Demokratisai Lembaga Kepresidenan
(Tinjuan Yuridis-Historis Lembaga Kepresidenan di Indonesia)
Oleh: Soleh Hasan Wahid
Secara historis, lembaga kepresidenan di Indonesia telah mengalami
berbagai perubahan yang cukup siginifikan. Hal tersebut di latar belakangi oleh
perubahan-perubahan yang terjadi dalam konstelasi Negara Repubik Indonesia
selama kurun waktu berdirinya Negara ini. Secara yuridis, perubahan-perubahan
yang terjadi dalam lembaga kepresidenan meliputi model pengangkatan dan
pemberhentian pejabat di dalam lembaga kepresidenan serta tugas dan wewenangnya,
hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk menegakkan pemerintahan yang
demokratis serta membentuk pemerintahan yang mampu melaksanakan berbagai
aspirasi rakyat di Indonesia.
Dengan
melihat aspek historis dan yuridis lembaga kepresidenan di Indonesia. Jika
diibaratkan sebagai buku, dapat dikatakan bahwa reformasi lembaga kepresidenan
yang telah dilakukan di Indonesia saat ini, baru sampai kepada bab pendahuluan..
Oleh karena itu, perlu adanya tindak lanjut untuk mewujudkan demokratisasi
lembaga kepresidenan yang saat ini telah terbentuk. Menarik untuk di simak teori
pemisahan kekuasaan yang diajukan pertama kali oleh Montesquie dalam karyanya
yang berjudul ” Esprit des Lois ” yang diterbitkan pada tahun 1748, menurutnya
untuk mencapai negara yang demokratis kekuasaan dalam negara harus dipisahkan
menjadi tiga bagian yaitu eksekutif yang bertugas menjalankan peraturan dalam
negara., legislatif bertugas sebagai
pembentuk aturan atau undang-undang dan yang terakhir yudisial, bertugas untuk mengadili setiap pelanggaran terhadap
undang-undang. Teori tersebut kemudian di adopsi di Indonesia, namun dengan
praktek yang berbeda pemisahan kekuasaan di anggap tidak mencerminkan
pemerintahan yang demokratis, kemudian konsep tersebut dirubah menjadi
pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan sistem check and
balance antara lembaga kekuasaan negara. Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan, bahwa pemerintahan di anggap demokratis apabila tugas dan wewenang
antara satu lembaga dengan lembaga yang lain telah seimbang serta sesuai dengan
aspirasi rakyat Indonesia.
Berdasarkan
pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa yang menjadi tolak ukur utama dalam
menentukan lembaga kepresidenan yang demokratis dalam satu negara adalah
tingkat kesesuaian tugas dan wewenangya terhadap lembaga negara lain serta pertangung
jawaban atas tugas yang diemban lembaga kepresidenan tersebut. Dengan melihat
kenyataan historis, bahwa sampai saat ini pemerintah masih mencari-cari bentuk
lembaga kepresidenan yang demokratis, Indonesia ternyata masih belum mampu
membentuk sistem lembaga kepresidenan yang secara mapan dapat dianggap sebagai
pemerintahan yang demokratis. Oleh karena itu, pemerintah serta rakyat masih
harus mengkaji serta mengkritisi lebih lanjut pengaturan tugas dan wewenang
lembaga kepresidenan yang ada, untuk kemudian dijadikan dasar terhadap
perbaikan mutu lembaga kepresidenan agar menjadi lembaga pemerintahan yang
demokratis.
Tulisan
ini akan mengantarkan pembaca dalam menganalisis serta mengkritisi lembaga
kepresidenan di Indonesia. Tullisan ini memberikan gambaran mengenai
Lembaga Kepresidenan secara komprehensif, baik secara yuridis maupun secara
historis melalui pembahasan yang didasarkan pada Konstitusi yang pernah dan
sedang berlaku di Indonesia. Tulisan ini juga memberikan deskripsi singkat
terkait dengan bentuk lembaga kepresidenan yang demokratis, sebagai upaya dalam
demokratisasi lembaga kepresidenan di Indonesia.
Lembaga Kepresidenan S[1]ebagai
Sistem Pemerintahan Presidensial
Sistem
pemerintahan presidensial merupakan sistem pemerintahan yang tugas-tugas
eksekutifnya dijalankan dan dipertanggungjawabkan oleh Presiden. Dalam
menjalankan tugasnya, Presiden dibantu oleh wakil Presiden dan para menteri.
Dilandasi oleh teori pemisahan kekuasaan dan
didorong oleh keinginan yang kuat untuk menentang sistem parlementer yang
dipandang sebagai budaya Negara kolonial Inggris, sistem presidensial Amerika
memisahkan secara tegas tiga cabang kekuasaan. Karena itu karakteristik pertama
sistem presidensial adalah badan perwakilan tidak memiliki supremacy of
parliament karena lembaga tersebut bukan lembaga pemegang kekuasaan negara.[2]
Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial,
presiden dipilih, baik secara langsung atau melalui perwakilan, untuk masa
kerja tertentu, dan presiden memengang sekaligus jabatan Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala
eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara, yang
berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam
bidang masing-masing.[3]
Dalam sistem presidensial, kabinet tidak
bertanggungjawab secara kolektif, tetapi tiap-tiap menteri bertanggungjawab
secara individual kepada presiden. Dalam sistem presidensial, anggota badan
legislatif tidak boleh merangkap jabatan cabang eksekutif, dan sebaliknya,
pejabat eksekutif tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif[4].
Presiden bertanggungjawab bukan kepada pemilih,
tetapi kepada Konstitusi. Dia dapat di-impeach apabila melangar
konstitusi, tetapi tidak dapat diturunkan karena tidak dapat memenuhi janjinya
pada kampanye pemilu. Presiden dan badan perwakilan rakyat mempunyai kedudukan
yang setara, karena itu tidak dapat salaing menjatuhkan. Dalam bahasa UUD 1945,
Presiden adalah „neben“ bukan „geordenet“ dari DPR, sehingga tidak dapat saling
menjatuhkan. Dalam teori, sistem presidensial tidak mengenal adanya supremasi
satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masing-masing
kekuasaan, legislatif, eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap
cabang lainnya sesuai dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy
of the constitution. Cuma, dalam praktek, legislatiflah yang nyatanya
memegang kekuasaan lebih tinggi[5].
Selanjutnya,
Lembaga Kepresidenan atau Presidential institution merupakan istilah yang kerap
dipergunakan dalam berbagai arti; di Indonesia, perkataan presiden dipergunakan
dalam dua arti ; yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat (ambtsdrager).
Sedangkan dalam bahasa asing ( seperti Inggris ) untuk lingkungan jabatan
digunakan istilah PRESIDENCY atau kalau sebagai ajektif dipergunakan istilah
PRESIDENTIAL, misalnya; PRESIDENTIAL GOVERNMENT, sedangkan sebagai pejabat
digunakan istilah PRESIDENT. Dalam UUD 1945, penggunaan kata ” presiden ”
menunjukkan pejabat. Hal ini tampak dari rumusan – rumusan yang menyebut
Presiden. Misalnya, ” Calon Presiden dan wakil Presiden harus seorang warga Negara
Indonesia sejak kelahiran……”. Tetapi karena Presiden adalah pemangku jabatan
kepresidenan, dengan sendirinya dalam UUD 1945 dan peraturan perundang –
undangan lain yang mengatur mengenai Presiden sekaligus mengandung pula makna
pengaturan lingkungan jabatan Kepresidenan. Seperti
yang telah dikemukakan diatas bahwa di Indonesia istilah Presdiential
Institution digunakan dalam berbagi arti, untuk mencegah kerancuan pemakaian
istilah Bagir Manan dalam bukunya ” Lembaga Kepresidenan ” menggunakan istilah
Presiden sebagai Pejabat dan Lembaga Kepresidenan sebagai lingkungan jabatan.[6]
Dalam
RUU yang saat ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan
Indonesia, lembaga kepresidenan didefinisikan sebagai lembaga negara yang
mengatur organisasi dan tata kerja kepresidenan yang dijalankan oleh Presiden
dan Wakil Presiden dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di bidang
kenegaraan dan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.[7] Selanjutnya
dalam pasal 4 UUD 1945 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam melakukan
kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.[8]
Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Lembaga Kepresidenan di Indonesia
merupakan lembaga yang bertugas untuk menjalankan kekuasaan eksekutif dalam
Negara berdasarkan amanat kontitusi (UUD 1945) yang tugas dan kewenangannya
didasarkan pada bentuk sistem pemerintahan presidensial.
Tugas dan
Wewenang Lembaga Kepresidenan dalam Konstelasi Negara Republik Indonesia.
Untuk
mengatetahui sejarah lembaga kepresidenan serta perubahan tugas dan wewenaganya
dalam Konstelasi Negara Republik Indonesia, setidaknya dapat dibagi menjadi dua
periode yaitu Lembaga Kepresidenan Sebelum Perubahan UUD 1945 ( termasuk
periode Konstitusi RIS, dan UUD Sementara 1950 ) dan Lembaga Kepresidenan
Setelah Perubahan UUD 1945.
Pasal-pasal
yang mengatur tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara diatur dalam Bab III dan
juga Bab V yang mengatur tentang Kementerian Negara. Ketentuan-ketentuan
sebelum prubahan UUD 1945 menyatakan bahwa Kekuasan Negara yang tertinggi di
tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( die gezamte staatgewait liegt allein
bei der majelis )10, sedangkan Presiden menjalankan Haluan Negara menurut
garis-garis besar yang telah ditetapkan MPR, demikian pula mengenai
pengangkatannya dilakukan oleh MPR, Presiden adalah mandataris MPR, yang wajib
menjalankan putusan – putusan MPR. Secara eksplisit Penjelasaan UUD 1945 (
sebelum perubahan ) menyebutkan bahwa ” Presiden ialah penyelenggara pemerintah
Negara yang tertinggi dibawah Majelis, Dibawah Majelis Permusyawaran Rakyat,
Presiden ialah penyelenggara Pemerintah negara yang tertinggi , Dalam
menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan
presiden ( concentration of power and responsibility upon the President )11.
Presiden tidak bertangggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat , demikian pula
dengan Menteri Negara sebagai pembantu Presiden tidak bertanggungjawab kepada
DPR. Namun hal ini tidak berarti kekuasaan Presiden tidak terbatas, pada bagian
lain penjelasan UUD 1945 ( sebelum perubahan ) dinyatakan bahwa ” Kekuasaan
Kepala Negara tidak tak terbatas ” sebab Presiden bertanggungjawab kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi Negara, walalupun hal
ini tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945, demikian halnya dalam pasal 5
TAP MPR No. VI/MPR/1973 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja Lembaga
tertinggi Negara dengan/ atau antar lembaga – lembaga tinggi Negara yang
berbunyi :
1)Presiden tunduk dan
bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pada akhir masa
jabatannya memberikan pertanggungan jawab atas pelaksanaan Haluan Negara yang
ditetapkan oleh Undang – Undang Dasar atau Majelis di hadapan Sidang.
2)Presiden wajib memberikan
pertanggungan jawab dihadapan sidang istimewa Majelis yang khusus diadakan
untuk meminta pertanggungan jawab Presiden dalam pelaksanaan Haluan Negara yang
ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau Majelis.
Ketentuan diatas tidak menyebutkan arti pertanggungjawaban yang dimaksud, Pertanggungjawaban tersebut dalam arti yang luas dapat dilihat dalam TAP MPR No.I/MPR/1973 huruf d dan e yang berbunyi :
Ketentuan diatas tidak menyebutkan arti pertanggungjawaban yang dimaksud, Pertanggungjawaban tersebut dalam arti yang luas dapat dilihat dalam TAP MPR No.I/MPR/1973 huruf d dan e yang berbunyi :
1)meminta dari dan menilai pertanggungan jawab
Presiden tentang pelaksanaan Garis - Garis Besar Haluan Negara.
2)mencabut jabatannya apabila Presiden
sungguh-sungguh melanggar GBHN dan/atau UUD.
Dengan
demikian adalah logis Jika Presiden dapat diberhentikan oleh MPR meskipun masa
jabatannya belum berakhir, hal ini disebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan sebagai lembaga tertinggi diatas
Presiden12.
Berkenaan
dengan kekuasaan yang dimiliki Presiden seperti yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945, dapat dibagi dalam tiga hal ; kekuasaan Presiden di bidang
eksekutif13, kekuasaan Presiden di bidang legislatif14, kekuasaan Presiden
sebagai kepala Negara15. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “seperti apakah
bentuk pertanggungjawaban Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat itu
jika dikaitkan dengan tiga kekuasaan yang dimilikinya tersebut ?”,
tanggungjawab Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah
tanggungjawab Presiden secara keseluruhan, baik sebagai kepala Negara maupun
sebagai kepala eksekutif dan legislatif, mengingat UUD 1945 menganut sistem
pemerintahan Presidensiil16. Bagir Manan menyatakan bahwa sistem pemerintahan
yang diatur menurut UUD 1945 (presidensiil) sama sekali tidak menjamin
kestabilan pemerintahan. Pengertian ” fixed executive ” yang menjadi ciri
sistem Presidensiil ( seperti di Amerika Serikat ) tidak terdapat dalam jabatan
Presiden RI, hal ini terlihat dengan adanya pemberhentian ( penarikan mandat )
Presiden Soekarno oleh MPRS pada tahun 1966 dan Presiden Abdurrahman Wahid pada
tahun 200117. C.F. Strong menyebutkan bahwa Jika Presiden bertanggungjawab
secara langsung dengan periode waktu tertentu kepada badan yang lebih luas dan
tidak terikat pada pembubaran oleh tindakan parlemen, eksekutif itu dikatakan
eksekutif nonparlementer atau fixed executive, sebaliknya jika bertanggungjawab
secara langsung kepada parlemen eksekutif tersebut dikatakan eksekutif
parlementer18. Dengan demikian terjadi ” kesimpangsiuran ” sistem pemerintahan
yang dianut oleh Indonesia, secara yuridis formal menganut sistem Presidensiil,
namun kenyataannya terdapat unsur -unsur Parlementer dalam praktik
ketatanegaraan. Berkenaan dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, Harun
Al Rasjid dalam tulisannya yang berjudul Hubungan Antara Presiden dan MPR hlm.
11, membaginya menjadi ; pertanggungjawaban dalam arti luas merupakan satu
Pertanggungjawaban dengan sanksi, sedangkan dalam arti sempit merupakan
pertanggungjawaban tanpa sanksi19. Sri Soemantri dalam bukunya “Tentang Lembaga-Lembaga
Negara Menurut UUD 1945″ menyebutkan secara Eksplisit bahwa pertanggungjawaban
yang dimiliki Presiden adalah pertanggungjawaban dalam arti luas20.
Berkenaan dengan pengisian jabatan Presiden
menurut UUD 1945 ( sebelum perubahan) yakni berdasarkan pasal 6 ayat ( 2 ) yang
berbunyi : ” Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan suara terbanyak “. Pada saat UUD 1945 disahkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 agustus 1945, Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagaimana tersebut dalam pasal tersebut belum
terbentuk, dan dalam kondisi saat itu tidak dimungkinkan untuk membentuk MPR
terlebih dahulu. Maka berdasarkan pasal III Aturan peralihan ditetapkan ” untuk
pertama kali Presiden dan wakil Presiden yang dipilih oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia “. Selain itu pasal 7 UUD 1945 ( sebelum perubahan)
menyebutkan : ” Presiden dan wakil Presiden memegang jabatannya selama masa
lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali “, yang menarik dari pasal ini
adalah tidak adanya pembatasan ” pemilihan kembali ” Presiden. Ketentuan inilah
yang menjadi pembenaran untuk memilih Soeharto sebagai Presiden sampai enam
kali berturut-turut ( terhitung sejak tahun 1973). Bagir Manan menyebutkan
bahwa dalam praktek ketatanegaraan selama kurun waktu 30 tahun terakhir ( masa
orde baru ) pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang dilakukan oleh MPR
menjadi kurang Demokratis. Hal ini terjadi karena :
1.MPR dikuasai oleh satu kelompok kekuatan
politik ( Golkar yang selalu di sokong ABRI ), yang sangata dominan ( sistem
partai dominan ), yang diikuti dengan sistem pengendalian anggota yang ketat,
menyebabkan mekanisme pemilihan Presiden tidak kompetitif dengan berbagai
rekayasa.
2.praktek calon tunggal yang ” dipaksa “,
sehingga secara riil tidak ada pemilihan Presiden. MPR sekadar mengukuhkan
calon tunggal yang tidak mungkin ditolak ( semacam plebisit ).
3.mekanisme kerja MPR ( diatur dala Tata Tertib
) tidak memungkinkan peranan Individual anggota. Segala kegiatan dilakukan oleh
atau atas nama fraksi. Tata cara ini ditempuh untuk mencegah perbedaan
pendapat. Mekanisme ini merupakan suatu bentuk tatanan totaliter, semua anggota
harus tunduk pada kehendak pimipinan21.
Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan), persyaratan
menjadi Presiden diatur dalam pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan bahwa ”
Presiden ialah orang Indonesia asli “, persoalan kemudian adalah ketidakjelasan
apa atau siapa ” Orang Indonesia asli ” itu, untuk hal ini Sri Soemantri
menyebutkan bahwa kita perlu melihatnya dalam UU No. 3 tahun 1946 tentang warga
Negara dan Penduduk Negara Indonesia yang menyatakan dalam pasal 1 bahwa warga
Negara Indonesia ialah ;
1) orang asli dalam daerah Negara Indonesia;
2) orang yang tidak termasuk dalam golongan
diatas;
3) orang yang mendapat kewarganegaraan
Indonesia dengan naturalisasi;
4) orang yang karena kelahiran, perkawinan dan
lain – lain menjadi warga Negara Indonesia22.
Sedangkan Bagir Manan menyatakan bahwa
sebagian pendapat menduga, makna ” orang Indonesia asli ” berkaitan dengan
ketentuan pasal 163 IS dari masa penjajahan, yang membedakan penduduk Indonesia
ke dalam golongan Eropa, Timur asing, dan Bumiputra. Syarat lainnya diatur
dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1973, yakni ; warga Negara Indonesia; telah berusia
40 tahun; bukan orang yang sedang dicabut haknya dalam pemilihan umum; bertaqwa
kepada tuhan yang maha Esa, setia kepada cita – cita Proklamasi 17 agustus
1945, Pancasila, dan UUD 1945; bersedia menjalankan haluan Negara menurut GBHN
yang telah ditetapkan MPR; berwibawa; jujur; cakap; adil; dukungan dari rakyat
yang tercermin dalam Majelis; tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak
langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 seperti gerakan G.30.S/PKI dan/atau
organisasi terlarang lainnya; tidak sedang menjalani pidana berdasarkan
keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang
diancam pidana sekurang – kurangnya 5 tahun; tidak terganggu jiwa/ikatannya23.
Selain UUD 1945, Konstitusi yang pernah berlaku
di Indonesia adalah Konstitusi RIS yakni dalam tahun 1949 ( lebih kurang 8
bulan ). Pada masa Konstitusi RIS Presiden dipilih oleh mereka yang ditunjuk
oleh daerah – daerah bagian24. Pada tanggal 16 Desember 1949 telah dipilih Ir.
Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat. sedangkan Jabatan Wakil
Presiden tidak ada pada masa ini, Berdasarkan pasal 72 ayat (1) yang
menyebutkan ; jika perlu karena presiden berhalangan, maka beliau memerintahkan
Perdana Menteri menjalankan pekerjaan jabatannya sehari – hari “, hal ini
mungkin merupakan konsekwensi dari diubahnya Bentuk Pemerintahan yang semula
Republik menjadi Federal. Presiden bertindak sebagai kepala negara25. Sedangkan
mengenai Persyaratannya diatur dalam pasal 69 ayat (3) yang berbunyi : ”
Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun; beliau tidak boleh
seorang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih ataupun
orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih.
Dan berdasarkan kesepekatan bersama maka Bentuk
Negara Federal dikembalikan ke bentuk Negara Kesatuan26 dengan diberlakukannya
UUD Sementara 1950. Dalam masa ini ditentukan bahwa Presiden dipilih menurut
aturan yang ditetapkan dengan UU ( yakni pasal 45 ayat 3 UUD Sementara 195027).
Namun oleh karena tidak dimungkinkan dibentuk suatu UU sebagaimana yang diatur
dalam pasal 45 ayat (3), maka pengisian Jabatan Presiden didasarkan pada pasal
141 ayat (3) UUD Sementara 195028. Namun lain halnya dengan Pengisian jabatan
Wakil Presiden, mekanismenya telah sesuai dengan pasal 45 ayat (4) UUD
Sementara, bahwa ” Untuk pertama kali Wakil Presiden diangkat oleh Presiden
dari anjuran yang dimajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat “, maka pada tanggal
14 oktober 1950 DPR mengajukan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil Presiden kepada
Presiden Soekarno, dan melalui Keputusan Presiden No.27 tahun 1950 Drs. Moh.
Hatta diangkat sebagai Wakil Presiden. Untuk Persyaratan menjadi Presiden dalam
Konstitusi RIS diatur dalam pasal 45 ayat (3) yang berbunyi : ” Presiden dan
wakil Presiden harus warga Negara Indonesia yang telah berusia 30 tahun dan
tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak
pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih “. Demikian pula persyaratan
yang diatur dalam UUD Sementara 1950 masih dalam pasal yang sama (pasal 45 ayat
3) dan bunyi pasal yang sama. Yang menarik dengan diberlakukannya UUD Sementara
1950 Presiden dan wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat29, selain itu
Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah diberlakukannya kembali UUD RI 1945
dengan Dekrit Presiden tanggal 5 juli 195930, maka pengisian jabatan Presiden
untuk ketiga kalinya belum beradasarkan Ketentuan yang ditetapkan dalam UUD,
Ir. Soekarno tetap menjadi Presiden berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD
194531. Pada tahun 1956 Moh. Hatta berhenti dari Jabatannya sebagai Wakil
Presiden dan sampai UUD 1945 diberlakukan kembali Jabatan tersebut tetap tidak
terisi sampai bulan Maret 1973, yaitu setelah MPR memilih Sri Sultan
Hemangkubuwono sebagai wakil Presiden dengan ketetapan MPR No.XI/MPR/197332.
Setelah UUD 1945 diberlakukan kembali, sekitar 5 Juli 1964 yang seharusnya
diadakan Pemilu akan tetapi ternyata pada tanggal 18 Mei 1963 dikeluarkan Ketetapan
MPR No. III/MPR/1963 tentang pengangkatan Dr. Ir. H. Soekarno menjadi Presiden
seumur hidup, meskipun hal ini bertentangan dengan pasal 7 UUD 194533.
Pada tahun 1967 pertanggungjawaban Soekarno di tolak MPR dalam sidang istimewa, dan dengan Ketetapan MPR No. XXXIII/MPRS/1967 kekuasaan Presiden Soekarno dicabut, dan dengan ketetapan yang sama diangkat Jend. Soeharto sebagai pejabat Presiden. Setahun kemudian pada tahun 1968 dengan ketetapan MPR No. XLIV/MPRS/1968 JEND. Soeharto diangkat sebagai Presiden. Peristiwa ini menandai berakhirnya Orde lama dan kelahiran Orde baru.
Pada tahun 1967 pertanggungjawaban Soekarno di tolak MPR dalam sidang istimewa, dan dengan Ketetapan MPR No. XXXIII/MPRS/1967 kekuasaan Presiden Soekarno dicabut, dan dengan ketetapan yang sama diangkat Jend. Soeharto sebagai pejabat Presiden. Setahun kemudian pada tahun 1968 dengan ketetapan MPR No. XLIV/MPRS/1968 JEND. Soeharto diangkat sebagai Presiden. Peristiwa ini menandai berakhirnya Orde lama dan kelahiran Orde baru.
UUD 1945 sebelum perubahan
memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, baik jumlah
pasal maupun kekuasaannya. Tiga belas ( pasal 4 sampai pasal 15 dan pasal 22)
dari 37 pasal UUD 1945 mengatur langsung mengenai Jabatan Kepresdenan, selain
itu terdapat ketentuan lain yang juga masih berkaitan dengan Lembaga
Kepresidenan yakni tentang APBN, ketentuan yang mengatur wewenang MPR, DPR,
DPA, BPK, undang – undang Organik, dsb. Setelah Perubahan (empat kali) jumlah
pasal yang secara langsung mengenai Lembaga Kepresidenan menjadi 19 pasal dari
72 pasal ( tidak termasuk aturan tambahan, dan aturan peralihan)34.
UUD 1945 Setelah Perubahan
merumuskan Pesyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pasal 6 ayat (1)
yang berbunyi : ” calon Presiden dan wakil Presiden harus seorang warga Negara
Indonesia sejak Kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain
karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu
secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
Presiden dan wakil Presiden “35, dan ayat (2) yang berbunyi : ” syarat – syarat
untuk menjadi Presiden dan wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang –
Undang “36. Perubahan ketentuan mengenai Persyaratan calon Presiden dan calon
wakil Presiden dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa
dan tuntutan zaman, karenanya ” orang Indonesia asli ” diubah agar sesuai
dengan perkembangan masyarakat yang semakin demokratis, egaliter, dan
berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya adalah pengakuan kesederajatan
di depan hukum bagi setiap warga Negara37. Rumusan ini juga Konsisten dengan
paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan kebersamaan dengan tidak membedakan
warga Negara atas dasar keturunan, ras, agama. Selain melalui perubahan ini
terkandung makna kemauan Politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan
Indonesia.
Perubahan yang paling
Fundamental setelah perubahan UUD 1945 ialah dipilihnya Presiden dan wakil
Presiden secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Hal ini diatur dalam pasal
6A ayat (1)38, (2)39, (3)40, (4)41, (5)42, perubahan ini didasari pemikiran
untuk mengejwantahkan paham kedaulatan rakyat. Disamping itu dengan dipilih secara
langsung oleh rakyat, menjadikan Presiden dan wakil Presiden mempunyai
legitimasi yang lebih kuat dalam artian memperkuat sistem Presidensiil yang
kita anut dengan salah satu cirinya yaitu adanya periode masa jabatan yang
pasti ( fixed term ) dari Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian Presiden
dan Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali
melanggar hukum berdasar hal – hal yang tercantum dalam UUD 1945 melalui
prosedur yang konstitusional, yang dikenal dengan impeachment yang menunjukkan
konsistensi penerapan paham Negara hukum, yaitu bahwa tidak ada pengecualian
penerapan hukum,bahkan terhadap Presiden43. Selain itu, Impeachment dapat
memperkecil peluang terjadinya ketegangan dan krisis Politik dan kenegaraan
selama masa jabatan Presiden dan wakil Presiden seperti yang kerap terjadi
dalam praktik kenegaraan kita yang sebenarnya merupakan pelaksanaan sebuah
sistem pemerintahan parlementer yang tidak dianut Negara kita. Walaupun dipilih
oleh rakyat untuk memimpin dan memegang kekuasaan Pemerintahan Negara, sebagai
manusia Presiden dan/atau Wakil Presiden bisa saja melakukan kesalahan atau
pelanggaran hukum yang merusak sendi – sendi hidup bernegara dan mencederai
hukum, karenanya Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diberhentikan dengan
alasan tertentu44 yang disebutkan secara limitative dalam UUD 1945, yakni ;
melalui proses politik ( dengan adanya pendapat DPR dan keputusan pemberhentian
MPR), dan melalui proses hukum ( dengan cara Mahkamah Konstitusi memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat DPR )45.
Pasal 7C menyebutkan :” Presiden
tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat “.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan keseimbangan politik bahwa DPR tidak
dapat memberhentikan Presiden, kecuali mengikuti Ketentuan pasal 7A46 dan
Presiden juga tidak dapat membekukan DPR. Ketentuan ini juga dimaksudkan untuk
melindungi keberadaan DPR sebagai salah satu lembaga Negara yang mencerminkan
kedaulatan rakyat sekaligus meneguhkan kedudukan yang setara antara Presiden
dan DPR yang sama-sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat.adapun
Wewenang, Kewajiban, dan Hak yang dimiliki oleh Presiden berdasarkan UUD 1945
yakni :.memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD [Pasal 4 (1)];2.berhak
mengajukan RUU kepada DPR [Pasal 5 (1)*];3.menetapkan peraturan pemerintah
[Pasal 5 (2)*];4.memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya
dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa [Pasal 9
(1)*];5.memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL, dan AU (Pasal
10);6.dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain [Pasal 11 (1)****];7.membuat perjanjian
internasional lainnya dengan persetujuan DPR [Pasal 11 (2)***];8.menyatakan
keadaan bahaya (Pasal 12);9.mengangkat duta dan konsul [Pasal 13 (1)]. Dalam
mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR [Pasal 13
(2)*];10.menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan
DPR [Pasal 13 (3)*];11.memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan MA [Pasal 14 (1)*];12.memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan DPR [Pasal 14 (2)*];13.memberi gelar, tanda jasa,
dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU (Pasal 15)*;14.membentuk
suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden (Pasal 16)****;
15.pengangkatan dan
pemberhentian menteri-menteri [Pasal 17 (2)*];
16.pembahasan dan pemberian
persetujuan atas RUU bersama DPR [Pasal 20 (2)*] serta pengesahan RUU [Pasal 20
(4)*];17.hak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti UU dalam
kegentingan yang memaksa [Pasal 22 (1)];18.pengajuan RUU APBN untuk dibahas
bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD [Pasal 23
(2)***];19.peresmian keanggotaan BPK yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD [Pasal 23F (1)***];20.penetapan hakim agung dari calon yang
diusulkan oleh KY dan disetujui DPR [Pasal 24A (3)***];21.pengangkatan dan
pemberhentian anggota KY dengan persetujuan DPR [Pasal 24B (3)***];22.pengajuan
tiga orang calon hakim konstitusi dan penetapan sembilan orang anggota hakim
konstitusi [Pasal 24C (3)***].
Prinsip kedaulatan rakyat yang terwujudkan dalam peraturan
perundang-undangan tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara
dan pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem
demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan
melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian
kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan cenderung
bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang
tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks
and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti
perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada
lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar
tentu mengakibatkan pada perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak saja
karena adanya perubahan terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur tentang
kelembagaan negara, tetapi juga karena perubahan paradigma hukum dan
ketatanegaraan. Beberapa prinsip-prinsip mendasar yang menentukan hubungan
antar lembaga negara diantaranya adalah Supremasi Konstitusi, Sistem
Presidentil, serta Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances.
Supremasi Konstitusi
Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945
adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.��? Ketentuan ini membawa implikasi bahwa
kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilakukan
menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi
negara di atas lembaga-lembaga tinggi negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
tersebut, UUD 1945 menjadi dasar hukum tertinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional
dengan masing-masing fungsi dan kewenangannya berdasarkan UUD 1945. Jika
berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan kedaulatan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan kemudian didistribusikan kepada lembaga-lembaga
tinggi negara, maka berdasarkan hasil perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
kedaulatan tetap berada di tangan rakyat dan pelaksanaannya langsung
didistribusikan secara fungsional (distributed functionally) kepada
organ-organ konstitusional.
Konsekuensinya, setelah Perubahan UUD 1945
tidak dikenal lagi konsepsi lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara.
Lembaga-Iembaga negara yang merupakan organ konstitusional kedudukannya tidak
lagi seluruhnya hierarkis di bawah MPR, tetapi sejajar dan saling berhubungan
berdasarkan kewenangan masing-masing berdasarkan UUD 1945.
Sistem Presidentil
Sebelum adanya Perubahan UUD 1945, sistem
pemerintahan yang dianut tidak sepenuhnya sistem presidentil. Jika dilihat
hubungan antara DPR sebagai parlemen dengan Presiden yang sejajar (neben),
serta adanya masa jabatan Presiden yang ditentukan (fix term) memang
menunjukkan ciri sistem presidentil. Namun jika dilihat dari keberadaan MPR
yang memilih, memberikan mandat, dan dapat memberhentikan Presiden, maka sistem
tersebut memiliki ciri-ciri sistem parlementer. Presiden adalah mandataris MPR
dan sebagai konsekuensinya Presiden bertanggung jawab kepada MPR dan MPR dapat
memberhentikan Presiden.
Salah satu kesepakatan dalam Sidang Tahunan MPR
Tahun 1999 terkait Perubahan UUD 1945 adalah “sepakat untuk mempertahankan
sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempumakan agar betul-betul
memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil).��? Penyempurnaan dilakukan dengan
perubahan-perubahan ketentuan UUD 1945 terkait sistem kelembagaan. Perubahan
mendasar pertama adalah perubahan kedudukan MPR yang mengakibatkan kedudukan
MPR tidak lagi merupakan lembaga tertinggi negara, sebagaimana telah dibahas
sebelumnya. Perubahan selanjutnya untuk menyempurnakan sistem presidentil
adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara lembaga eksekutif dan
legislatif, dalam hal ini terutama antara DPR dan Presiden. Hal ini dilakukan
dengan pengaturan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang
dilakukan secara langsung oleh rakyat dan mekanisme pemberhentian dalam masa
jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 6A, 7, 7A, dan 8 UUD 1945. Karena
Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka memiliki
legitimasi kuat dan tidak dapat dengan mudah diberhentikan kecuali karena
melakukan tindakan pelanggaran hukum.
Proses usulan pemberhentian Presiden dan atau
Wakil Presiden tidak lagi sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme politik,
tetapi dengan mengingat dasar usulan pemberhentiannya adalah masalah
pelanggaran hukum, maka proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi harus dilalui.
Di sisi yang lain, kekuasaan Presiden membuat Undang-Undang sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum Perubahan, diganti dengan hak
mengusulkan rancangan undang-undang dan diserahkan kepada DPR sebagaimana
diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Selain itu juga ditegaskan Presiden
tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945.
Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan
yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi
sering disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power).
Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif)
tetapi juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuasaan
legislatif bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislator-nya. Sedangkan,
masalah kekuasaan kehakiman (yudikatif) dalam UUD 1945 sebelum perubahan
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut
undang-undang.
Dengan adanya perubahan kekuasaan pembentukan
undang-undang yang semula dimiliki oleh Presiden menjadi dimiliki oleh DPR
berdasarkan hasil Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20
ayat (1), maka yang disebut sebagai lembaga legislatif (utama) adalah DPR,
sedangkan lembaga eksekutif adalah Presiden. Walaupun dalam proses pembuatan
suatu undang-undang dibutuhkan persetujuan Presiden, namun fungsi Presiden
dalam hal ini adalah sebagai co-legislator sama seperti DPD untuk materi
undang-undang tertentu, bukan sebagai legislator utama. Sedangkan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan di bawahnya)
dan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Hubungan antara kekuasaan eksekutif yang
dilakukan oleh Presiden, kekuasaan legislatif oleh DPR (dan dalam hal tertentu
DPD sebagai co-legislator), dan kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh
MA dan MK merupakan perwujudan sistem checks and balances. Sistem checks
and balances dimaksudkan untuk mengimbangi pembagian kekuasaan yang
dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemegang
kekuasaan tertentu atau terjadi kebuntuan dalam hubungan antar lembaga. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaan suatu kekuasaan selalu ada peran lembaga lain.
Dalam pelaksanaan kekuasaan pembuatan
undang-undang misalnya, walaupun ditentukan kekuasaan membuat undang-undang
dimiliki oleh DPR, namun dalam pelaksanaannya membutuhkan kerja sama dengan co-legislator,
yaitu Presiden dan DPD (untuk rancangan undang-undang tertentu). Bahkan suatu
ketentuan undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPR dan
Presiden serta telah disahkan dan diundangkan pun dapat dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK jika dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945.
Di sisi lain, Presiden dalam menjalankan
kekuasaan pemerintahannya mendapatkan pengawasan dari DPR. Pengawasan tidak
hanya dilakukan setelah suatu kegiatan dilaksanakan, tetapi juga pada saat
dibuat perencanaan pembangunan dan alokasi anggarannya. Bahkan kedudukan DPR
dalam hal ini cukup kuat karena memiliki fungsi anggaran secara khusus selain
fungsi legislasi dan fungsi pengawasan sebagaimana diatur pada Pasal 20A UUD
1945. Namun demikian kekuasaan DPR juga terbatas, DPR tidak dapat menjatuhkan
Presiden dan atau Wakil Presiden kecuali karena alasan pelanggaran hukum.
Usulan DPR tersebut harus melalui forum hukum di MK sebelum dapat diajukan ke
MPR.
[2]
Lihat http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/DIALOG-KEMBALI-KE-JATI-DIRI-NEGARA-SEMI-PRESIDENSIAL.pdf.
[3]
ibid
[4]
Ibid
[5]
ibid
[6]
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII PRESS.Yogyakarta.2003.
[7]
Lihat www. Parlemen. net yang di upload tanggal 3 mei 2012.
[8]
UUD 1945 perubahan ke-4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar