Minggu, 03 Juni 2012

lembaga kepresidenan


Demokratisai Lembaga Kepresidenan
(Tinjuan Yuridis-Historis Lembaga Kepresidenan di Indonesia)
Oleh: Soleh Hasan Wahid
Secara historis, lembaga kepresidenan di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan yang cukup siginifikan. Hal tersebut di latar belakangi oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam konstelasi Negara Repubik Indonesia selama kurun waktu berdirinya Negara ini. Secara yuridis, perubahan-perubahan yang terjadi dalam lembaga kepresidenan meliputi model pengangkatan dan pemberhentian pejabat di dalam lembaga kepresidenan serta tugas dan wewenangnya, hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk menegakkan pemerintahan yang demokratis serta membentuk pemerintahan yang mampu melaksanakan berbagai aspirasi rakyat di Indonesia.
Dengan melihat aspek historis dan yuridis lembaga kepresidenan di Indonesia. Jika diibaratkan sebagai buku, dapat dikatakan bahwa reformasi lembaga kepresidenan yang telah dilakukan di Indonesia saat ini, baru sampai kepada bab pendahuluan.. Oleh karena itu, perlu adanya tindak lanjut untuk mewujudkan demokratisasi lembaga kepresidenan yang saat ini telah terbentuk. Menarik untuk di simak teori pemisahan kekuasaan yang diajukan pertama kali oleh Montesquie dalam karyanya yang berjudul ” Esprit des Lois ” yang diterbitkan pada tahun 1748, menurutnya untuk mencapai negara yang demokratis kekuasaan dalam negara harus dipisahkan menjadi tiga bagian yaitu eksekutif yang bertugas menjalankan peraturan dalam negara.,  legislatif bertugas sebagai pembentuk aturan atau undang-undang dan yang terakhir yudisial, bertugas untuk  mengadili setiap pelanggaran terhadap undang-undang. Teori tersebut kemudian di adopsi di Indonesia, namun dengan praktek yang berbeda pemisahan kekuasaan di anggap tidak mencerminkan pemerintahan yang demokratis, kemudian konsep tersebut dirubah menjadi pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan sistem check and balance antara lembaga kekuasaan negara. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan, bahwa pemerintahan di anggap demokratis apabila tugas dan wewenang antara satu lembaga dengan lembaga yang lain telah seimbang serta sesuai dengan aspirasi rakyat Indonesia.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa yang menjadi tolak ukur utama dalam menentukan lembaga kepresidenan yang demokratis dalam satu negara adalah tingkat kesesuaian tugas dan wewenangya terhadap lembaga negara lain serta pertangung jawaban atas tugas yang diemban lembaga kepresidenan tersebut. Dengan melihat kenyataan historis, bahwa sampai saat ini pemerintah masih mencari-cari bentuk lembaga kepresidenan yang demokratis, Indonesia ternyata masih belum mampu membentuk sistem lembaga kepresidenan yang secara mapan dapat dianggap sebagai pemerintahan yang demokratis. Oleh karena itu, pemerintah serta rakyat masih harus mengkaji serta mengkritisi lebih lanjut pengaturan tugas dan wewenang lembaga kepresidenan yang ada, untuk kemudian dijadikan dasar terhadap perbaikan mutu lembaga kepresidenan agar menjadi lembaga pemerintahan yang demokratis.
Tulisan ini akan mengantarkan pembaca dalam menganalisis serta mengkritisi lembaga kepresidenan di Indonesia. Tullisan ini memberikan gambaran mengenai Lembaga Kepresidenan secara komprehensif, baik secara yuridis maupun secara historis melalui pembahasan yang didasarkan pada Konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia. Tulisan ini juga memberikan deskripsi singkat terkait dengan bentuk lembaga kepresidenan yang demokratis, sebagai upaya dalam demokratisasi lembaga kepresidenan di Indonesia.
Lembaga Kepresidenan S[1]ebagai Sistem Pemerintahan Presidensial
            Sistem pemerintahan presidensial merupakan sistem pemerintahan yang tugas-tugas eksekutifnya dijalankan dan dipertanggungjawabkan oleh Presiden. Dalam menjalankan tugasnya, Presiden dibantu oleh wakil Presiden dan para menteri.
Dilandasi oleh teori pemisahan kekuasaan dan didorong oleh keinginan yang kuat untuk menentang sistem parlementer yang dipandang sebagai budaya Negara kolonial Inggris, sistem presidensial Amerika memisahkan secara tegas tiga cabang kekuasaan. Karena itu karakteristik pertama sistem presidensial adalah badan perwakilan tidak memiliki supremacy of parliament karena lembaga tersebut bukan lembaga pemegang kekuasaan negara.[2]
Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial, presiden dipilih, baik secara langsung atau melalui perwakilan, untuk masa kerja tertentu, dan presiden memengang sekaligus jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara, yang berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidang masing-masing.[3]
Dalam sistem presidensial, kabinet tidak bertanggungjawab secara kolektif, tetapi tiap-tiap menteri bertanggungjawab secara individual kepada presiden. Dalam sistem presidensial, anggota badan legislatif tidak boleh merangkap jabatan cabang eksekutif, dan sebaliknya, pejabat eksekutif tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif[4].
Presiden bertanggungjawab bukan kepada pemilih, tetapi kepada Konstitusi. Dia dapat di-impeach apabila melangar konstitusi, tetapi tidak dapat diturunkan karena tidak dapat memenuhi janjinya pada kampanye pemilu. Presiden dan badan perwakilan rakyat mempunyai kedudukan yang setara, karena itu tidak dapat salaing menjatuhkan. Dalam bahasa UUD 1945, Presiden adalah „neben“ bukan „geordenet“ dari DPR, sehingga tidak dapat saling menjatuhkan. Dalam teori, sistem presidensial tidak mengenal adanya supremasi satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masing-masing kekuasaan, legislatif, eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap cabang lainnya sesuai dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy of the constitution. Cuma, dalam praktek, legislatiflah yang nyatanya memegang kekuasaan lebih tinggi[5].
Selanjutnya, Lembaga Kepresidenan atau Presidential institution merupakan istilah yang kerap dipergunakan dalam berbagai arti; di Indonesia, perkataan presiden dipergunakan dalam dua arti ; yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat (ambtsdrager). Sedangkan dalam bahasa asing ( seperti Inggris ) untuk lingkungan jabatan digunakan istilah PRESIDENCY atau kalau sebagai ajektif dipergunakan istilah PRESIDENTIAL, misalnya; PRESIDENTIAL GOVERNMENT, sedangkan sebagai pejabat digunakan istilah PRESIDENT. Dalam UUD 1945, penggunaan kata ” presiden ” menunjukkan pejabat. Hal ini tampak dari rumusan – rumusan yang menyebut Presiden. Misalnya, ” Calon Presiden dan wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak kelahiran……”. Tetapi karena Presiden adalah pemangku jabatan kepresidenan, dengan sendirinya dalam UUD 1945 dan peraturan perundang – undangan lain yang mengatur mengenai Presiden sekaligus mengandung pula makna pengaturan lingkungan jabatan Kepresidenan. Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa di Indonesia istilah Presdiential Institution digunakan dalam berbagi arti, untuk mencegah kerancuan pemakaian istilah Bagir Manan dalam bukunya ” Lembaga Kepresidenan ” menggunakan istilah Presiden sebagai Pejabat dan Lembaga Kepresidenan sebagai lingkungan jabatan.[6]
Dalam RUU yang saat ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, lembaga kepresidenan didefinisikan sebagai lembaga negara yang mengatur organisasi dan tata kerja kepresidenan yang dijalankan oleh Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenegaraan dan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.[7] Selanjutnya dalam pasal 4 UUD 1945 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa  Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.[8]
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Lembaga Kepresidenan di Indonesia merupakan lembaga yang bertugas untuk menjalankan kekuasaan eksekutif dalam Negara berdasarkan amanat kontitusi (UUD 1945) yang tugas dan kewenangannya didasarkan pada bentuk sistem pemerintahan presidensial.
Tugas dan Wewenang Lembaga Kepresidenan dalam Konstelasi Negara Republik Indonesia.
Untuk mengatetahui sejarah lembaga kepresidenan serta perubahan tugas dan wewenaganya dalam Konstelasi Negara Republik Indonesia, setidaknya dapat dibagi menjadi dua periode yaitu Lembaga Kepresidenan Sebelum Perubahan UUD 1945 ( termasuk periode Konstitusi RIS, dan UUD Sementara 1950 ) dan Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD 1945.
Pasal-pasal yang mengatur tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara diatur dalam Bab III dan juga Bab V yang mengatur tentang Kementerian Negara. Ketentuan-ketentuan sebelum prubahan UUD 1945 menyatakan bahwa Kekuasan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( die gezamte staatgewait liegt allein bei der majelis )10, sedangkan Presiden menjalankan Haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan MPR, demikian pula mengenai pengangkatannya dilakukan oleh MPR, Presiden adalah mandataris MPR, yang wajib menjalankan putusan – putusan MPR. Secara eksplisit Penjelasaan UUD 1945 ( sebelum perubahan ) menyebutkan bahwa ” Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah Majelis, Dibawah Majelis Permusyawaran Rakyat, Presiden ialah penyelenggara Pemerintah negara yang tertinggi , Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan presiden ( concentration of power and responsibility upon the President )11. Presiden tidak bertangggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat , demikian pula dengan Menteri Negara sebagai pembantu Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Namun hal ini tidak berarti kekuasaan Presiden tidak terbatas, pada bagian lain penjelasan UUD 1945 ( sebelum perubahan ) dinyatakan bahwa ” Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas ” sebab Presiden bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi Negara, walalupun hal ini tidak diatur secara eksplisit dalam UUD 1945, demikian halnya dalam pasal 5 TAP MPR No. VI/MPR/1973 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja Lembaga tertinggi Negara dengan/ atau antar lembaga – lembaga tinggi Negara yang berbunyi :
1)Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pada akhir masa jabatannya memberikan pertanggungan jawab atas pelaksanaan Haluan Negara yang ditetapkan oleh Undang – Undang Dasar atau Majelis di hadapan Sidang.
2)Presiden wajib memberikan pertanggungan jawab dihadapan sidang istimewa Majelis yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungan jawab Presiden dalam pelaksanaan Haluan Negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau Majelis.
Ketentuan diatas tidak menyebutkan arti pertanggungjawaban yang dimaksud, Pertanggungjawaban tersebut dalam arti yang luas dapat dilihat dalam TAP MPR No.I/MPR/1973 huruf d dan e yang berbunyi :
1)meminta dari dan menilai pertanggungan jawab Presiden tentang pelaksanaan Garis - Garis Besar Haluan Negara.
2)mencabut jabatannya apabila Presiden sungguh-sungguh melanggar GBHN dan/atau UUD.
Dengan demikian adalah logis Jika Presiden dapat diberhentikan oleh MPR meskipun masa jabatannya belum berakhir, hal ini disebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan sebagai lembaga tertinggi diatas Presiden12.
Berkenaan dengan kekuasaan yang dimiliki Presiden seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, dapat dibagi dalam tiga hal ; kekuasaan Presiden di bidang eksekutif13, kekuasaan Presiden di bidang legislatif14, kekuasaan Presiden sebagai kepala Negara15. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “seperti apakah bentuk pertanggungjawaban Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat itu jika dikaitkan dengan tiga kekuasaan yang dimilikinya tersebut ?”, tanggungjawab Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah tanggungjawab Presiden secara keseluruhan, baik sebagai kepala Negara maupun sebagai kepala eksekutif dan legislatif, mengingat UUD 1945 menganut sistem pemerintahan Presidensiil16. Bagir Manan menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang diatur menurut UUD 1945 (presidensiil) sama sekali tidak menjamin kestabilan pemerintahan. Pengertian ” fixed executive ” yang menjadi ciri sistem Presidensiil ( seperti di Amerika Serikat ) tidak terdapat dalam jabatan Presiden RI, hal ini terlihat dengan adanya pemberhentian ( penarikan mandat ) Presiden Soekarno oleh MPRS pada tahun 1966 dan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 200117. C.F. Strong menyebutkan bahwa Jika Presiden bertanggungjawab secara langsung dengan periode waktu tertentu kepada badan yang lebih luas dan tidak terikat pada pembubaran oleh tindakan parlemen, eksekutif itu dikatakan eksekutif nonparlementer atau fixed executive, sebaliknya jika bertanggungjawab secara langsung kepada parlemen eksekutif tersebut dikatakan eksekutif parlementer18. Dengan demikian terjadi ” kesimpangsiuran ” sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia, secara yuridis formal menganut sistem Presidensiil, namun kenyataannya terdapat unsur -unsur Parlementer dalam praktik ketatanegaraan. Berkenaan dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, Harun Al Rasjid dalam tulisannya yang berjudul Hubungan Antara Presiden dan MPR hlm. 11, membaginya menjadi ; pertanggungjawaban dalam arti luas merupakan satu Pertanggungjawaban dengan sanksi, sedangkan dalam arti sempit merupakan pertanggungjawaban tanpa sanksi19. Sri Soemantri dalam bukunya “Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945″ menyebutkan secara Eksplisit bahwa pertanggungjawaban yang dimiliki Presiden adalah pertanggungjawaban dalam arti luas20.
Berkenaan dengan pengisian jabatan Presiden menurut UUD 1945 ( sebelum perubahan) yakni berdasarkan pasal 6 ayat ( 2 ) yang berbunyi : ” Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak “. Pada saat UUD 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 agustus 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana tersebut dalam pasal tersebut belum terbentuk, dan dalam kondisi saat itu tidak dimungkinkan untuk membentuk MPR terlebih dahulu. Maka berdasarkan pasal III Aturan peralihan ditetapkan ” untuk pertama kali Presiden dan wakil Presiden yang dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia “. Selain itu pasal 7 UUD 1945 ( sebelum perubahan) menyebutkan : ” Presiden dan wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali “, yang menarik dari pasal ini adalah tidak adanya pembatasan ” pemilihan kembali ” Presiden. Ketentuan inilah yang menjadi pembenaran untuk memilih Soeharto sebagai Presiden sampai enam kali berturut-turut ( terhitung sejak tahun 1973). Bagir Manan menyebutkan bahwa dalam praktek ketatanegaraan selama kurun waktu 30 tahun terakhir ( masa orde baru ) pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang dilakukan oleh MPR menjadi kurang Demokratis. Hal ini terjadi karena :
1.MPR dikuasai oleh satu kelompok kekuatan politik ( Golkar yang selalu di sokong ABRI ), yang sangata dominan ( sistem partai dominan ), yang diikuti dengan sistem pengendalian anggota yang ketat, menyebabkan mekanisme pemilihan Presiden tidak kompetitif dengan berbagai rekayasa.
2.praktek calon tunggal yang ” dipaksa “, sehingga secara riil tidak ada pemilihan Presiden. MPR sekadar mengukuhkan calon tunggal yang tidak mungkin ditolak ( semacam plebisit ).
3.mekanisme kerja MPR ( diatur dala Tata Tertib ) tidak memungkinkan peranan Individual anggota. Segala kegiatan dilakukan oleh atau atas nama fraksi. Tata cara ini ditempuh untuk mencegah perbedaan pendapat. Mekanisme ini merupakan suatu bentuk tatanan totaliter, semua anggota harus tunduk pada kehendak pimipinan21.
Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan), persyaratan menjadi Presiden diatur dalam pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan bahwa ” Presiden ialah orang Indonesia asli “, persoalan kemudian adalah ketidakjelasan apa atau siapa ” Orang Indonesia asli ” itu, untuk hal ini Sri Soemantri menyebutkan bahwa kita perlu melihatnya dalam UU No. 3 tahun 1946 tentang warga Negara dan Penduduk Negara Indonesia yang menyatakan dalam pasal 1 bahwa warga Negara Indonesia ialah ;
1) orang asli dalam daerah Negara Indonesia;
2) orang yang tidak termasuk dalam golongan diatas;
3) orang yang mendapat kewarganegaraan Indonesia dengan naturalisasi;
4) orang yang karena kelahiran, perkawinan dan lain – lain menjadi warga Negara Indonesia22.
 Sedangkan Bagir Manan menyatakan bahwa sebagian pendapat menduga, makna ” orang Indonesia asli ” berkaitan dengan ketentuan pasal 163 IS dari masa penjajahan, yang membedakan penduduk Indonesia ke dalam golongan Eropa, Timur asing, dan Bumiputra. Syarat lainnya diatur dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1973, yakni ; warga Negara Indonesia; telah berusia 40 tahun; bukan orang yang sedang dicabut haknya dalam pemilihan umum; bertaqwa kepada tuhan yang maha Esa, setia kepada cita – cita Proklamasi 17 agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945; bersedia menjalankan haluan Negara menurut GBHN yang telah ditetapkan MPR; berwibawa; jujur; cakap; adil; dukungan dari rakyat yang tercermin dalam Majelis; tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 seperti gerakan G.30.S/PKI dan/atau organisasi terlarang lainnya; tidak sedang menjalani pidana berdasarkan keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang – kurangnya 5 tahun; tidak terganggu jiwa/ikatannya23.
Selain UUD 1945, Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia adalah Konstitusi RIS yakni dalam tahun 1949 ( lebih kurang 8 bulan ). Pada masa Konstitusi RIS Presiden dipilih oleh mereka yang ditunjuk oleh daerah – daerah bagian24. Pada tanggal 16 Desember 1949 telah dipilih Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat. sedangkan Jabatan Wakil Presiden tidak ada pada masa ini, Berdasarkan pasal 72 ayat (1) yang menyebutkan ; jika perlu karena presiden berhalangan, maka beliau memerintahkan Perdana Menteri menjalankan pekerjaan jabatannya sehari – hari “, hal ini mungkin merupakan konsekwensi dari diubahnya Bentuk Pemerintahan yang semula Republik menjadi Federal. Presiden bertindak sebagai kepala negara25. Sedangkan mengenai Persyaratannya diatur dalam pasal 69 ayat (3) yang berbunyi : ” Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun; beliau tidak boleh seorang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih.
Dan berdasarkan kesepekatan bersama maka Bentuk Negara Federal dikembalikan ke bentuk Negara Kesatuan26 dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950. Dalam masa ini ditentukan bahwa Presiden dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan UU ( yakni pasal 45 ayat 3 UUD Sementara 195027). Namun oleh karena tidak dimungkinkan dibentuk suatu UU sebagaimana yang diatur dalam pasal 45 ayat (3), maka pengisian Jabatan Presiden didasarkan pada pasal 141 ayat (3) UUD Sementara 195028. Namun lain halnya dengan Pengisian jabatan Wakil Presiden, mekanismenya telah sesuai dengan pasal 45 ayat (4) UUD Sementara, bahwa ” Untuk pertama kali Wakil Presiden diangkat oleh Presiden dari anjuran yang dimajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat “, maka pada tanggal 14 oktober 1950 DPR mengajukan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil Presiden kepada Presiden Soekarno, dan melalui Keputusan Presiden No.27 tahun 1950 Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai Wakil Presiden. Untuk Persyaratan menjadi Presiden dalam Konstitusi RIS diatur dalam pasal 45 ayat (3) yang berbunyi : ” Presiden dan wakil Presiden harus warga Negara Indonesia yang telah berusia 30 tahun dan tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih “. Demikian pula persyaratan yang diatur dalam UUD Sementara 1950 masih dalam pasal yang sama (pasal 45 ayat 3) dan bunyi pasal yang sama. Yang menarik dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950 Presiden dan wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat29, selain itu Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah diberlakukannya kembali UUD RI 1945 dengan Dekrit Presiden tanggal 5 juli 195930, maka pengisian jabatan Presiden untuk ketiga kalinya belum beradasarkan Ketentuan yang ditetapkan dalam UUD, Ir. Soekarno tetap menjadi Presiden berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 194531. Pada tahun 1956 Moh. Hatta berhenti dari Jabatannya sebagai Wakil Presiden dan sampai UUD 1945 diberlakukan kembali Jabatan tersebut tetap tidak terisi sampai bulan Maret 1973, yaitu setelah MPR memilih Sri Sultan Hemangkubuwono sebagai wakil Presiden dengan ketetapan MPR No.XI/MPR/197332. Setelah UUD 1945 diberlakukan kembali, sekitar 5 Juli 1964 yang seharusnya diadakan Pemilu akan tetapi ternyata pada tanggal 18 Mei 1963 dikeluarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/1963 tentang pengangkatan Dr. Ir. H. Soekarno menjadi Presiden seumur hidup, meskipun hal ini bertentangan dengan pasal 7 UUD 194533.
Pada tahun 1967 pertanggungjawaban Soekarno di tolak MPR dalam sidang istimewa, dan dengan Ketetapan MPR No. XXXIII/MPRS/1967 kekuasaan Presiden Soekarno dicabut, dan dengan ketetapan yang sama diangkat Jend. Soeharto sebagai pejabat Presiden. Setahun kemudian pada tahun 1968 dengan ketetapan MPR No. XLIV/MPRS/1968 JEND. Soeharto diangkat sebagai Presiden. Peristiwa ini menandai berakhirnya Orde lama dan kelahiran Orde baru.
UUD 1945 sebelum perubahan memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekuasaannya. Tiga belas ( pasal 4 sampai pasal 15 dan pasal 22) dari 37 pasal UUD 1945 mengatur langsung mengenai Jabatan Kepresdenan, selain itu terdapat ketentuan lain yang juga masih berkaitan dengan Lembaga Kepresidenan yakni tentang APBN, ketentuan yang mengatur wewenang MPR, DPR, DPA, BPK, undang – undang Organik, dsb. Setelah Perubahan (empat kali) jumlah pasal yang secara langsung mengenai Lembaga Kepresidenan menjadi 19 pasal dari 72 pasal ( tidak termasuk aturan tambahan, dan aturan peralihan)34.
UUD 1945 Setelah Perubahan merumuskan Pesyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pasal 6 ayat (1) yang berbunyi : ” calon Presiden dan wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak Kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan wakil Presiden “35, dan ayat (2) yang berbunyi : ” syarat – syarat untuk menjadi Presiden dan wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan Undang – Undang “36. Perubahan ketentuan mengenai Persyaratan calon Presiden dan calon wakil Presiden dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman, karenanya ” orang Indonesia asli ” diubah agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang semakin demokratis, egaliter, dan berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya adalah pengakuan kesederajatan di depan hukum bagi setiap warga Negara37. Rumusan ini juga Konsisten dengan paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan kebersamaan dengan tidak membedakan warga Negara atas dasar keturunan, ras, agama. Selain melalui perubahan ini terkandung makna kemauan Politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan Indonesia.
Perubahan yang paling Fundamental setelah perubahan UUD 1945 ialah dipilihnya Presiden dan wakil Presiden secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Hal ini diatur dalam pasal 6A ayat (1)38, (2)39, (3)40, (4)41, (5)42, perubahan ini didasari pemikiran untuk mengejwantahkan paham kedaulatan rakyat. Disamping itu dengan dipilih secara langsung oleh rakyat, menjadikan Presiden dan wakil Presiden mempunyai legitimasi yang lebih kuat dalam artian memperkuat sistem Presidensiil yang kita anut dengan salah satu cirinya yaitu adanya periode masa jabatan yang pasti ( fixed term ) dari Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hukum berdasar hal – hal yang tercantum dalam UUD 1945 melalui prosedur yang konstitusional, yang dikenal dengan impeachment yang menunjukkan konsistensi penerapan paham Negara hukum, yaitu bahwa tidak ada pengecualian penerapan hukum,bahkan terhadap Presiden43. Selain itu, Impeachment dapat memperkecil peluang terjadinya ketegangan dan krisis Politik dan kenegaraan selama masa jabatan Presiden dan wakil Presiden seperti yang kerap terjadi dalam praktik kenegaraan kita yang sebenarnya merupakan pelaksanaan sebuah sistem pemerintahan parlementer yang tidak dianut Negara kita. Walaupun dipilih oleh rakyat untuk memimpin dan memegang kekuasaan Pemerintahan Negara, sebagai manusia Presiden dan/atau Wakil Presiden bisa saja melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum yang merusak sendi – sendi hidup bernegara dan mencederai hukum, karenanya Presiden dan/atau wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan tertentu44 yang disebutkan secara limitative dalam UUD 1945, yakni ; melalui proses politik ( dengan adanya pendapat DPR dan keputusan pemberhentian MPR), dan melalui proses hukum ( dengan cara Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR )45.
Pasal 7C menyebutkan :” Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat “. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan keseimbangan politik bahwa DPR tidak dapat memberhentikan Presiden, kecuali mengikuti Ketentuan pasal 7A46 dan Presiden juga tidak dapat membekukan DPR. Ketentuan ini juga dimaksudkan untuk melindungi keberadaan DPR sebagai salah satu lembaga Negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat sekaligus meneguhkan kedudukan yang setara antara Presiden dan DPR yang sama-sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat.adapun Wewenang, Kewajiban, dan Hak yang dimiliki oleh Presiden berdasarkan UUD 1945 yakni :.memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD [Pasal 4 (1)];2.berhak mengajukan RUU kepada DPR [Pasal 5 (1)*];3.menetapkan peraturan pemerintah [Pasal 5 (2)*];4.memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa [Pasal 9 (1)*];5.memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL, dan AU (Pasal 10);6.dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain [Pasal 11 (1)****];7.membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR [Pasal 11 (2)***];8.menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12);9.mengangkat duta dan konsul [Pasal 13 (1)]. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR [Pasal 13 (2)*];10.menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR [Pasal 13 (3)*];11.memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA [Pasal 14 (1)*];12.memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR [Pasal 14 (2)*];13.memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU (Pasal 15)*;14.membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden (Pasal 16)****;
15.pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri [Pasal 17 (2)*];
16.pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR [Pasal 20 (2)*] serta pengesahan RUU [Pasal 20 (4)*];17.hak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti UU dalam kegentingan yang memaksa [Pasal 22 (1)];18.pengajuan RUU APBN untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD [Pasal 23 (2)***];19.peresmian keanggotaan BPK yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD [Pasal 23F (1)***];20.penetapan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh KY dan disetujui DPR [Pasal 24A (3)***];21.pengangkatan dan pemberhentian anggota KY dengan persetujuan DPR [Pasal 24B (3)***];22.pengajuan tiga orang calon hakim konstitusi dan penetapan sembilan orang anggota hakim konstitusi [Pasal 24C (3)***].

Prinsip kedaulatan rakyat yang terwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya dior­ganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan cenderung bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
 Perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu mengakibatkan pada perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak saja karena adanya perubahan terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan negara, tetapi juga karena perubahan paradigma hukum dan ketatanegaraan. Beberapa prinsip-prinsip mendasar yang menentukan hubungan antar lembaga negara diantaranya adalah Supremasi Konstitusi, Sistem Presidentil, serta Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances.
Supremasi Konstitusi
Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.��? Ketentuan ini membawa implikasi bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara di atas lembaga-lembaga tinggi negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut, UUD 1945 menjadi dasar hukum tertinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan kewenangannya berdasarkan UUD 1945. Jika berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan kemudian didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan hasil perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 kedaulatan tetap berada di tangan rakyat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional (distributed functionally) kepada organ-organ konstitusional.
Konsekuensinya, setelah Perubahan UUD 1945 tidak dikenal lagi konsepsi lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Lembaga-Iembaga negara yang merupakan organ konstitusional kedudukannya tidak lagi seluruhnya hierarkis di bawah MPR, tetapi sejajar dan saling berhubungan berdasarkan kewenangan masing-masing berdasarkan UUD 1945.
Sistem Presidentil
Sebelum adanya Perubahan UUD 1945, sistem pemerintahan yang dianut tidak sepenuhnya sistem presidentil. Jika dilihat hubungan antara DPR sebagai parlemen dengan Presiden yang sejajar (neben), serta adanya masa jabatan Presiden yang ditentukan (fix term) memang menunjukkan ciri sistem presidentil. Namun jika dilihat dari keberadaan MPR yang memilih, memberikan mandat, dan dapat memberhentikan Presiden, maka sistem tersebut memiliki ciri-ciri sistem parlementer. Presiden adalah mandataris MPR dan sebagai konsekuensinya Presiden bertanggung jawab kepada MPR dan MPR dapat memberhentikan Presiden.
Salah satu kesepakatan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 terkait Perubahan UUD 1945 adalah “sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempumakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil).��? Penyempurnaan dilakukan dengan perubahan-perubahan ketentuan UUD 1945 terkait sistem kelembagaan. Perubahan mendasar pertama adalah perubahan kedudukan MPR yang mengakibatkan kedudukan MPR tidak lagi merupakan lembaga tertinggi negara, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Perubahan selanjutnya untuk menyempurnakan sistem presidentil adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara lembaga eksekutif dan legislatif, dalam hal ini terutama antara DPR dan Presiden. Hal ini dilakukan dengan pengaturan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat dan mekanisme pemberhentian dalam masa jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 6A, 7, 7A, dan 8 UUD 1945. Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka memiliki legitimasi kuat dan tidak dapat dengan mudah diberhentikan kecuali karena melakukan tindakan pelanggaran hukum.
Proses usulan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme politik, tetapi dengan mengingat dasar usulan pemberhentiannya adalah masalah pelanggaran hukum, maka proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi harus dilalui. Di sisi yang lain, kekuasaan Presiden membuat Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum Perubahan, diganti dengan hak mengusulkan rancangan undang-undang dan diserahkan kepada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Selain itu juga ditegaskan Presiden tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945.
Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi sering disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) tetapi juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislator-nya. Sedangkan, masalah kekuasaan kehakiman (yudikatif) dalam UUD 1945 sebelum perubahan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Dengan adanya perubahan kekuasaan pembentukan undang-undang yang semula dimiliki oleh Presiden menjadi dimiliki oleh DPR berdasarkan hasil Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), maka yang disebut sebagai lembaga legislatif (utama) adalah DPR, sedangkan lembaga eksekutif adalah Presiden. Walaupun dalam proses pembuatan suatu undang-undang dibutuhkan persetujuan Presiden, namun fungsi Presiden dalam hal ini adalah sebagai co-legislator sama seperti DPD untuk materi undang-undang tertentu, bukan sebagai legislator utama. Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan di bawahnya) dan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Hubungan antara kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh Presiden, kekuasaan legislatif oleh DPR (dan dalam hal tertentu DPD sebagai co-legislator), dan kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh MA dan MK merupakan perwujudan sistem checks and balances. Sistem checks and balances dimaksudkan untuk mengimbangi pembagian kekuasaan yang dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemegang kekuasaan tertentu atau terjadi kebuntuan dalam hubungan antar lembaga. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan suatu kekuasaan selalu ada peran lembaga lain.
Dalam pelaksanaan kekuasaan pembuatan undang-undang misalnya, walaupun ditentukan kekuasaan membuat undang-undang dimiliki oleh DPR, namun dalam pelaksanaannya membutuhkan kerja sama dengan co-legislator, yaitu Presiden dan DPD (untuk rancangan undang-undang tertentu). Bahkan suatu ketentuan undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPR dan Presiden serta telah disahkan dan diundangkan pun dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK jika dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Di sisi lain, Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya mendapatkan pengawasan dari DPR. Pengawasan tidak hanya dilakukan setelah suatu kegiatan dilaksanakan, tetapi juga pada saat dibuat perencanaan pembangunan dan alokasi anggarannya. Bahkan kedudukan DPR dalam hal ini cukup kuat karena memiliki fungsi anggaran secara khusus selain fungsi legislasi dan fungsi pengawasan sebagaimana diatur pada Pasal 20A UUD 1945. Namun demikian kekuasaan DPR juga terbatas, DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden dan atau Wakil Presiden kecuali karena alasan pelanggaran hukum. Usulan DPR tersebut harus melalui forum hukum di MK sebelum dapat diajukan ke MPR.
 
















[2] Lihat http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/DIALOG-KEMBALI-KE-JATI-DIRI-NEGARA-SEMI-PRESIDENSIAL.pdf.
[3] ibid
[4] Ibid
[5] ibid
[6] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII PRESS.Yogyakarta.2003.
[7] Lihat www. Parlemen. net yang di upload tanggal 3 mei 2012.
[8] UUD 1945 perubahan ke-4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar