Rabu, 04 April 2012

Wakaf


WAKAF
1.Pengertian Wakaf
          Menurut bahasa wakaf berasal dari kata waqf  yang berarti radiah (terkembalikan),al-tahbis (tertahan),al-tasbil (tertawan),dan al-man’u (mencegah).[1]
            Kata al-waqf  adalah bentuk masdar dari ungkapan waqfu al-syai’,yang artinya berarti menahan sesuatu.Imam Antarah,dalam syairnya,berkata : “untaku tertahan di suatu tempat,seolah-olah dia tahu agar aku bisa berteduh di tempat itu.”
            Dengan demikian,penngertian wakaf,secara bahasa,adalah menyerahkan tanah kepada orang-orang miskin-atau untuk orang-orang miskin-untuk ditahan.Diartikan demikian karena,barang milik itu dipegang dan ditahan oleh orang lain,seperti menahan hewan ternak,tanah dan segala sesuatu.[2]
            Sedangkan menurut istilah (syara’) yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama adalah sebagai berikut.
1.Sayid Sabiq dalam fiqh al-Sunnah berpendapat bahwa wakaf adalah :
حبس الاصل وتسبيل الثمرة.أي حبس المال وصرف منافعه في سبيل الله.
            “menahan yang asal dan memanfaatkan hasilnya,maksudnya menahan harta yang dapat diambil manfaatnya,dan memanfaatkan hasilnya untuk mendapat ridha Allah.”[3]
            Kata habs berarti juga al-man’u i(mencegah),yang berkedudukan sebagai jenis yang di dalamnya tercangkup semua bentuk habs (menahan),seperti rahn (gadai) dan hajr (sita jaminan).
            Kata al-Ashl ini merupakan penjelas bahwa harta yang ditahan itu merupakan pokok harta tersebut,bukan merupakan harta yang dihasilkan dari pokok harta tersebut.kata ini memiliki maksud bahwa harta yang ditahan adalah bentuk harta yang diwakafkan oleh waqif itu sendiri.
            Kalimat sharrafa mana’fiuhu fi  sabilillah memberikan pengertian bahwa harta wakaf itu hasilnya harus dimanfaatkan untuk kebaikan dan mengecualikan pemanfaatkan di jalan yang tidak diridhai Allah swt..
2.Imam Taqiy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni dalam Kifayat al-Akhyar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah :
ممنوع من التصرف في عينه وتصرف منافعه في البر تقربا ألي الله
          “Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda (zatnya),dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”[4]
            Kata mamnu’ di sini merupakan persamaan kata dari al-habs yang berarti menahan sebagaimana keterangan di atas.
            Min tasarrufin fi ‘ainihi memberikan bahwa zatnya harta yang diwakafkan itu tidak dapat ditasarrufkan dan sifatnya harus kekal.
            Taqarruban ila Allah di sini memberikan pengertian bahwa tujuan utama dari wakaf ini adalah agar seorang hamba lebih mendekatkan diri kepada Allah dan niatnya pun harus bersih.Sebab jika niat berwakaf ini salah maka pahala dari wakaf itu tidak akan mengalir.
            Dari dua definisi tersebut kiranya dapat diketahui bahwa wakaf adalah menahan suatu benda yang kekal zatnya,dan memungkinkan untuk dimanfaatkan guna diberikan di jalan kebaikan.





B.Dasar Hukum Wakaf
1.Al-Qur’an
            Adapun yang dinyatakan sebagai dasar hukum wakaf oleh para ulama,yaitu :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãèŸ2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3­/u (#qè=yèøù$#ur uŽöyø9$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ
          “ Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”
            Dalam ayat lain surat al-‘imran :92,Allah berfirman :
`s9 (#qä9$oYs? §ŽÉ9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB šcq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOŠÎ=tæ ÇÒËÈ
            “ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
            Ayat tersebut mengisyaratkan anjuran bersedekah.Sedangkan wakaf adalah bentuk dari sedekah.Karena itu,wakaf mengikuti hukum sedekah.yaitu sunnah.

2.Hadist

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ
            “Dari Abu Huroirah R.a,Bahawasanya Rasulullah Saw.bersabda : Apabila telah mati seorang manusia,maka terputuslah pahala darinya,keculai tiga perkara :(a) Shadaq Jariyah,(b) ilmu yang bermanfaat,(c) anak yang shaleh yang mendoakan orang tuanya.”[5]
            Hadist tersebut disebutkan dalam bab wakaf,karena para ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud sedekah jariyah dalam hadist tersebut adalah wakaf.Dengan demikian pahala dari wakaf tidak akan terputus sepanjang pokok harta wakaf masih ada.Dari statemen tersebut para ulama ,berpendapat bahwa harta wakaf harus bersifat kekal,sehingga yang boleh diwakafkan adalah benda yang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan.
            Sedekah jariyah, seperti mewakafkan lahan untuk dimanfaatkan,hewan untuk dinaiki, perkakas-perkakas yang dapat digunakan, buku, mushaf, masjid atau asrama pelajar. Semua ini dan yang sejenisnya pahalanya mengalir kepada sang pewakaf yang bermanfaat yang digunakan untuk mewujudkan dan untuk meningkatkan kebaikan serta mendukung usaha-usaha kebaikan seperti keilmuan, jihad, ibadah dan lain sebagainya.
Dari sini kita dapat beragumen bahwa wakaf yang syar’i adalah wakaf untuk tujuan kebaikan kepada kerabat, fakir miskin dan lembaga-lembaga sosial lainnya yang mendapatkan manfaat.
            Ilmu yang tetap bermanfaat setelah wafatnya seperti murid-muridnya yang terus menyebarkan ilmunya, buku-buku hasil karangan atau yang diterbitkan, dalam hadist shahih  dijelaskan.[6]
لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من حمر النعم
            “Allah memberi hidayah kepada satu orang melaluimu adalah lebiih baik bagimu dari pada (mendapatkan) onta berwarna merah (harta berharga).
            Anak yang shalih, baik anak kandung maupun cucu, baik laki-laki maupun perempuan. Doa anak yang salih serta pahala kebaikan yang dihadiahkan akan bermanfaat bagi kedua orangtuanya. Ketika beribadah kepada Allah, maka orang tua atau kakeknya akan mempoeroleh manfaat atas amal ibadahnya tersebut.
            Ketiga hal itu dapat saja ada dari satu orang. Contohnya orang yang berwakaf yang ilmu atau buku karangannya dimanfaatkan oleh orang lain serta mempunyai keturunan yang salih serta menghadiahkan amal kebaikan untuknya. Sungguh anugerah Allah SWT begitu luas.
            Ibnul Jauzi berkata: “mereka yang menyadari bahwa dunia adalah arena perlombaan untuk menghasilkan segala kebaikan dan menyadari bahwa setiap kali martabatnya secara amal dan keilmuan naik maka bertambah pula martabatnya di akhirat, akan berlomba dengan waktu dan tidak akan menyia-nyiakan waktunya sesaatpun serta tidak akan menunggalkan kebaikan yang mampu dilakukan. Siapa yang diberi kekuatan oleh Allah  untuk melakukan hal itu maka raihlah ilmu dan dimasa hidupanya dan bersabarlah atas setiap cobaan dan kekurangan hingga dia dapat mewujudkan apa yang dia inginkan.[7]
            Pendapat bahwa yang dimaksud sadaqah jariyah adalah wakaf,diperkuat dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah .

وأخرج ابن ماجه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " إن مما يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته: علما نشره أو ولدا صالحا تركه أو مصحفا ورثه أو مسجدا بناه أو بيتا لابن السبيل بناه أو نهرا أجراه أو صدقة أخرجها من ماله في صحته وحياته تلحقه من بعد موته ".
            “Bahwasanya Rasulullah Saw.bersabda : “ Sesungguhnya diantara perkara yang akan dijumpai seorang mukmin dari amal dan kebaikannya setelah dia mati adalah : Ilmu yang diajarkannya atau anak soleh yang ditinggalkanya atau al-Quran yang diwariskannya atau masjid yang telah dibangunnya atau rumah yang dibangunnya untuk Ibnu Sabil,sungai yang dialirkannya,atau sedekah yang dikeluarkan dari harta di waktu sehat dan hidupnya,semua di jumpai pahalanya sesudah dia mati.”
            Hadist di atas juga memberikan pengertian bahwa terdapat beberapa jenis wakaf sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadist tersebut.Selain itu terdapat juga beberapa jenis wakaf yang merupakan tambahan dari jenis wakaf di atas.Sebagaimana yang disajakkan oleh as-Suyuthi :
            “Jika anak adam telah mati,tiada pahal yang mengalir padanya,kecuali sepuluh perkara,ilmu yang disebarkannya,doa anak yang dididiknya,pohon kurma yang ditanamnya,sedekah yang diberikannya,mushaf yang diwariskannya,tempat berlindung yang dibangunnya,sumur yang digalinya,sungai yang di alirkannya,rumah persinggahan yang didirikannya,dan majelis dzikir yang dibangunkannya.”[8]

2.Praktek wakaf dizaman Rasulullah

عن أنس رضي الله عنه قال : لما قدم رسول الله صلى الله عليه و سلم المدينه و أمر ببناء المسجد قال : يا بني النجار: تأ منوني بحاطئكم هذا ؟ فقالوا : والله لا نطلب ثمنه الا الى الله تعالى. أي فأ خذه فبناه مسجدا.
            “Riwayat dari Anas r.a bahwa ketika Rasulullah saw.datang di Madinah dan memerintahkan membangun masjid,beliau berkata,’Wahai bani Najar,apakah engkau hendak menjual kebunmu ini ?’ Mereka menjawab,’Demi Allah,kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah.” Maksudnya agar Rasulullah mengambil dan menjadikannya sebagai masjid.”(HR Bukhari,Tirmidzi,dan Nasa’i)
 وعن عثمان رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " من حفر بئر رومة فله الجنة. قال: فحفرتها " (4).وفي رواية للبغوي: " أنها كانت لرجل من بني غفار عين يقال لها رومة، وكان يبيع منها القربة بمد، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: تبيعنيها بعين في الجنة؟ فقال: يا رسول الله، ليس لي ولا لعيالي غيرها. فبلغ ذلك عثمان. فاشتراها بخمسة وثلاثين ألف درهم. ثم أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: أتجعل لي ما جعلت له؟ قال: نعم.قال: قد جعلتها للمسلمين.
            “Riwayat dari ustman r.a bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw.bersabda.’Barangsiapa menggali sumur Raumah,maka untuknya surge.” Ustman berkata,’Sumur Raumah itu pun aku gali.” Dalam satu riwayat oleh al-Baghawi disebutkan jika seorang laki-laki dari Bani Ghifar mempunyai sebuah mata air bernama Raumah,sedang ia menjual satu kaleng dari airnya dengan harga satu mud.Maka Rasulullah saw.berkata padanya,’Maukah engkau menjualnya padaku dengan satu mata air sungai ? Orang itu menjawab,’Wahai Rasulullah aku dan keluargaku tidak mempunyai apa-apa selain itu.’Berita itu pun sampailah kepada Ustman.Lalu Utsman membelinya dengan harga tiga puluh lima ribu dirham.Kemudian datanglah Utsman kepada Nabi saw.,Lalu ia berkata,’ Maukah engkau jadikan bagiku seperti apa yang hendak engkau jadikan baginya (pemilik sumur itu)?”Beliau menjawab,’Ya’.Utsman berkata,’Aku telah menjadikan sumur itu sebagai wakaf bagi kaum muslimin.”
وعن سعد بن عبادة رضي الله عنه أنه قال: يا رسول الله إن أم سعد ماتت فأي الصدفة أفضل (1)؟ قال: الماء. فحفر بئرا وقال: هذه لام سعد
            “Dari Sa’ad bin Ubadah r.a bahwa dia bertanya kepada Rasulullah saw.,Wahai Rasulullah,sesungguhnya Ummu Sa’id telah mati,lalu apakah sedekah yang paling baik pahalanya?’Rasulullah menjawab,’Air’Kemudian sa’ad menggali sumur, dan berkata,’Sumur ini adalah untuk Ummu Sa’ad.’”

            Dalam hadist lain disebutkan sebagai berikut :

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : { أَصَابَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إنِّي أَصَبْت أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ قَالَ : إنْ شِئْت حَبَسْت أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْت بِهَا قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ : أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا ، وَلَا يُورَثُ ، وَلَا يُوهَبُ ، فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ ، وَفِي الْقُرْبَى ، وَفِي الرِّقَابِ ، وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ ، وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَالضَّيْفِ ، لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، وَيُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ،وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ .وَفِي رِوَايَةِ لِلْبُخَارِيِّ : { تَصَدَّقَ بِأَصْلِهَا : لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ } .

            “Dari Ibnu Umar berkata : Umar memperoleh sebidang tanah di Khaibar,kemudian beliau menghadap Nabi Saw,” Saya mempunyai sebidang tanah di Khaibar,saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti harta itu,maka apakah yang engkau perintahkan ? “ Nabi menjawab : “Bila kamu suka,kamu tahan pokoknya;dan kamu sedekahkan hasilnya.” Kemudian Umar bersedekah,tidak dijual,tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan.Umar bersedekah pada fakir,kerabat,budak belian,sabillah,ibnu sabil,dan tamu dan tidak berdosa bagi orang yang memiliki tanah itu memakan hasilnya dengan cara sepantasnya,dan memberikan makanan tanpa menyimpan harta untuk dirinya sendiri.”[9]

Kosakata Hadist
Ardhan bi Khaibar : Nama lahan yang diperoleh Umar RA tersebut adalah Tsamgh,dengan huruf tsa’ berharakat fathah,mim yang mati dan diakhiri dengan huruf ghain.
Yasta’miruhu : Umar mengajak Rasulullah bermusyawarah mengenai tanah itu.
Anfasu ‘Indi : Harta terbaik dan paling mengagumkan yang ada padaku.
Al-Qurbaa : Kerabat seseorang.Maksudnya mencakup saudara sebapak dan saudara seibu.Kerabat di sini artinya kerabat pewakaf.
Ar-Riqaab : Mereka adalah para budak yang melakukan transaksi mukaatabah dengan tuannya yang tidak mempunyai harta untuk membayar kitaabah-nya (untuk pembebasan dirinya dari perbudakan).
Fi Sabiil Lillaah : Mereka adalah para pasukan; dan apa saja yang mendukung dakwah.
Ibnu As-Sabiil : Musafir yang kehabisan bekal di luar daerahnya.Sabiil sendiri artinya jalan.Mereka dinamakan sebagai Ibn as-sabiil karena mereka selalu berada di jalan.
Adh-dhayf : Orang yang singgah ditempat orang lain,baik diundang maupun tidak.Kata adh-dhayf  dapat diungkapkan untuk tunggal atau jamak sebab pada asalnya ia adalah mashdar .Namun kadang-kadangg dijamakkan menjadi adhyaaf  dan dhuyuf.
La Junaha : Maksudnya tidak berdosa jika orang yang mengurus tanah itu memakan sebagian hasilnya dengan cara yang ma’ruuf (benar).
Ghaira Mutawwamil : Kedudukannya secara I’raab menjadi haal dari kata man.Maksudnya,pengurus tanah itu dapat memakan atau memberi makan hasilnya tanpa menjadikan harta wakaf itu sebagai miliknya.Ia hanya berhak menginfakkan hasilnya tanpa melewati batas kewajaran.
            Hadist ini menjelaskan bahwa wakaf adalah menahan asset (raqabah) wakaf dari segala transaksi pemindahan milik atau dari segala yang menjadi penyebab pemindahan milik dan penyerahan hasil aset.
            Kalimat “dengan syarat tidak dijual” menjelaskan hukum pengelolaan asset wakaf.Kalimat ini menjelaskan bahwa pengelolaan asset wakaf tidak dillakukan melalui cara pemindahan milik,seperti jual-beli dan hibah.Aset wakaf harus tetap dalam kondisinya,hanya saja dikelola sesuai dengan syarat syar’I yang ditentukan oleh wakaf.
            Wakaf hanya bisa berlaku untuk barang-barang yang bisa dimanfaatkan dan dalam waktu yang sama subtansi barang-barang tidak berubah.Sedangkan untuk barang-barang yang habis dengan dimanfaatkan disebut dengan sedekah,bukan wakaf.
            Kalimat “hasil tanah itu disedekahkan kepada orang-orang fakir” memberi petunjuk bahwa penyaluran hasil wakaf itu adalah untuk kebaikan umum maupun khusus seperti kerabat,fakir miskin,para pelajar,orang-orang yang berjihad dan lain  sebagaianya.
            Kalimat “ tidak bermasalah atas orang yang mengurusnya…” menunjukkan esksistensi nadzir (pengelola) yang melaksanakan syarat-syarat yang ditentukan oleh pewakaf,baik pengelolaan asset dan penyalurannya kepada yang berhak.
            Kalimat “ Untuk memakan (hasil)nya dengan cara yang makruf (yang baik)” menjelaskan bahwa pengelola dapat mengambil nafkah hidupnya dari hasil asset wakaf dengan cara yang dibenarkan sebagai kompensasi keterikatan dirinya terhadap pengelolaan dan pengawasanya terhadap aset wakaf.
            Dari hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa wakaf mempunyai kriteria tertentu,yaitu pokok harta bersifat utuh,kekal dan atau tahan lama,dapat diambil manfaatnya,dan mempunyai tujuan tertentu yakni untuk kebaikan umat Islam.[10]

C. Akad-akad wakaf
a.Dengan perbuatan : Seperti ketika seseorang membangun sebuah masjid dan memberikan izin untuk sholat di dalamnya tanpa harus mencari persetujuan hukum dari seorang hakim.Namun dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan sah tidaknya wakaf yang diberikan melalui perbuatan.Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.Pendapat Syafi’iyah
            Pengikut Syafi’iyah berpendapat bahwa wakaf tidak sah,kecuali dengan perkataan dari orang yang sanggup mengucapkan dengan ucapan yang bisa dipahami.    Masih menurut pendapat mereka bahwa,isyarat dan tulisan orang bisu itu bisa disamakan dengan lafal.Sama halnya,dengan tulisan orang yanag bisa bicara dibarengi dengan niat.Hanya saja,para pengikut syafi’iah mengecualikan beberapa hal dari kaidah ini.Menurut mereka,jika ada orang berniat membangun masjid di atas tanah kosong,dan pembangunan itu pun dilaksanakan hingga masjid berdiri di tanah tersebut,maka tidak memerlukan pelafalan lagi.Sebab,perbuatan nyata yang disertai niat sudah cukup jelas,meski tidak disertai dengan niat.

2.Pendapat Malikiyah
            Secara eksplisit,fuqaha madzhab Maliki membolehkan wakaf dengan perbuatan,atau tanpa lafal.Hanya saja,mereka tidak mengkhususkan pada wakaf masjid saja.Lebih dari itu,mereka menyempurnakannya dengan wakaf atas segala sesuatu yang dimaksudkan bagi kemaslahatan umum.Sebagaimana pendapat ulama Hanbaliah.
            Al-Khurasyi berkata,”Sesuatu yang dapat mewakili fungsi shigat (ucapan),bisa disebut sebagai shigat (ucapan) itu sendiri.Demikian juga,dengan orang yang membanngun masjid,kemudian mempersilahkan dirinya dan orang banyak untuk melakukan shalat di dalamnya,tanpa membedakan dari daerah mana mereka berasal dan shalat apa yang dilaksanakan.Kebiasaan seperti inilah,yang kemudian mewakili fungsi pelafalan,apakah masjid itu menjadi wakaf atau tidak.
3.Pendapat Hanafiyah
            Kalangan Hanafiyah membolehkan secara mutlak wakaf masjid,meski tanpa pelafalan yang jelas.Mereka mendasarkannya pada kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.Menurut mereka,segala sesuatu yang berjalan menurut adat (kebiasaan) itu sah.Mengenai hal ini,Ibn Najm berpendapat bahwa yang menjadikan tanah sebagai masjid,tidak perlu diucapkan :” Saya mewakafkan” atau lafal lain yang seperti itu.Sebab,dalam kebiasaan atau adat yang belaku secara umum,melakukan shalat di setiap masjid itu dibolehkan,tanpa ada pembedaan masjid wwakaf atau bukan.Namun beberapa ulama lainnya menyaratkan adanya saksi dalam proses tersebut.
4.Pendapat hanbaliah
            Ahli fiqh mazhab Hanbali berpendapat bahwa wakaf untuk kemaslahatan umum adalah sah,meski tanpa lafal.Mereka menyamakanya dengan kebiasaan jual beli tanpa lafal,yaitu jual beli yang cukup dengan aktivitas membayar-dari satu pihak-dan menyerahkan dari pihak lain.Hanya saja,mereka mensyaratkan adanya indikasi yang menunujukkan adanya keinginan berwakaf.Misalnya,seorang membangun masjid,lalu mengizinkan orang lain shalat di tempat itu.
            Ibnu Qudamah mengatakan bahwa sah tidaknya berwakaf itu ditentukan oleh ada tidaknya perkataan atau perbuatan yang mengarah pada wakaf.Misanya,ia membangun masjid dan mengizinkan orang untuk shalat di dalamnya,izin untuk melakuka shalat itulah yang disebut sebagai perkataan atau perbuatan yang mengindikasikan adanya wakaf.  
b.Dengan perkataan,baik dengan lafadz yang kinayah maupun shorih.Adapun lafadz  sharih adalah lafal yang populer dan sering digunakan dalam transaksi wakaf,seperti : waqaftu,hasabtu,sabiltu.Selain ketiga bentuk ini,para fuqoha berselisih pendapat.
 Sedangkan lafadz yang kinayah adalah merupakan lafadz yang menunjukkan beberapa kemungkinan makna,bisa berarti wakaf bisa juga bermakna lain. Seperti saya mensedekahkkannya kepadamu.   
            Adapun sifat dari akad wakaf ini menjadi lazim (mengikat) apabila telah terjadi suatu akad yang sah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.

D.Rukun dan Syarat Wakaf
            Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan rukun wakaf.Perbedaan tersebut merupakan impikasi dari perbedaan mereka dalam memandang subtansi wakaf.Pengikut hanafi memandang bahwa rukun wakaf hanyalah sebatas shighat (lafal) yang menunjukkan makna/subtansi wakaf.Karena itu,Ibn Najm pernah mengatakan bahwa rukun wakaf adalah lafal-lafal yang menunujukkan terjadinya wakaf.
            Berbeda dengan Hanafiyah,pengikut Malikiyah,Syafi’iyah,Zaidiyah dan Hanbaliah memandang bahwa rukun wakaf adalah sebagai berikut :

a.Mauquf : Barang atau sesuatu yang diwakafkan.
b.Mauquf alaih : Tujuan waqaf (orang yang menerima wakaf).
c.Shighat : Ijab dan Qobul.
d.Waqif : Orang yang mewaqafkan
            Syarat-syarat yang berkaitan dengan wakif ialah mempunyai kecakapan melakukan tabarru,yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi.Orang yang dikatakan cakap untuk bertabarru adalah baligh,berakal sehat,dan tidak dipaksa.
            Syarat-syarat yang berkaitan dengan harta yang diwakafkan adalah bahwa harta wakaf merupakan harta yang bernilai,milik waqif,dan tahan lama untuk digunakan. 
            Syarat-syarat yang berhubungan dengan tujuan wakaf ialah bahwa tujuan wakaf harus sesuai dengan nilai-nilai ibadah,sebab wakaf merupakan salah satu amalan shadaqah yang merupakan salah satu perbuatan ibadah.
            Syarat-syarat shighat wakaf ialah bahwa wakaf dapat di-shighat-kan,baik dengan lisan,tulisan,maupun isyarat.Wakaf dipandang telah terjadi apabila ada pernyataan wakif (ijab) dan pernyataan qabul dari mauquf alaih tidak diperlukan.Isyarat hanya diperbolehkan bagi wakif yang tidak mampu melakukannya dengan lisan atau tulisan.

E.Macam-macam Wakaf
            Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian :
1.Wakaf ahli (khusus);
2.Wakaf khairi (umum).
            Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakf khusus.Maksud wakaf ahli ialah wakif yang ditujukan kepada orang-orang tertentu,seorang atau lebih,baik keluarga wakif atau orang lain.Misalnya,seseorang mewakafkan buku-buku yang ada diperpustakaan pribadinya untuk keturunanya atau orang yang mampu menggunakannya.
            Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
            Masalah yang mungkin akan timbul dalam wakaf ini apabila keturunan atau orang-orang yang ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf,atau orang-orang yang ditunjuk telah tidak ada,maka wakaf harus dikembalikan kepada syarat umum,yaitu wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu.Dengan demikian,meskipun orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan benda-benda wakaf tealah punah,buku-buku tersebut tetap berkedudukan sebagai benda wakaf sehingga dapat digunakan oleh keluarga lain atau bila tidak ada digunakan oleh umum.
            Berdasarkan pengalaman,wakaf ahli setelah melampaui ratusan tahun mengalami kesulitan dalam pelaksaan yang sesuai dengan tujuan wakf yang seungguhunya,terlebih bila keturunanya telah berkembang sedemikain rupa.Berdasarkan hal ini di Mesir wakaf ahli dihapuskan dengan Undang-Undang No.180 tahun 1952.
            Wakaf khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.Wakaf iniliah yang benar-benar sejalan dengan amalan wakaf yang dianjurkan dalam ajaran Islam,yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal dunia,selama harta masih dapat diambil manfaatnya.

F.Menukar dan Menjual Harta Wakaf
            Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a yang menceritakan tentang wakaf Umar bahwa wakaf tidak boleh dijual,diwariskan,dan dihibahkan.Namun,dalam hal ini terdapat masalah yaitu apabila harta wakaf berkurang,rusak,atau tidak memenuhi fungsinya sebagai harta wakaf,apakah wakaf harus tetap dipertahanakan ?
            Dalam perspektif mazdhab Hanafiyah,Ibdal (menukar) dan istibdal (penggantian) adalah boleh.Kebijakan ini berpijak dan menitik beratkan pada maslahat yang menyertai praktik tersebut.Pembolehan ini bertolak dari sikap toleran dan keleluasaan yang sangat dijunjung tinggi oleh penganut mazdhab Hanbaliah.Menurut mereka,penukaran boleh dilakukan oleh siapa pun,baik waqif sendiri,orang lain maupun hakim tanpa menilik jenis barang yang diwakafkan,apakah tanha yang terurus,tidak terurus,bergerak maupun tidak bergerak.
            Sedangkan menurut pendapat mazhab Malilki pada prinsipnya melarang keras penggantian barang wakaf,namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak.Berikut ini,akan dijelaskan pendapat mereka.Kebanyakan fuqaha mazhab Maliki memperbolehkan penggantian wakaf yang bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan.Pendapat ini termasyhur dalam riwayat Imam Malik.Seperti,pakaian yang rusak atau kuda sakit,maka barang tersebut boleh dijual dan dibelikan barang sejenis yang bisa diambil manfaatnya.Sedangkan dalam masalah barang yang tidak bergerak mereka melarangnya,kecuali dalam keadaan darurat yang sangat jarang terjadi.[11]
           



[1] Muhammad al-Syarbini al-Khatib,Al-Iqna fi Hall al-Alfadz bin Abi Syuza,(Dar al-Ihya al-Kutub : Indonesia,t.t).,h.319.
[2] Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Ahkam Al-Waqf fi Al-Syariah Al-Islamiyah,Dompet Dhu’afa Republika,Cet I,2004,h.37.
[3] Sayyid Sabiq,Fiqhus Sunnah,Darul Fath,2004,Jil 4,h.423.
[4] Abi Bakr Muhammad Ibn Taqiy al-Din,Kifayat al-Akhyar,PT Al-Ma’aarif: Bandung,t.t.,h.119.
[5] Muslim (1631)
[6] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam,Syarah Bulughul Maram,Jil 5,Pustaka Azzam,Cet I,2006,h.116.
[7] Ibid.
[8] Sayyid Sabiq,Ibid.,h.433.
[9] Sayid Sabiq,Ibid.,h.345-346.
[10] Abdullah bin Abdurrahman Al Basaam,Op.,Cit.117-121.
[11] Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Op.,Cit.349-375.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar