaan seperti inilah,yang kemudian
mewakili fungsi pelafalan,apakah masjid itu menjadi wakaf atau tidak.
3.Pendapat Hanafiyah
Kalangan
Hanafiyah membolehkan secara mutlak wakaf masjid,meski tanpa pelafalan yang
jelas.Mereka mendasarkannya pada kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat.Menurut mereka,segala sesuatu yang berjalan menurut adat (kebiasaan)
itu sah.Mengenai hal ini,Ibn Najm berpendapat bahwa yang menjadikan tanah
sebagai masjid,tidak perlu diucapkan :” Saya mewakafkan” atau lafal lain yang
seperti itu.Sebab,dalam kebiasaan atau adat yang belaku secara umum,melakukan
shalat di setiap masjid itu dibolehkan,tanpa ada pembedaan masjid wwakaf atau
bukan.Namun beberapa ulama lainnya menyaratkan adanya saksi dalam proses
tersebut.
4.Pendapat hanbaliah
Ahli
fiqh mazhab Hanbali berpendapat bahwa wakaf untuk kemaslahatan umum adalah
sah,meski tanpa lafal.Mereka menyamakanya dengan kebiasaan jual beli tanpa
lafal,yaitu jual beli yang cukup dengan aktivitas membayar-dari satu pihak-dan
menyerahkan dari pihak lain.Hanya saja,mereka mensyaratkan adanya indikasi yang
menunujukkan adanya keinginan berwakaf.Misalnya,seorang membangun masjid,lalu
mengizinkan orang lain shalat di tempat itu.
Ibnu
Qudamah mengatakan bahwa sah tidaknya berwakaf itu ditentukan oleh ada tidaknya
perkataan atau perbuatan yang mengarah pada wakaf.Misanya,ia membangun masjid
dan mengizinkan orang untuk shalat di dalamnya,izin untuk melakuka shalat
itulah yang disebut sebagai perkataan atau perbuatan yang mengindikasikan
adanya wakaf.
b.Dengan perkataan,baik dengan lafadz yang kinayah maupun
shorih.Adapun lafadz sharih adalah lafal
yang populer dan sering digunakan dalam transaksi wakaf,seperti : waqaftu,hasabtu,sabiltu.Selain
ketiga bentuk ini,para fuqoha berselisih pendapat.
Sedangkan lafadz yang kinayah adalah merupakan
lafadz yang menunjukkan beberapa kemungkinan makna,bisa berarti wakaf bisa juga
bermakna lain. Seperti saya mensedekahkkannya kepadamu.
Adapun
sifat dari akad wakaf ini menjadi lazim (mengikat) apabila telah terjadi
suatu akad yang sah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
D.Rukun dan Syarat Wakaf
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan rukun
wakaf.Perbedaan tersebut merupakan impikasi dari perbedaan mereka dalam
memandang subtansi wakaf.Pengikut hanafi memandang bahwa rukun wakaf hanyalah
sebatas shighat (lafal) yang menunjukkan makna/subtansi wakaf.Karena
itu,Ibn Najm pernah mengatakan bahwa rukun wakaf adalah lafal-lafal yang
menunujukkan terjadinya wakaf.
Berbeda
dengan Hanafiyah,pengikut Malikiyah,Syafi’iyah,Zaidiyah dan Hanbaliah memandang
bahwa rukun wakaf adalah sebagai berikut :
a.Mauquf
: Barang atau sesuatu yang diwakafkan.
b.Mauquf
alaih : Tujuan waqaf (orang yang menerima wakaf).
c.Shighat
: Ijab dan Qobul.
d.Waqif : Orang yang mewaqafkan
Syarat-syarat
yang berkaitan dengan wakif ialah mempunyai kecakapan melakukan tabarru,yaitu
melepaskan hak milik tanpa imbalan materi.Orang yang dikatakan cakap untuk
bertabarru adalah baligh,berakal sehat,dan tidak dipaksa.
Syarat-syarat
yang berkaitan dengan harta yang diwakafkan adalah bahwa harta wakaf merupakan
harta yang bernilai,milik waqif,dan tahan lama untuk digunakan.
Syarat-syarat
yang berhubungan dengan tujuan wakaf ialah bahwa tujuan wakaf harus sesuai
dengan nilai-nilai ibadah,sebab wakaf merupakan salah satu amalan shadaqah yang
merupakan salah satu perbuatan ibadah.
Syarat-syarat
shighat wakaf ialah bahwa wakaf dapat di-shighat-kan,baik dengan
lisan,tulisan,maupun isyarat.Wakaf dipandang telah terjadi apabila ada
pernyataan wakif (ijab) dan pernyataan qabul dari mauquf alaih tidak diperlukan.Isyarat
hanya diperbolehkan bagi wakif yang tidak mampu melakukannya dengan lisan atau
tulisan.
E.Macam-macam Wakaf
Menurut
para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian :
1.Wakaf ahli (khusus);
2.Wakaf khairi (umum).
Wakaf
ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakf khusus.Maksud wakaf ahli ialah wakif
yang ditujukan kepada orang-orang tertentu,seorang atau lebih,baik keluarga
wakif atau orang lain.Misalnya,seseorang mewakafkan buku-buku yang ada
diperpustakaan pribadinya untuk keturunanya atau orang yang mampu
menggunakannya.
Wakaf
semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah
orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Masalah
yang mungkin akan timbul dalam wakaf ini apabila keturunan atau orang-orang
yang ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf,atau
orang-orang yang ditunjuk telah tidak ada,maka wakaf harus dikembalikan kepada
syarat umum,yaitu wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu.Dengan
demikian,meskipun orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan benda-benda
wakaf tealah punah,buku-buku tersebut tetap berkedudukan sebagai benda wakaf
sehingga dapat digunakan oleh keluarga lain atau bila tidak ada digunakan oleh
umum.
Berdasarkan
pengalaman,wakaf ahli setelah melampaui ratusan tahun mengalami kesulitan dalam
pelaksaan yang sesuai dengan tujuan wakf yang seungguhunya,terlebih bila
keturunanya telah berkembang sedemikain rupa.Berdasarkan hal ini di Mesir wakaf
ahli dihapuskan dengan Undang-Undang No.180 tahun 1952.
Wakaf
khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan
umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.Wakaf iniliah yang
benar-benar sejalan dengan amalan wakaf yang dianjurkan dalam ajaran Islam,yang
dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal dunia,selama
harta masih dapat diambil manfaatnya.
F.Menukar dan Menjual Harta Wakaf
Berdasarkan
hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a yang
menceritakan tentang wakaf Umar bahwa wakaf tidak boleh dijual,diwariskan,dan
dihibahkan.Namun,dalam hal ini terdapat masalah yaitu apabila harta wakaf
berkurang,rusak,atau tidak memenuhi fungsinya sebagai harta wakaf,apakah wakaf
harus tetap dipertahanakan ?
Dalam
perspektif mazdhab Hanafiyah,Ibdal (menukar) dan istibdal
(penggantian) adalah boleh.Kebijakan ini berpijak dan menitik beratkan pada
maslahat yang menyertai praktik tersebut.Pembolehan ini bertolak dari sikap
toleran dan keleluasaan yang sangat dijunjung tinggi oleh penganut mazdhab
Hanbaliah.Menurut mereka,penukaran boleh dilakukan oleh siapa pun,baik waqif
sendiri,orang lain maupun hakim tanpa menilik jenis barang yang
diwakafkan,apakah tanha yang terurus,tidak terurus,bergerak maupun tidak
bergerak.
Sedangkan
menurut pendapat mazhab Malilki pada prinsipnya melarang keras penggantian
barang wakaf,namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan
membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak.Berikut ini,akan
dijelaskan pendapat mereka.Kebanyakan fuqaha mazhab Maliki memperbolehkan
penggantian wakaf yang bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan.Pendapat ini
termasyhur dalam riwayat Imam Malik.Seperti,pakaian yang rusak atau kuda
sakit,maka barang tersebut boleh dijual dan dibelikan barang sejenis yang bisa
diambil manfaatnya.Sedangkan dalam masalah barang yang tidak bergerak mereka
melarangnya,kecuali dalam keadaan darurat yang sangat jarang terjadi.[11]
[1]
Muhammad al-Syarbini al-Khatib,Al-Iqna fi Hall al-Alfadz bin Abi Syuza,(Dar
al-Ihya al-Kutub : Indonesia,t.t).,h.319.
[2]
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Ahkam Al-Waqf fi Al-Syariah Al-Islamiyah,Dompet
Dhu’afa Republika,Cet I,2004,h.37.
[3]
Sayyid Sabiq,Fiqhus Sunnah,Darul Fath,2004,Jil 4,h.423.
[4]
Abi Bakr Muhammad Ibn Taqiy al-Din,Kifayat al-Akhyar,PT Al-Ma’aarif:
Bandung,t.t.,h.119.
[5]
Muslim (1631)
[6]
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam,Syarah Bulughul Maram,Jil 5,Pustaka
Azzam,Cet I,2006,h.116.
[7]
Ibid.
[8]
Sayyid Sabiq,Ibid.,h.433.
[9]
Sayid Sabiq,Ibid.,h.345-346.
[10]
Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam,Op.,Cit.117-121.
[11]
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Op.,Cit.349-375.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar